Ticker

6/recent/ticker-posts

Antara Prosedural Demokrasi dan Cengkeraman Oligarki

Oleh : Tri Menanti  Departemen Ilmu Politik Universitas Andalas Padang 


Sistem politik Indonesia pasca Reformasi 1998 telah mengalami transformasi signifikan dari rezim otoriter menuju demokrasi. Perubahan ini ditandai dengan pemilihan umum yang lebih terbuka, jaminan kebebasan pers, dan munculnya berbagai partai politik. Namun, dibalik pencapaian prosedur ini, muncul pertanyaan krusial: apakah demokrasi Indonesia benar-benar mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat, ataukah hanya menjadi panggung bagi kepentingan oligarki?

Demokrasi Pancasila dan Tantangan Modern

Indonesia menganut sistem demokrasi Pancasila, di mana kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat. Sistem ini memberikan hak kepada rakyat untuk memilih wakil di lembaga legislatif, presiden, dan kepala daerah secara langsung, serta menyampaikan pendapat. Prinsip checks and balances juga diterapkan untuk mencegah yurisdiksi oleh lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Partai politik berperan penting sebagai pilar demokrasi, berfungsi sebagai sarana komunikasi politik, merekrut pemimpin, sosialisasi politik, dan mengatur konflik.

Namun demokrasi Indonesia di era modern menghadapi berbagai tantangan. Perkembangan teknologi telah menciptakan arena baru bagi politik digital dan media sosial, yang sayangnya juga diwarnai oleh penyebaran hoaks, disinformasi, dan politik identitas. Selain itu, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) masih menjadi masalah akut yang mencederai proses demokrasi dan menghambat pembangunan. Tingkat kesadaran politik masyarakat yang rendah juga menjadi perhatian, di mana politik serinkali dipandang sebagai “permainan kotor” untuk mencapai kekuasaan, bukan untuk kepentingan umum.

Cengkeraman Oligarki dalam Sistem Politik

Salah satu tantangan terbesar yang mengancam kualitas demokrasi Indonesia adalah meningkatnya pengaruh oligarki. Oligarki, yang didefinisikan sebagai konsentrasi kekuasaan dan sumber daya pada segelintir elite ekonomi dan politik, telah menjadi struktur kuasi permanen dalam politik Indonesia. Pada era Reformasi, oligarki menemukan ruang yang lebih besar untuk beroperasi melalui mekanisme demokrasi formal.

Penelitian menunjukkan adanya perubahan fundamental dalam hubungan antara bisnis dan politik. Jika pada era Orde Baru bisnis berada di bawah kekuasaan negara, kini justru negara yang berada di bawah kekuasaan bisnis. Hal ini terlihat dari bagaimana pemilik modal besar mendominasi partai politik, mempengaruhi regulasi, dan mengarahkan kebijakan publik sesuai kepentingannya.

Biaya politik yang tinggi dalam pemilihan langsung presiden dan kepala daerah membuka pintu bagi transaksi politik dan politik uang. Survei menunjukkan bahwa sebagian besar kandidat pemimpin daerah didanai oleh sponsor, dan praktik pembelian suara masih marak terjadi. Fenomena politik uang ini bahkan telah menjadi “budaya buruk yang turun temurun” di Indonesia, dengan sebagian persepsi masyarakat wajar. Kondisi ini menggambarkan bagaimana prosedur demokrasi dapat dimanipulasi untuk kepentingan segelintir elit, bukan untuk mewujudkan keadilan sosial yang diamanatkan Pancasila.

Oligarki juga menggunakan sistem demokrasi untuk mempertahankan kekuasaan melalui dinasti politik, di mana kekuasaan diwariskan melalui ikatan keluarga atau warisan. Keluarga dengan kekuasaan memiliki akses mudah ke pendanaan, jaringan politik, dan dukungan birokrasi, yang membatasi peluang bagi warga negara biasa.

Media dan Opini Politik: Pilar yang Tergerus

Kebebasan pers, yang merupakan salah satu pencapaian Reformasi, kini menghadapi tantangan serius. Media arus utama semakin jauh dari fungsi kontrol kekuasaan dan cenderung menjadi corong kepentingan kelompok dan pejabat ekonomi. Opini politik yang disajikan seringkali tidak mencerminkan keberimbangan, melainkan diarahkan untuk memperkuat legitimasi kekuasaan. Akibatnya, masyarakat kehilangan arah dalam membedakan fakta dan opini yang dimanipulasi, mengubah demokrasi menjadi panggung manipulasi kesadaran.

Kritik terhadap media yang kehilangan independensi ini menunjukkan bahwa fungsi pers sebagai pilar keempat demokrasi telah lumpuh secara sistemik. Hal ini diperparah dengan penyebaran hoaks dan disinformasi yang masif di era digital, yang dapat memecah belah masyarakat dan menurunkan kualitas demokrasi.

Jalan Menuju Demokrasi yang Berkualitas

Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan langkah-langkah komprehensif.

 Peningkatan kualitas pendidikan politik dan pembangunan etika politik menjadi krusial untuk membentuk warga negara yang kritis, rasional, dan bertanggung jawab. Penegakan hukum yang bebas dan adil, tanpa memandang status sosial, juga sangat penting untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat dan anggota yang melaksanakan KKN.

Reformasi kepemilikan dan regulasi media diperlukan untuk membatasi monopoli dan memastikan independensi redaksi. 

Penguatan media alternatif berbasis rakyat dan pendidikan politik kritis bagi masyarakat juga dapat menjadi penyeimbang opini publik. 

Selain itu, mendorong partisipasi rakyat yang konstruktif, tidak hanya pada saat pemilu, akan menempatkan rakyat sebagai aktor pembangunan yang sesungguhnya.

Pada akhirnya, politik di Indonesia harus kembali pada esensinya sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat, bukan sekadar perebutan kekuasaan. 

Dengan memperkuat lembaga politik, meningkatkan kesadaran masyarakat, dan menegakkan hukum, Indonesia dapat terus tumbuh menjadi negara yang adil, makmur, dan berdaulat.


Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS