Foto pertemuan antara pejabat pemerintah & diplomat gambar ini menunjukkan proses formal kebijakan digital/governance (negosiasi, pembahasan regulasi digital). Cocok untuk bagian efektivitas kebijakan, pengambilan keputusan, dan peran institusi.
Oleh: Naila Nandini Mahasiswa Ilmu Politik, Universitas Andalas
Dalam beberapa tahun terakhir, transformasi digital telah mengubah hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat, termasuk dalam hal pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik.
Pemerintah di berbagai level kini
berlomba-lomba untuk memanfaatkan teknologi digital dalam proses penyusunan kebijakan—mulai dari pengumpulan data, konsultasi publik, hingga evaluasi kebijakan.
Namun, muncul pertanyaan penting: apakah digitalisasi
benar-benar membuat kebijakan publik lebih efektif dan partisipatif?
Kebijakan publik idealnya merupakan hasil dari proses rasional yang
mempertimbangkan kepentingan masyarakat luas. Dalam teori klasik,
kebijakan yang baik lahir dari analisis masalah yang mendalam, perumusan
alternatif solusi, serta pelibatan seluruh pemangku kepentingan.
Akan tetapi, dalam praktiknya, dinamika politik dan kepentingan tertentu sering kali menjadi faktor dominan yang memengaruhi arah kebijakan.
Digitalisasi dan Partisipasi Publik
Era digital membawa harapan baru bagi demokrasi partisipatif.
Pemerintah kinidapat menjaring aspirasi masyarakat melalui platform digital seperti e-musrenbang, portal pengaduan publik, hingga media sosial resmi.
Partisipasi publik yang dahulu terbatas pada forum tatap muka kini meluas ke ruang daring yang dapat diakses siapa saja.
Sebagai contoh, beberapa pemerintah daerah di Indonesia mulai menerapkan
sistem “open data” untuk membuka akses informasi kebijakan secara transparan.
Hal ini memungkinkan masyarakat, akademisi, maupun media untuk ikut menilai efektivitas program yang dijalankan. Transparansi sepertiini sejalan dengan prinsip good governance yang menekankan akuntabilitas dan partisipasi publik.
Namun, perlu diakui bahwa tidak semua masyarakat memiliki kemampuan dan
kesempatan yang sama dalam mengakses ruang digital. Kesenjangan digital (digital divide) masih menjadi tantangan besar, terutama di daerah dengan infrastruktur internet yang terbatas.
Akibatnya, kebijakan yang disusun
berdasarkan masukan digital berpotensi hanya mewakili suara kelompok tertentu—biasanya mereka yang tinggal di perkotaan atau memiliki literasi digital tinggi.
Politik di Balik Kebijakan Publik
Selain isu partisipasi, digitalisasi kebijakan publik juga membuka ruang baru
bagi politisasi. Data dan opini publik yang beredar di media sosial kerap
dimanfaatkan untuk membangun citra politik, bukan untuk memperbaiki
kualitas kebijakan. Banyak keputusan yang diambil lebih karena tekanan opini
publik atau kepentingan elektoral, bukan hasil analisis objektif terhadap
masalah publik.
Fenomena “populisme digital” ini bisa dilihat dalam kebijakan yang terlalu
cepat direspons demi popularitas, namun kurang matang dalam perencanaan
dan implementasi. Akibatnya, kebijakan tersebut tidak jarang gagal mencapai
tujuannya, bahkan menimbulkan masalah baru di kemudian hari.
Menuju Kebijakan Publik yang Adaptif dan Inklusif
Untuk menghadapi tantangan tersebut, pemerintah perlu menyeimbangkan dua
hal: inovasi digital dan kualitas proses kebijakan. Digitalisasi memang
mempercepat proses pengambilan keputusan, tetapi kebijakan publik tetap
membutuhkan prinsip dasar yang kuat—rasionalitas, transparansi, dan
keadilan sosial.
Partisipasi publik harus dirancang bukan sekadar formalitas, tetapi
benar-benar menjadi bagian dari proses penyusunan kebijakan. Pemerintah
dapat memperkuat kolaborasi dengan perguruan tinggi, LSM, dan komunitas
masyarakat dalam tahap perumusan kebijakan. Dengan demikian, kebijakan
yang lahir bukan hanya reaktif terhadap opini sesaat, melainkan berdasarkan
kebutuhan riil masyarakat.
Selain itu, perlu upaya serius untuk mempersempit kesenjangan digital. Akses
internet yang merata dan peningkatan literasi digital adalah syarat utama agar
seluruh lapisan masyarakat bisa berpartisipasi dalam proses kebijakan. Tanpa
itu, digitalisasi hanya akan memperkuat ketimpangan dan memperlemah
legitimasi kebijakan publik.
Penutup
Era digital menawarkan peluang besar untuk mewujudkan kebijakan publik
yang lebih terbuka, cepat, dan partisipatif. Namun, tanpa kesadaran etis dan
kemampuan analisis yang baik, digitalisasi justru bisa menjadi
bumerang—menjadikan kebijakan sekadar alat politik, bukan instrumen kesejahteraan.Kuncinya terletak pada keseimbangan antara teknologi dan tata kelola yang baik.
Kebijakan publik yang ideal adalah kebijakan yang tidak hanya lahir ldari algoritma dan data, tetapi juga dari empati, integritas, dan keterlibatan nyata masyarakat
0 Comments