Oleh:Muhammad Ridho Andesky. Mahasiswa ilmu politik universitas Andalas Padang
Program penyediaan makanan bergizi yang dicanangkan pemerintah sejatinya merupakan upaya mulia untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat, menurunkan angka stunting, serta menjamin generasi muda memperoleh asupan gizi yang seimbang. Inisiatif ini mencerminkan perhatian pemerintah terhadap pembangunan sumber daya manusia sejak usia dini, terutama melalui pemberian makanan sehat kepada siswa sekolah dan kelompok masyarakat rentan.
Namun, implementasi di lapangan ternyata tidak selalu berjalan mulus. Alih-alih menjadi solusi, program ini justru menimbulkan kekhawatiran baru setelah sejumlah kasus keracunan massal terungkap di berbagai daerah. Insiden yang melibatkan anak-anak sekolah dan penerima bantuan gizi lainnya menimbulkan pertanyaan serius di tengah masyarakat: bagaimana mungkin sebuah program yang dirancang untuk menyehatkan justru berakhir membahayakan?
Beberapa laporan menunjukkan bahwa kelemahan utama terletak pada sistem pelaksanaan yang belum matang. Dari penelusuran awal, ditemukan sejumlah faktor yang diduga menjadi penyebab utama terjadinya keracunan makanan. Pertama, lemahnya pengawasan terhadap kualitas bahan pangan yang digunakan. Banyak penyedia jasa makanan bekerja sama dengan pihak ketiga tanpa mekanisme pengendalian mutu yang ketat. Akibatnya, bahan makanan yang digunakan tidak selalu dalam kondisi layak konsumsi atau sudah melampaui masa simpan.
Kedua, proses pengolahan makanan tidak selalu mengikuti standar keamanan pangan yang ditetapkan. Beberapa penyedia makanan diketahui tidak memiliki sertifikasi atau pelatihan khusus dalam pengolahan makanan sehat dan aman. Peralatan dapur yang tidak higienis, pengolahan secara massal tanpa prosedur sanitasi yang baik, serta penggunaan bahan tambahan pangan yang tidak sesuai takaran menjadi penyebab utama kontaminasi makanan.
Ketiga, distribusi makanan ke lokasi-lokasi penerima bantuan sering kali dilakukan tanpa mempertimbangkan faktor suhu, sanitasi, dan waktu penyimpanan. Dalam beberapa kasus, makanan disimpan terlalu lama dalam suhu ruang atau dikirim tanpa pendingin, sehingga sangat rentan terhadap pertumbuhan bakteri patogen.
Dampak dari kondisi ini tidak bisa dianggap remeh. Selain membahayakan kesehatan penerima manfaat, kejadian keracunan juga menurunkan kepercayaan publik terhadap program pemerintah. Banyak orang tua kini merasa waswas ketika anak-anak mereka mendapatkan makanan dari program bantuan gizi. Reaksi negatif di masyarakat ini menjadi tantangan besar bagi pemerintah untuk mengembalikan kredibilitas dan meyakinkan publik bahwa program tersebut aman dan bermanfaat.
Pakar gizi dan kesehatan masyarakat menegaskan bahwa keamanan pangan harus menjadi prioritas utama dalam program semacam ini, sejajar dengan pemenuhan nilai gizi itu sendiri. Tanpa pengawasan ketat terhadap mutu dan keamanan, nilai gizi yang tinggi pun akan menjadi sia-sia jika berujung pada gangguan kesehatan.
Oleh karena itu, pemerintah tidak bisa hanya menyoroti pencapaian angka—berapa banyak paket makanan yang dibagikan atau besarnya anggaran yang dikucurkan. Aspek kualitas, transparansi, dan akuntabilitas harus mendapat porsi yang sama, jika tidak lebih besar. Salah satu solusi mendesak adalah melakukan audit menyeluruh terhadap seluruh rantai pasokan makanan, mulai dari pemilihan penyedia bahan baku, proses pengolahan, hingga distribusi akhir ke penerima.
Selain itu, perlu dilakukan pelatihan rutin dan bersertifikat bagi para penyedia jasa makanan, baik dari segi keamanan pangan, manajemen dapur, maupun pengolahan makanan bergizi. Pemerintah daerah juga perlu dilibatkan secara aktif dalam pengawasan dan pelaksanaan program, termasuk mendorong partisipasi masyarakat dalam melaporkan penyimpangan atau keluhan terkait makanan yang dibagikan.
Tak kalah penting adalah penerapan sanksi tegas dan transparan bagi pihak-pihak yang terbukti lalai atau sengaja mengabaikan standar keamanan pangan. Tanpa adanya penegakan hukum yang kuat, praktik-praktik lalai akan terus terulang dan membahayakan penerima manfaat yang seharusnya dilindungi.
Ke depan, evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan ini harus dilakukan secara berkala. Bukan hanya untuk menemukan kelemahan, tapi juga untuk memperbaiki dan menyempurnakan sistem pelaksanaan. Pemerintah perlu membuka ruang dialog dengan akademisi, praktisi kesehatan, serta masyarakat sipil agar program makanan bergizi benar-benar tepat sasaran dan berkualitas.
Harapan masyarakat sebenarnya sederhana: program ini dapat kembali ke tujuan awalnya, yakni menyehatkan generasi muda dan mendukung pembangunan manusia Indonesia yang unggul.
Dengan pengawasan ketat, transparansi, serta keseriusan dalam menanggapi setiap insiden, krisis kepercayaan yang saat ini terjadi bisa dipulihkan. Pada akhirnya, program makanan bergizi harus menjadi solusi nyata bagi permasalahan gizi di Indonesia—bukan menambah daftar panjang masalah kesehatan masyarakat.
































0 Comments