Ticker

6/recent/ticker-posts

Suara Petani Batubajanjang: Menolak PLTG Dalam rangka merayakan Hari Tani Nasional


Oleh : Rani Nila Al Hakim.                           Ilmu politik Universitas Andalas


Hari Tani Nasional diperingati setiap tanggal 24 September di Indonesia. Peringatan ini bertujuan untuk menghormati dan mengakui peran penting para petani sebagai tulang punggung ketahanan pangan bangsa. Dibalik perayaan hari tani tersebut para petani batubajanjang ikut memeriahkan hari tani namun dibalik memeriahkan hari tani tersebut para petani batubajanjang juga menyampaikan aspirasinya terhadap penolakan PLTG di daerah mereka.

PLTG (Pembangkit Listrik Tenaga Geotermal) merupakan sebuah energi terbarukan yang dimana energi panas bumi diubah menjadi energi listrik. Dengan Proses yang tidak begitu mudah Energi panas bumi bekerja dengan mengebor ke dalam bumi untuk mengakses air panas atau uap dari reservoir panas bumi, yang kemudian digunakan untuk memutar turbin yang terhubung ke generator listrik

Oleh karena itu para petani batubajanjang menyampaikan aspirasinya disaat perayaan hari tani Nasional tentang penolakan PLTG daerah Mereka, karena kemungkinan para petani tersebut memikirkan dampak negatifnya terhadap daerah mereka. Seperti yang kita ketahui dampak negatif penggunaan PLTG itu memang sangat berdampak besar terhadap lingkungan diantaranya yaitu: Kerusakan pemandangan dan erosi tanah, polusi air dan tanah,polusi udara, polusi suara dan getaran, dan pasti akan terjadi pengeringan sumber air.

Dari sumber yang saya dapatkan penulis menjelaskan kronologi tentang aksi tersebut:

Arosuka — Ratusan petani yang tergabung dalam Masyarakat Selingkar Gunung Talang menggelar aksi damai di depan Kompleks Kantor Bupati Solok, Selasa (23/9/2025), menyuarakan penolakan tegas terhadap rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Geothermal (PLTG) di wilayah mereka. Aksi ini bertepatan dengan momen peringatan Hari Tani Dunia, yang dimanfaatkan untuk menggaris bawahi pentingnya perlindungan terhadap sektor pertanian, sumber utama penghidupan warga setempat. Gerakan ini, yang diikuti oleh sekitar 100 hingga 150 petani dari Nagari Batubajanjang Bukit Sileh, berangkat dari keresahan kolektif warga atas potensi dampak negatif proyek PLTG.

Koordinator aksi Ayu Dasril, dalam orasinya menegaskan bahwa pembangunan PLTG dapat mengancam keberlanjutan lahan pertanian dan kesejahteraan para petani yang telah lama menggantungkan hidupnya dari hasil bumi. "Kami adalah petani, tulang punggung pangan negeri ini, yang seharusnya mendapat perlindungan dari pemerintah, bukan justru kebijakan yang bisa mengancam sumber penghidupan kami," seru Ayu Dasril.

Penolakan ini bukan sekedar penolakan saja tapi para petani melakukan penolakan ini karna ada alasan. Bagi masyarakat Batubajanjang Bukit Sileh, kehadiran PLTG bukan sekadar masalah energi, melainkan isu kelangsungan hidup. Kekhawatiran mereka berakar pada sejumlah potensi dampak lingkungan dan sosial yang sering menyertai proyek geothermal di berbagai daerah, seperti penggunaan air yang intensif, risiko kerusakan lahan pertanian, dan gangguan terhadap ekosistem lokal.

Dalam konteks pertanian, di mana topografi daerah didominasi oleh perbukitan dan lahan datar terbatas, setiap jengkal tanah memiliki arti penting. Oleh karena itu, potensi kerusakan lahan atau ketersediaan air akibat proyek PLTG menjadi ancaman nyata yang tidak bisa diabaikan. Para petani percaya bahwa keberlanjutan pertanian harus diprioritaskan di atas kepentingan proyek besar yang belum jelas manfaatnya bagi mereka.

Aksi yang berlangsung selama dua jam itu berjalan tertib dan damai. Sebagai bentuk simbolis perjuangan mereka, para petani menyerahkan hasil panen mereka, berupa sayur-sayuran, kepada petugas keamanan yang berjaga. Tindakan ini mencerminkan pesan bahwa mereka adalah garda terdepan ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat.

Meskipun mendapat bantahan dari Wali Nagari Koto Gaek Guguk, Mardi Henderson, mengenai keterlibatan warganya, Wali Nagari Batubajanjang Bukit Sileh, Ulil Amri, mengonfirmasi partisipasi warganya dalam aksi tersebut. Perbedaan pandangan ini menunjukkan kompleksitas isu di tingkat lokal, namun aspirasi utama dari para petani Batubajanjang Bukit Sileh tetap jelas dan kuat.

Aksi damai ini bukan sekadar unjuk kekuatan, tetapi juga menjadi catatan penting bagi pemerintah daerah dan para pemangku kepentingan. Suara para petani Batubajanjang Bukit Sileh menunjukkan konsistensi perjuangan untuk melindungi lahan pertanian dan memastikan kesejahteraan hidup di tengah gempuran pembangunan. Protes ini sekaligus menjadi pengingat bahwa pembangunan yang mengabaikan suara dan hak-hak masyarakat lokal, terutama para petani, akan selalu berhadapan dengan perlawanan yang gigih. Kini, semua mata tertuju pada

bagaimana respons pemerintah terhadap keresahan mendalam yang disuarakan oleh para petani Selingkar Gunung Talang.

Dari sumber kronologi tersebut kita bisa menyimpulkan bahwa suara dari para petani batubajanjang dalam rangka perayaan hari tani Nasional tersebut tidak ada masalah ,karena aksi tersebut merupakan suatu hak bagi mereka untuk menyampaikan aspirasinya terhadap suatu kemajuan teknologi yang membuat kekhawatiran para petani tersebut dalam menjaga kelestarian lingkungan sekitar mereka dan menjaga sumber mata pencahariannya, bukannya mereka tidak mau terhadap suatu kemajuan daerah mereka namun mereka juga harus memikirkan bagaimana kehidupan selanjutnya jika kebijakan tersebut berjalan atau terlaksanakan.


Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS