Oleh: Trya Harum Akmil, Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Andalas
Di tengah dominasi era digital yang semakin mewarnai kehidupan sehari-hari, berbagai organisasi politik di Indonesia kini menghadapi tuntutan mendesak untuk melakukan transformasi yang sangat mendalam. Gagasan mengenai partai digital adalah sebuah model organisasi politik yang secara strategis memanfaatkan teknologi digital untuk menunjang struktur internal, memobilisasi dukungan massa, serta memfasilitasi pengambilan keputusan juga muncul sebagai sebuah inovasi yang berpotensi untuk memperkuat konsep demokrasi digital.
Di tengah situasi ketika tingkat partisipasi politik konvensial di kalangan generasi muda cenderung rendah, pendekatan ini dapat menjadi katalisator utama perubahan. Namun demikian, muncul pertanyaan yang penting: apakah partai digital sungguh-sunguh memiliki kemampuan untuk merevolusi ekosistem politik Indonesia, ataukah justru berisiko memicu polarisasi yang baru? Analisis dalam artikel opini ini akan mengupas konsep tersebut secara mendalam, yang berdasarkan pada perspektif Paolo Gerbaudo yang tertuang dalam bukunya,
The Dgital Party: Political Organization and Online Democracy (2019), sambil menyoroti konteks lokal Indonesia.
Paolo Gerbaudo, seorang sosiolog politik yang berafiliasi dengan King’s College London, ia mendefinisikan bahwa partai digital adalah sebuah model evolusi politik yang secara sistematis mengintegrasikan platform digital, termasuk media sosial, aplikasi khusus, dan mekanisme berbasis algoritma, demi menciptakan struktur organisasi yang lebih partisipatif dan horizontal. Dalam analisisnya yang terperinci di buku tersebut, Gerbaudo mengulas kasus-kasus signifikan di Eropa, seperti Partai Podemos di Spanyol dan Five Star
Movement di Italia. Partai-partai ini secara aktif memanfaatkan Twitter, Facebook, dan platform internal untuk keperluan rekrutmen keanggotaan, mengumpulkan opini publik, dan bahkan melaksanakan pemilihan pemimpin melalui pemungutan suara daring (voting online).
Menurut Gerbaudo, model ini merepresentasikan suatu bentuk “demokrasi digital” yang inklusif, di mana locus kekuasaan tidak lagi terpusat dan diasumsikan secara otomatis oleh elit partai tradisional, melainkan didistribusikan secara merata melalui jaringan digital yangterhubung.
Ia berargumen bahwa partai digital memiliki kapasitas untuk secara efektif mengatasi krisis legitimasi yang dihadapi oleh partai-partai konvensional dengan memanfaatkan secara optimal “kekuatan konektivitas” internet, yang memungkinkan mobilisasi cepat dan transparansi real-time. Meskipun demikian, Gerbaudo juga menyuarakan peringatan keras mengenai potensi risiko “klik demokrasi” (click democracy) yang memperburuk polarisasi.
Konteks teoritis ini sangat relevan untuk Indonesia, mengingat posisi strategis negara kita sebagai salah satu pasar digital terbesar di dunia. Laporan dari We Are Social dan Hootsuite (2023) menggarisbawahi hal ini, mencatat bahwa Indonesia memiliki sekitar 204,7 juta pengguna internet, yang setara dengan sekitar 77% dari total populasi, di mana 167 juta di antaranya merupakan pengguna media sosial aktif. Platform seperti Instagram, TikTok, dan Twitter telah menjadi arena utama dalam kampanye politik, terbukti pada Pemilu 2019, di mana
figur seperti Joko Widodo mampu memenangkan dukungan suara signifikan melalui konten digital yang menjadi viral, menjadikan miliaran impresi. Data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) lebih lanjut menegaskan bahwa 56% pemilih yang berusia 17 hingga 30 tahun lebih cenderung dipengaruhi oleh media sosial dibandingkan dengan kampanye tatap muka tradisional.
Dalam konteks lokal ini, partai seperti Partai Solidaritas Indonesia (PSI), yang didirikan tahun 2014, telah mengambil langkah awal dengan mengadopsi elemen partai digital, seperti meluncurkan aplikasi internal untuk mendiskusikan kebijakan dan melaksnakan rekrutmen secara daring, meskipun implementasinya masih berada dalam skala yang relatif kecil dan terbatas.
Pandangan Gerbaudo memiliki relevansi yang sangat kuat dan dapat diaplikasikan secara nyata di Indonesia. Negara kita dapat mengambil pelajaran berharga dari model-model
Eropa guna membangun organisasi partai yang lebih adaptif dan responsive terhadap Generasi Z dan Milenial, yang bersama-sama membentuk 50% dari total pemilih pada Pemilu 2024.
Bayangkan potensi dampaknya jika partai-partai politik kita mengimplementasikan platform berupa “Plataforma Podemos” untuk melaksanakan pemungutan suara internal, langkah ini secara signifikan dapat meningkatkan transparansi sekaligus mengurangi praktik korupsi internal yang selama ini sering menjadi subjek kritikan tajam. Sebagai sebuah terobosan dalam demokrasi digital, platform digital berpotensi memperluas akses politik ke daerah-daerah terpencil, mengingat jangkauan internet seluler sudah mencapai 80% menurut Asosiasi
Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII, 2022). Akan tetapi, muncul tantangan yang tidak bisa diabaikan: infrastruktur digital yang masih timpang, dengan hanya 40% wilayah pedesaan yang terhubung dengan layanan broadband, ditambah dengan maraknya hoaks politik yangtercatat mencapai 1,2 juta kasus pada tahun 2022 menurut data dari Mafindo.
Secara esensial, transformasi digital ini bukan hanya sebuah tren, melainkan sebuahkeharusan untuk mencegah stagnasi demokrasi di Indonesia.
Menurut Gerbaudo, partai digital adalah pelengkap, bukan pengganti perwakilan demokrasi, yang berfungsi memberdayakan partisipasi
0 Comments