Oleh: Amaliah Firman Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Andalas Padang
Ketika demokrasi hanya hidup di baliho dan spanduk, suara rakyat perlahan hilang dari bilik suara. Begitulah realitas politik Sumatera Barat pada Pemilu 2024.
Demokrasi tidak akan berarti tanpa partisipasi.
Hak suara rakyat adalah nafas kehidupan politik, sementara bilik suara menjadi tempat di mana kedaulatan rakyat benar-benar diuji.
Namun di Sumatera Barat, nafas itu seolah tersengal. Tingkat partisipasi politik yang rendah pada Pemilu dan Pilkada Serentak 2024 menunjukkan adanya jarak yang semakin lebar antara warga dan sistem politik yang seharusnya berjalan bersamaan.
Menurut KPU Provinsi Sumatera Barat, tingkat partisipasi pemilih hanya mencapai 57,15% dari total 4.103.084 DPT. (Sumber: InfoPublik.id, 3 Oktober 2024). Angka ini jauh di bawah target nasional sebesar 77,5% dan bahkan merosot tajam dibanding Pemilu 2019 yang mencapai 82%.
Artinya, hampir dua juta warga Sumbar memilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya sebuah sinyal alarm bagi kesehatan demokrasi di ranah Minang.
Ketimpangan Partisipasi
Menariknya, penurunan partisipasi tidak terjadi secara merata. Di Kota Sawahlunto, partisipasi pemilih mencapai 80% ini menjadi jumlah tertinggi di provinsi Sumatera Barat. Hal ini menunjukkan kuatnya kohesi sosial di daerah Sawahlunto dengan masyarakat masih mengenal calon-calon pemimpinnya secara personal, dan proses politik terasa lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari.
Namun di Kota Padang yang merupakan pusat pemerintahan dan pendidikan Sumatera Barat, angka partisipasi justru terjun bebas ke 49,1% yang berarti bahwa Kota Padang menjadi salah satu yang terendah di Indonesia bagian barat. (Sumber: Padek.Jawapos.com, 2024). Kota yang paling maju secara infrastruktur dan akses informasi justru menunjukkan partisipasi terendah. Di sinilah tampak bahwa problem partisipasi politik bukan hanya soal fasilitas, tetapi soal kepercayaan dan kedekatan emosional antara warga dan politik.
KPU Sumbar mengungkapkan sejumlah penyebab menurunnya partisipasi, di antaranya adalah “pemilih yang tidak ditemukan” yang biasanya adalah warga-warga yang tercatat dalam DPT tetapi sudah pindah alamat atau tidak lagi berdomisili di tempat terdaftar. (Sumber: Padangmedia.com, 2024).
Selain itu, persoalan klasik seperti minimnya sosialisasi yang efektif, rendahnya literasi politik di pedesaan, serta keterbatasan akses bagi pemilih disabilitas masih menjadi hambatan utama. Berdasarkan Laporan Kinerja KPU Sumbar 2024, terdapat ribuan pemilih disabilitas yang terdaftar, namun belum semuanya dapat mengakses TPS secara layak atau mendapatkan pendampingan yang memadai. Padahal menurut BPS Sumatera Barat, lebih dari 50% penduduk Sumbar berada pada usia produktif. Sayangnya, generasi muda justru menjadi kelompok paling apatis, banyak yang merasa bahwa politik hanya ajang rebutan kekuasaan, bukan sarana perubahan sosial.
Dalam teori partisipasi politik yang diajarkan di kampus, partisipasi warga negara dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu sumber daya politik, mobilisasi, dan kepercayaan. Sumber daya politik mencakup pengetahuan dan kemampuan untuk berpartisipasi. Ketika pendidikan politik minim dan informasi tentang calon tidak jelas, warga cenderung pasif. Mobilisasi bergantung pada peran partai, organisasi masyarakat, dan media dalam menggerakkan pemilih. Sayangnya, kampanye di Sumbar masih bersifat formal dan elitis terlalu banyak jargon, terlalu sedikit dialog. Lalu kepercayaan terhadap politik menjadi unsur yang paling menentukan. Survei Lembaga Survei Indonesia pada tahun 2023 menunjukkan hanya 48% masyarakat Indonesia yang percaya pada partai politik. Jika kepercayaan publik serendah ini, tak heran bila banyak yang merasa tidak ada gunanya datang ke TPS.
Namun, tidak semua daerah pesimis. Di Kabupaten Pasaman, partisipasi naik menjadi 66,5% pada Pilkada 2024 meningkat dari 64% di tahun 2020. (Sumber: Antara News Sumbar, 2024). Peningkatan ini terjadi karena adanya pendekatan langsung ke masyarakat dan pelibatan komunitas lokal dalam edukasi politik. Bukti bahwa demokrasi bisa tumbuh bila warga diberi ruang untuk terlibat aktif.
Sebagai mahasiswa ilmu politik, saya percaya bahwa memperkuat demokrasi tidak cukup hanya dengan menggenjot angka partisipasi. Kita harus membangun kesadaran politik yang tumbuh dari bawah dari nagari, komunitas, hingga ruang-ruang pendidikan. Pendidikan politik di kampus, sekolah, dan masyarakat perlu dikembangkan dalam bentuk dialog terbuka, bukan ceramah satu arah. Warga perlu tahu bukan hanya “bagaimana memilih”, tapi juga “mengapa memilih” dan “apa dampak pilihannya”. Partai politik pun harus keluar dari menara gading. Mereka harus hadir di tengah masyarakat, bukan hanya muncul saat kampanye. Politik yang dekat dan manusiawi akan membangun kembali kepercayaan yang kini mulai pudar.
Angka 57,15% bukan sekadar data statistic. Ini adalah simbol dari separuh suara rakyat Sumatera Barat yang memilih diam. Jika kita tidak mampu menghidupkan kembali suara-suara yang hilang itu, maka demokrasi hanya akan menjadi ritual tanpa makna. Tugas kita, terutama generasi muda, adalah memastikan bahwa suara rakyat Sumatera Barat tidak lagi hilang di balik kebisingan baliho dan janji kampanye. Karena sejatinya, demokrasi bukan tentang siapa yang menang, tapi tentang siapa yang masih mau datang ke TPS dan percaya bahwa suaranya berarti.
Sumber:
1. Komisi Pemilihan Umum Provinsi Sumatera Barat, Laporan Kinerja 2024.
2. InfoPublik.id, “Hasil Pilkada Sumbar 2024: Tingkat Partisipasi Pemilih di Bawah Ekspektasi”, 3 Oktober 2024.
3. Antara News Sumbar, “Partisipasi Pemilih Pilkada 2024 di Pasaman Capai 66,5 Persen”, 2024.
4. Padek.Jawapos.com, “Partisipasi Pemilih Pilkada Kota Padang 2024 Terjun ke 49,1 Persen”, 2024.
5. Lembaga Survei Indonesia (LSI), Survei Kepercayaan Publik terhadap Lembaga Politik, 2023.
6. Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Barat, Profil Penduduk Usia Produktif 2023.
































0 Comments