Oleh : Asra Ozali (2310423011). Mahasiswi Biologi Universitas Andalas
Hujan deras yang turun tanpa jeda di beberapa wilayah Sumatra Barat beberapa waktu lalu berubah menjadi bencana yang menyisakan luka mendalam. Air bah bercampur lumpur, kayu, dan bebatuan meluncur dari perbukitan menuju permukiman warga. Dalam hitungan menit, rumah-rumah rusak, lahan pertanian tertimbun, dan aktivitas masyarakat lumpuh. Banjir bandang kembali datang, dan seperti kejadian-kejadian sebelumnya, ia bukan sekadar peristiwa alam biasa. Di balik derasnya air, ada persoalan lama yang belum benar-benar diselesaikan: degradasi hutan di wilayah hulu.
Hutan memiliki peran ekologis yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan alam, khususnya dalam mengatur tata air. Di wilayah hulu sungai, vegetasi hutan berfungsi sebagai penyerap air hujan, penahan erosi, serta pengendali aliran permukaan. Akar-akar pohon memperkuat struktur tanah, sementara lapisan serasah membantu memperlambat aliran air menuju sungai. Namun, ketika tutupan hutan berkurang akibat alih fungsi lahan, kemampuan alam untuk menahan air pun melemah. Air hujan yang seharusnya meresap ke dalam tanah justru langsung mengalir di permukaan. Akibatnya, debit sungai meningkat secara tiba-tiba dan memicu banjir bandang. Kondisi ini semakin diperparah oleh perubahan iklim yang menyebabkan intensitas hujan ekstrem semakin sering terjadi.
Sumatra Barat menghadapi dilema yang tidak sederhana. Di satu sisi, pembangunan dan pertumbuhan ekonomi menjadi kebutuhan. Di sisi lain, pembukaan lahan di kawasan hulu sering kali dilakukan tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan. Perkebunan, permukiman, dan infrastruktur perlahan menggantikan hutan yang sebelumnya berfungsi sebagai benteng alami dari bencana. Alih fungsi lahan ini sering terjadi secara legal maupun ilegal. Lemahnya pengawasan dan penegakan aturan membuat kawasan yang seharusnya dilindungi justru rentan dieksploitasi. Dalam jangka pendek, aktivitas tersebut mungkin memberikan manfaat ekonomi, tetapi dalam jangka panjang justru menimbulkan kerugian yang jauh lebih besar, baik secara ekologis maupun sosial.
Banjir bandang tidak hanya menghancurkan bangunan fisik, tetapi juga merusak tatanan kehidupan masyarakat. Banyak warga kehilangan sumber penghasilan karena sawah dan kebun tertimbun lumpur. Akses jalan terputus, aktivitas pendidikan terganggu, dan pelayanan kesehatan menjadi sulit dijangkau. Trauma psikologis pun membekas, terutama bagi anak-anak dan kelompok rentan. Biaya pemulihan pascabencana juga tidak sedikit. Pemerintah daerah harus mengalokasikan anggaran besar untuk perbaikan infrastruktur dan bantuan sosial. Ironisnya, dana tersebut seharusnya bisa digunakan untuk pembangunan jangka panjang jika risiko bencana dapat diminimalkan melalui pengelolaan lingkungan yang lebih baik.
Selama ini, konservasi sering dipersepsikan sebagai pembatasan atau larangan bagi masyarakat untuk memanfaatkan hutan. Padahal, konservasi seharusnya dipahami sebagai upaya menjaga keseimbangan antara kebutuhan manusia dan kelestarian alam. Konservasi yang efektif justru harus melibatkan masyarakat sebagai bagian dari solusi, bukan sebagai pihak yang disalahkan. Masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan memiliki pengetahuan lokal yang berharga. Dengan pendekatan yang tepat, mereka dapat berperan sebagai penjaga hutan sekaligus memperoleh manfaat ekonomi yang berkelanjutan. Pengelolaan hutan berbasis masyarakat, agroforestri, dan pemanfaatan hasil hutan non-kayu merupakan contoh strategi yang dapat mendukung konservasi sekaligus meningkatkan kesejahteraan.
Upaya konservasi hutan di Sumatra Barat perlu diarahkan pada restorasi kawasan hulu DAS yang telah rusak. Penanaman kembali pohon-pohon lokal, perlindungan kawasan resapan air, serta pengendalian aktivitas di daerah rawan longsor harus menjadi prioritas. Restorasi bukan pekerjaan instan, tetapi investasi jangka panjang untuk mengurangi risiko bencana di masa depan. Selain itu, pengelolaan daerah aliran sungai harus dilakukan secara terpadu lintas wilayah dan sektor. Sungai tidak mengenal batas administratif, sehingga koordinasi antar daerah menjadi kunci. Tanpa kerja sama yang kuat, upaya konservasi di satu wilayah dapat menjadi sia-sia jika wilayah lain di hulu masih mengalami degradasi.
Pemerintah daerah memiliki peran strategis dalam memastikan bahwa konservasi hutan menjadi bagian integral dari perencanaan pembangunan. Kebijakan tata ruang harus berbasis pada data lingkungan dan risiko bencana. Setiap proyek pembangunan perlu dievaluasi dampaknya terhadap ekosistem hutan dan DAS. Penegakan hukum juga menjadi faktor krusial. Aturan yang ada harus diterapkan secara konsisten tanpa pandang bulu. Ketegasan dalam melindungi kawasan hutan akan memberikan sinyal kuat bahwa keselamatan lingkungan dan masyarakat adalah prioritas utama.
Konservasi tidak akan berhasil tanpa dukungan kesadaran kolektif. Pendidikan dan literasi lingkungan perlu diperkuat sejak dini, baik melalui pendidikan formal maupun kegiatan sosial di masyarakat. Ketika masyarakat memahami bahwa menjaga hutan berarti menjaga sumber air, pangan, dan keselamatan hidup mereka sendiri, maka konservasi akan tumbuh sebagai kebutuhan bersama. Media massa juga memiliki peran penting dalam membangun kesadaran ini. Tulisan-tulisan populer tentang konservasi dapat menjembatani ilmu pengetahuan dengan masyarakat luas, sehingga isu lingkungan tidak hanya menjadi wacana akademik, tetapi juga gerakan sosial.
Banjir bandang yang berulang di Sumatra Barat adalah pesan alam yang tidak boleh lagi diabaikan. Ia mengingatkan kita bahwa hutan bukan sekadar latar keindahan alam, melainkan penopang utama kehidupan. Konservasi hutan di wilayah hulu bukan pilihan, melainkan keharusan yang menentukan masa depan daerah ini. Jika kita ingin hidup lebih aman, sejahtera, dan berkelanjutan, maka menjaga hutan hari ini adalah langkah paling bijak untuk melindungi generasi esok.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2023. Indeks Risiko Bencana Indonesia. BNPB. Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2023. Statistik Lingkungan Hidup Indonesia. BPS. Jakarta.
Bruijnzeel, L. A. 2004. Hydrological functions of tropical forests: not seeing the soil for the trees? Agriculture, Ecosystems & Environment, 104, 185–228.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2022. Status Hutan dan Kehutanan Indonesia. KLHK. Jakarta.
Kodoatie, R. J., dan Sjarief, R. 2010. Tata Ruang Air. Andi Offset. Yogyakarta.
Maryani, E. 2015. Kajian Mitigasi Bencana Banjir Bandang di Daerah Pegunungan. Jurnal Geografi, 12(2), 115–126.
Pramono, R., dan Savitri, E. 2018. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Berbasis Ekosistem. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Soemarwoto, O. 2001. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Djambatan. Jakarta.
Suripin. 2004. Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan. Andi Offset. Yogyakarta.

































0 Comments