Ticker

6/recent/ticker-posts

Partisipasi Politik : Bukan Sekedar Mencoblos Lima Tahun Sekali


Oleh : Hasyana Siti Al Qesya (Departemen Ilmu Politik Universitas Andalas)


 Partisipasi politik sering kali dipersempit maknanya hanya pada kegiatan datang ke TPS saat pemilu. Padahal, dalam konsep demokrasi yang matang, partisipasi politik jauh lebih luas daripada sekadar memberikan suara. Menurut Almond dan Verba dalam The Civic Culture (1963), partisipasi politik mencakup berbagai bentuk keterlibatan warga negara, baik dalam bentuk konvensional seperti pemilu, maupun nonkonvensional seperti diskusi publik, aksi sosial, hingga pengawasan terhadap kebijakan pemerintah. Di Indonesia, semangat ini seharusnya menjadi dasar untuk memperkuat kualitas demokrasi yang kian kompleks di era digital.

 Setiap kali pemilu tiba, jalanan ramai dengan spanduk, baliho, dan janji-janji politik. Antusiasme masyarakat meningkat, seolah politik hanya hidup setiap lima tahun sekali. Padahal, esensi partisipasi politik jauh melampaui sekadar datang ke TPS dan mencoblos. Dalam demokrasi yang sehat, partisipasi berarti keterlibatan aktif warga negara dalam setiap proses pengambilan keputusan yang memengaruhi hidup bersama — baik di tingkat nasional maupun lokal.

 Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan, tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu 2019 mencapai 81,97 persen, tertinggi sejak era reformasi. Namun angka ini belum tentu menandakan partisipasi politik yang berkualitas. Banyak warga yang masih memilih tanpa memahami visi kandidat, terpengaruh politik uang, atau terjebak dalam politik identitas. Ini menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat masih bersifat seremonial, bukan refleksi dari kesadaran politik yang matang.

 Dalam riset LIPI tahun 2022, ditemukan bahwa bentuk partisipasi politik warga mulai bergeser ke ruang digital. Media sosial kini menjadi arena baru bagi ekspresi politik, mulai dari diskusi isu publik, kampanye sosial, hingga pengawasan terhadap kebijakan pemerintah. Sayangnya, ruang digital juga menjadi tempat suburnya disinformasi dan ujaran kebencian yang justru memperkeruh rasionalitas publik. Oleh karena itu, literasi digital dan politik menjadi kebutuhan mendesak agar partisipasi warga di dunia maya tetap kritis dan konstruktif.

 Partisipasi politik sejatinya dapat diwujudkan dalam banyak bentuk mengikuti musyawarah warga, mengawasi kinerja pejabat publik, menjadi relawan isu sosial, atau sekadar menyuarakan pendapat berdasarkan data dan nurani. Masyarakat yang terdidik secara politik akan memahami bahwa tanggung jawab warga negara tidak berhenti di bilik suara. Demokrasi yang kuat hanya bisa terwujud jika rakyat aktif mengawal kebijakan publik, mengkritisi ketimpangan, dan mendorong transparansi pemerintahan.

 Sudah saatnya masyarakat Indonesia meninjau ulang makna keterlibatan politik. Politik bukan milik elit, tapi ruang bersama bagi setiap warga untuk memperjuangkan kebaikan publik. Kesadaran politik tidak tumbuh dari seruan partai atau kampanye sesaat, melainkan dari kepedulian sehari-hari terhadap persoalan sosial. 


Jika partisipasi dipahami secara berkelanjutan, bukan hanya “datang, pilih, pulang” maka demokrasi kita tidak sekadar hidup, tetapi juga tumbuh lebih dewasa.


Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS