Penulis: Farhan Nashrullah, Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Andalas
Lanskap politik kontemporer Indonesia senantiasa diwarnai oleh dinamika gerakan sosial dan politik yang tidak stabil. Di tengah fragmentasi ideologis dan persaingan elektoral yang tajam, kemunculan sebuah fenomena penyatuan kekuatan dalam formula "Gerakan 17+8" menyajikan sebuah penyimpangan yang patut ditelaah secara mendalam. Formula ini, yang secara hipotetis merepresentasikan aliansi masif antara 17 entitas politik dengan 8 organisasi masyarakat sipil, bukanlah sekadar koalisi biasa. Ia adalah manifestasi dari sebuah strategi politik yang berupaya menciptakan hegemoni narasi melalui slogan "Satu Suara, Satu Agenda". Tulisan ini berupaya untuk membedah struktur kekuatan di balik formula tersebut, menganalisis sumber-sumber kapabilitasnya, serta mengkaji secara kritis potensi dan implikasinya terhadap vitalitas demokrasi di Indonesia.
Kekuatan fundamental dari formasi 17+8 terletak pada kemampuannya untuk melakukan akumulasi sumber daya secara cepat dan meluas. Dalam kerangka Teori Mobilisasi Sumber Daya, efektivitas sebuah gerakan tidak hanya ditentukan oleh tingkat ketidakpuasan massa, tetapi juga oleh kemampuannya mengelola dan mengerahkan aset. Formula 17+8 secara inheren menciptakan sebuah sinergi yang luar biasa. Ketujuh belas entitas politik, baik partai maupun kelompok kepentingan membawa kapital politik, jaringan elektoral, akses terhadap aparatur negara, dan sumber pendanaan yang mapan. Di sisi lain, delapan organisasi masyarakat sipil menyumbangkan modal sosial, seperti legitimasi moral, basis massa ideologis yang militan, keahlian teknis dalam advokasi, serta jaringan akar rumput yang sulit ditembus oleh institusi politik formal. Ketika isu diperjuangkan, aliansi ini mampu bergerak serentak di berbagai arena yaitu lobi-lobi senyap di parlemen oleh faksi politik, mobilisasi massa di ruang publik oleh organisasi sipil, dan kampanye di media massa yang diperluas oleh seluruh elemen jaringan. Kapabilitas untuk menciptakan tekanan dari berbagai aspek inilah yang membedakannya dari gerakan-gerakan tunggal yang kerap kali mudah diredam atau diabaikan oleh pemegang kekuasaan. Ini bukan lagi sekadar penjumlahan, melainkan sebuah penggandaan pengaruh yang melahirkan kapabilitas politik yang substansial.
Di luar aspek material, potensi terbesar dari formula 17+8 bersemayam dalam ranah perang wacana (discourse). Slogan "Satu Suara, Satu Agenda" merupakan strategi cemerlang dalam menerapkan Teori Pembingkaian (Framing Theory). Dengan menyatukan narasi, koalisi ini mampu menyederhanakan isu-isu kompleks menjadi sebuah pesan tunggal yang kuat, mudah dicerna, dan memiliki resonansi emosional yang tinggi di tengah masyarakat. Pengulangan pesan secara masif dan serentak oleh seluruh anggota aliansi menciptakan sebuah efek kebenaran ilusi (illusory truth effect), di mana sebuah klaim akan semakin dipercaya seiring dengan frekuensi pemaparannya. Proses ini secara efektif mendominasi ruang publik dan menyingkirkan narasi-narasi alternatif. Isu yang diusung oleh gerakan ini akan menjadi agenda utama (agenda-setting), memaksa media, publik, dan bahkan lawan politik untuk merespons dalam kerangka yang telah mereka ciptakan. Kekuatan untuk mendefinisikan masalah, menentukan siapa kawan dan siapa lawan, serta membingkai solusi yang paling tepat merupakan bentuk kekuasaan simbolik yang sangat efektif. Dalam perspektif Gramscian, ini adalah upaya membangun sebuah hegemoni baru, di mana persetujuan publik direkayasa melalui penyebaran ideologi dan cara pandang yang dominan, sehingga kekuasaan tidak hanya diraih melalui paksaan, tetapi melalui penaklukan kesadaran kolektif.
Sebagai seorang mahasiswa ilmu politik, saya memandang formula Gerakan 17+8 sebagai sebuah pisau bermata dua. Di satu sisi, saya mengakui potensi efektivitasnya yang luar biasa dalam mendorong perubahan atau mengawal sebuah agenda spesifik. Dalam sistem politik yang sering kali lamban dan terhambat oleh kepentingan partisan, sebuah kekuatan terkonsolidasi seperti ini bisa menjadi pendobrak status quo yang ampuh dan akselerator reformasi yang diperlukan. Kemampuannya untuk menerjemahkan aspirasi yang beragam menjadi satu tuntutan konkret adalah sebuah pencapaian strategis yang patut diperhitungkan. Namun, di sisi lain, saya menaruh kekhawatiran yang mendalam terhadap implikasi dari doktrin "Satu Suara, Satu Agenda". Kekuatan terbesar formula ini yakni kesatuan tunggal sekaligus merupakan kelemahan paling fundamentalnya dari sudut pandang demokrasi. Proses penyatuan suara secara inheren menuntut adanya penyeragaman pandangan dan marginalisasi perspektif minoritas, bahkan di dalam internal koalisi itu sendiri. Ruang untuk disensus, perdebatan internal, dan kritik konstruktif berisiko tergerus atas nama solidaritas dan efektivitas perjuangan. Konsekuensinya, agenda yang diusung, meskipun tampak representatif karena besarnya koalisi, bisa jadi merupakan hasil kompromi elit yang melemahkan subtansi keragaman aspirasi di tingkat akar rumput. Ini menciptakan sebuah dilema efektivitas yakni gerakan ini mungkin berhasil mencapai tujuannya, tetapi prosesnya berpotensi melemahkan prinsip-prinsip deliberasi dan pluralisme yang menjadi jantung demokrasi yang sehat. "Satu Suara" yang digemakan bisa menjelma menjadi kebisuan bagi mereka yang memiliki pandangan berbeda.
Formula Gerakan 17+8 pada akhirnya adalah sebuah studi kasus yang menarik tentang rekayasa kekuatan politik di era modern. Kekuatannya yang bersumber dari sinergi sumber daya dan hegemoni wacana menawarkan sebuah model yang efektif untuk mencapai tujuan politik secara cepat dan masif. Namun, efektivitas ini datang dengan biaya yang tidak murah. Potensi erosi terhadap ruang deliberatif, risiko terciptanya tirani mayoritas terselubung, dan marginalisasi suara-suara alternatif adalah ancaman nyata yang harus diwaspadai. Oleh karena itu, pertanyaan krusial yang harus diajukan bukanlah "apakah formula ini kuat?", karena jawabannya sudah jelas. Pertanyaan yang lebih esensial adalah "Untuk tujuan apa kekuatan ini digunakan, dan proses demokratis seperti apa yang dikorbankan di sepanjang jalan?" Tanpa adanya mekanisme kontrol internal yang kuat, ruang kritik yang terbuka, dan komitmen tulus terhadap nilai-nilai pluralisme, formasi sekuat 17+8 yang berjuang atas nama "Satu Suara" berisiko hanya akan menghasilkan keheningan yang mematikan bagi demokrasi itu sendiri.
0 Comments