Ticker

6/recent/ticker-posts

Mencari Pemimpin Zaman Now: Rekrutmen Politik yang Anti-Mainstream

 


Oleh Maulani Helsy Prima.              Mahasiswa Ilmu Politik, Universitas Andalas


Dahulu, jalur menuju tampuk kepemimpinan politik seakan sudah terukir jelas. Meniti karier dari partai, menjabat di birokrasi, atau membangun kekuasaan melalui dinasti dan modal. Rekrutmen politik cenderung menjadi proses internal, sebuah saringan ketat yang hanya bisa dilalui oleh segelintir elite yang telah teruji dalam mesin politik mainstream. Namun, di era digital, air bah disrupsi telah mengikis batas-batas kaku tersebut. Kita kini hidup di masa di mana sosok yang dianggap layak memimpin tidak lagi harus berasal dari "orang partai" atau "orang kaya," melainkan bisa lahir dari ruang-ruang anti-mainstream seperti platform media sosial. Publik, terutama Generasi Z dan Milenial, secara implisit sedang mendeklarasikan “kami mencari pemimpin Zaman Now”.

Pergeseran ini bukanlah sekadar perubahan tren, melainkan cerminan dari kegagalan proses rekrutmen politik tradisional untuk menghadirkan figur yang relevan, otentik, dan benar-benar peduli pada persoalan rakyat. Masyarakat, yang makin sinis terhadap elit politik, mulai beralih mencari figur yang menampilkan kualitas kepemimpinan dalam konteks keseharian mereka. Mereka mencari figur yang menjunjung tinggi transparansi, memiliki daya empati yang nyata, serta mampu berkomunikasi secara jujur apa adanya serta memiliki nilai-nilai yang justru seringkali luntur dalam birokrasi dan partai politik konvensional.

Inilah mengapa nama-nama yang muncul dari luar orbit politik tradisional tiba-tiba menjadi magnet elektoral, bahkan tanpa niat politik formal. Salah satu contoh paling menarik adalah figur Windah Basudara, seorang konten kreator dan streamer game. Secara mengejutkan, nama Windah sering disinggung dalam perbincangan publik, terutama di kalangan pemilih muda, sebagai sosok yang "layak memimpin" atau "punya potensi menjadi pemimpin masa depan." Tentu, ia tidak pernah mencalonkan diri dan mungkin tidak pernah berniat, tetapi munculnya nama ini merupakan sebuah kritik pedas terhadap sistem rekrutmen politik.

Mengapa seorang gamer bisa dianggap lebih relatable sebagai pemimpin daripada seorang politisi profesional? Jawabannya terletak pada aksi nyata dan komunikasi autentik yang ia tunjukkan. Windah Basudara membangun reputasinya bukan dari retorika politik, melainkan dari konsistensi berinteraksi dengan penggemarnya. Ia dikenal karena aksi charity spontan yang transparan, dedikasinya untuk membantu sesama, dan kemampuannya menggunakan popularitasnya untuk tujuan kemanusiaan. Ketika ia berhasil mengumpulkan dana miliaran rupiah dari komunitas game untuk tujuan sosial, ia menunjukkan sebuah model kepemimpinan yang berfokus pada solusi, mobilisasi massa berbasis kepercayaan, dan akuntabilitas langsung. Publik melihat empati nyata, bukan sekadar janji kampanye yang dikemas indah.

Model kepemimpinan yang ditunjukkan oleh Windah dan figur anti-mainstream sejenis lainnya, menghadirkan tantangan besar bagi partai politik. Partai, sebagai pintu gerbang utama rekrutmen, terbiasa mencari kader berdasarkan loyalitas, modal politik, dan kesamaan ideologi yang kaku. Mereka cenderung mengabaikan figur dengan basis massa yang kuat namun tidak terikat secara struktural. Akibatnya, yang terlahir merupakan politisi yang mahir dalam mekanisme partai, tetapi canggung dalam berinteraksi dengan rakyat dan tidak mampu menjembatani jurang komunikasi dengan pemilih muda.

Kini, tugas partai politik adalah beradaptasi. Jika mereka ingin tetap relevan dalam "Zaman Now," mereka harus membuka diri terhadap rekrutmen politik yang inklusif dan non-konvensional. Rekrutmen harus bergeser dari sekadar mengutamakan modal finansial menjadi mengutamakan modal sosial dan integritas yang teruji di ruang publik. Partai perlu aktif mencari figur-figur yang memiliki rekam jejak kepemimpinan sosial yang jelas, seperti aktivis lingkungan, pendidik inovatif, atau bahkan kreator konten yang terbukti memiliki kredibilitas moral dan kemampuan mobilisasi massa secara positif.

Ini bukan berarti setiap influencer harus menjadi politisi. Memimpin negara jauh lebih kompleks daripada mengelola kanal YouTube. Namun, tantangannya yaitu bagaimana partai dan sistem politik mampu menarik dan mendidik potensi kepemimpinan yang otentik ini tanpa merusak esensi kepribadian mereka. Kita tidak ingin streamer yang jujur berubah menjadi politisi yang fasih berbohong setelah dibaptis oleh mesin partai. Proses rekrutmen politik anti-mainstream harus menjadi jembatan yang menghubungkan otentisitas dari luar ke dalam sistem, bukan sekadar ruang ganti kostum politik.

Jika partai terus berpegangan pada proses rekrutmen yang elit, tertutup, dan hanya berpusat pada loyalitas, jurang antara rakyat dan elit akan semakin lebar. Publik akan terus mencari pemimpin di luar sistem, merayakan figur yang paling jujur menampilkan realitas dan empati, terlepas dari latar belakang formal mereka. Mencari pemimpin Zaman Now merupakan mencari otentisitas, dan bagi Windah Basudara serta figur-figur anti-mainstream lainnya, otentisitas itu adalah komoditas yang paling mahal dan paling dipercaya di kancah politik abad ke-21. 


Politik harus belajar dari endorsement terbaik: tidak ada yang lebih efektif daripada kepercayaan yang tulus.


Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS