Alahan Panjang, kawasan berhawa sejuk di dataran tinggi Kabupaten Solok, dikenal dengan bentang alamnya yang menawan: hamparan kebun teh, dua danau kembar (Danau Diatas dan Danau Dibawah), serta panorama pegunungan yang menyejukkan pandangan. Namun dalam beberapa tahun terakhir, wajah indah ini mulai ternoda oleh menjamurnya bangunan liar yang berdiri tanpa izin dan tanpa perencanaan tata ruang yang jelas.
Fenomena ini bukan sekadar masalah estetika, tetapi juga persoalan serius dalam tata kelola wilayah dan keberlanjutan pariwisata. Banyak bangunan bermunculan di sekitar area wisata, di tepi jalan menuju Danau Diatas, bahkan di zona yang semestinya menjadi ruang hijau atau lahan pertanian produktif. Sebagian di antaranya dibangun untuk tujuan ekonomi, seperti warung, penginapan, atau tempat parkir, namun tak sedikit pula yang berdiri tanpa dasar hukum apa pun.
Masalah utama muncul karena lemahnya pengawasan pemerintah daerah. Regulasi sebenarnya sudah ada—Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)—namun implementasinya kerap mandek. Pemilik lahan merasa berhak membangun apa pun di tanah mereka tanpa memperhatikan dampak lingkungan atau aspek legalitas. Akibatnya, muncul ketidakteraturan tata ruang dan potensi bahaya jangka panjang seperti longsor, pencemaran air, dan penurunan daya tarik wisata.
Selain itu, masyarakat sering kali beralasan bahwa pembangunan liar adalah bentuk upaya bertahan hidup, terutama di tengah sulitnya ekonomi pedesaan. Argumen ini memang memiliki sisi kemanusiaan, tetapi tetap tidak bisa dijadikan pembenaran atas pelanggaran aturan. Pemerintah seharusnya hadir bukan hanya untuk menertibkan, tetapi juga memberikan solusi alternatif, misalnya dengan menata ulang zona usaha rakyat, menyediakan lokasi resmi bagi pedagang dan pelaku wisata, serta mempercepat legalisasi bangunan yang sesuai kriteria.
Jika dibiarkan, bangunan liar akan menimbulkan efek domino: kerusakan ekologi, kemacetan di jalur wisata, dan penurunan nilai estetika kawasan. Lambat laun, Alahan Panjang bisa kehilangan ciri khasnya sebagai destinasi alami yang sejuk dan tertata. Wisatawan datang untuk mencari keindahan dan ketenangan, bukan pemandangan bangunan tak beraturan yang menutupi keindahan danau dan perbukitan.
Kini saatnya pemerintah, masyarakat, dan pelaku wisata duduk bersama. Penertiban harus dilakukan dengan pendekatan persuasif dan bertahap, bukan sekadar represif. Setiap pembangunan di kawasan wisata harus berpedoman pada tata ruang, analisis dampak lingkungan, dan prinsip keberlanjutan.
Alahan Panjang terlalu indah untuk dibiarkan rusak oleh kelalaian manusia. Menjaga tata ruang bukan sekadar urusan izin bangunan, melainkan tanggung jawab moral kita untuk melestarikan warisan alam bagi generasi mendatang.
































0 Comments