Oleh : Ilham Khaira Amaldi
Selama bertahun-tahun, pembangunan Bandara Singkawang dianggap sebagai tanda kemajuan peradaban dan konektivitas di Kalimantan Barat. Seolah-olah cerita tentang pertumbuhan ekonomi, atraksi, dan kemudahan akses membuat kita lupa apa yang terjadi di atas tanah sebelum pembangunan beton dimulai. Kita menganggap pendaratan pertama pesawat sebagai kemenangan infrastruktur, tetapi kita lupa bahwa area yang dulunya digunakan untuk roda pesawat adalah lahan perkebunan dengan fungsi ekologis unik.
Alih fungsi lahan ini bukan sekadar cerita tentang pohon sawit yang ditebang, melainkan tentang perubahan radikal struktur tanah dan siklus hidrologi di kawasan tersebut. Ketika tutupan hijau dikupas habis dan digantikan oleh lapisan kedap air bernama landasan pacu, kita sebenarnya sedang bertaruh dengan alam. Apakah kemegahan bandara ini sepadan dengan risiko hilangnya daerah resapan air yang berpotensi memicu bencana ekologis di masa depan? Inilah sisi lain dari wajah baru Singkawang yang perlu kita cermati dengan kepala dingin.
Kita mulai dengan hal yang paling sering mengganggu penduduk Singkawang saat musim hujan, yaitu air. Sebelum semen melapisi tanah, kita sering lupa fungsinya yang luar biasa. Coba pikirkan tanah kebun sawit seperti kasur busa raksasa. Meskipun pengamat lingkungan sering menuduh sawit sebagai rakus air, hamparan tanah di bawahnya sebenarnya memiliki pori-pori alami. Ada akar, cacing, dan rongga kecil yang berfungsi untuk menyedot air hujan. Oleh karena itu, air tidak langsung mengalir bebas ketika langit Singkawang bergetar dan curah hujan tinggi. Dia masuk ke dalam tanah, disaring pelan-pelan, sebelum akhirnya mengalir pelan ke sungai bawah tanah dengan tenang. Itu adalah sistem drainase canggih dan gratis yang dibuat oleh Tuhan.
Sekarang situasinya berubah sepenuhnya. Untuk proyek landasan pacu, ribuan hektar lahan hijau telah dipadatkan sampai menjadi batu yang keras, sebelum dilapisi dengan aspal tebal dan beton berkualitas tinggi. Kita harus mengingat satu hal, beton tidak mudah haus. Dia tidak meminum air. Logika sederhananya adalah bahwa jika seember air ditumpahkan ke atas kasur busa, air akan diserap, bukan? Namun, seember air akan meluncur deras ke seluruh lantai keramik. Dalam skala besar, inilah yang terjadi di bandara kita. Saat ini, jutaan liter air hujan yang turun di sekitar bandara itu tidak memiliki tempat untuk meresap. Karena aspal menutup rapat pintu masuk ke dalam tanah, air bingung ke mana dia harus "pulang".
Akibatnya? Air itu jadi tamu tak diundang buat area di sekitarnya. Dia bakal mengalir deras banget bahasa kerennya run off (limpasan permukaan) menuju parit-parit warga, sungai-sungai kecil, atau dataran yang lebih rendah di sekitar bandara. Masalahnya, parit-parit di kampung sekitar mungkin cuma didesain buat nampung air hujan biasa, bukan nampung limpahan air terjun dadakan dari landasan pacu yang luasnya minta ampun. Jadi, jangan kaget kalau nanti ada berita kawasan yang dulunya kering-kering aja, tiba-tiba jadi langganan becek atau banjirnya lama surut. Itu bukan kutukan, itu cuma air yang nggak punya rumah lagi.
Sekarang kita akan pergi ke masalah kedua yang akan langsung terasa di kulit Anda panas yang mengerikan. Kita semua tahu bahwa di Singkawang matahari siang bisa menyebabkan ruam kulit. Sebelum ini, ribuan pohon sawit yang berjejer berfungsi seperti AC raksasa alami. Pohon itu berkeringat, meskipun kita mungkin tidak menyadarinya. Mereka melepaskan uap air ke udara, menurunkan suhu di sekitarnya. Daun pelepah sawit yang lebar juga berfungsi sebagai payung untuk menahan sinar matahari agar tidak langsung menutupi tanah. Tanah yang berada di bawah perlindungan memiliki suhu yang stabil, lembap, dan dingin.
Sekarang, AC dan payung itu sudah dicabut semua. Gantinya apa? Hamparan aspal hitam dan bangunan kaca. Ini kombinasi maut buat urusan suhu. Aspal dan beton itu punya sifat jahat kalau ketemu matahari: mereka hobi banget nyimpen panas. Ketika siang bolong, landasan pacu itu menyerap panas matahari gila-gilaan, persis kayak wajan penggorengan yang lagi dipanasin.
Yang lebih parah, panas itu nggak hilang pas matahari terbenam. Beton itu bakal melepaskan panas simpanannya pelan-pelan saat malam hari. Efeknya? Udara di sekitar kawasan bandara bakal terasa gerah, lengket, dan pengap sepanjang waktu. Angin yang lewat di sana bukan lagi angin sepoi-sepoi yang bawa aroma tanah basah, tapi angin kering yang bawa hawa panas dari aspal. Jadi, kalau warga sekitar merasa kipas angin di rumah kayaknya udah nggak mempan lagi, mungkin itu salah satu efek samping dari hilangnya ribuan pohon yang dulu jadi pendingin kota kita.
Meskipun poin terakhir ini mungkin terdengar sedih, itu penting. Kita sering lupa bahwa kebun sawit tidak hanya pohon. Meskipun kita jarang melihatnya, ada kehidupan yang riuh rendah di sana. Itu adalah rumah bagi ribuan makhluk hidup. Mulai dari burung kutilang kecil atau merbah yang membuat sarang di sela pelepah, biawak yang berlindung di parit, ular sanca yang menunggu tikus datang, hingga jutaan serangga tanah yang sibuk mengurai daun kering. Mereka adalah penduduk asli di wilayah itu. Mereka sudah berada di lokasi jauh sebelum insinyur bandara tiba untuk mengambil gambar desain.
Hewan-hewan ini digusur paksa dengan cara yang paling kejam saat alat berat tiba dan meraung-raung di atas tanah. Mereka tidak menerima ganti rugi, uang kerohiman, atau persiapan rumah susun pengganti. Anda hanya memiliki satu pilihan, lari menyelamatkan diri atau mati tertimbun di tanah urugan. Ke mana mereka lari? Itu benar ke lokasi terdekat yang masih aman. Selain itu, seringkali lokasi terdekat adalah kebun atau rumah warga di dekat bandara. Jadi, fenomena hewan liar masuk ke pemukiman penduduk setelah pembangunan sangat logis. Contoh nyata dari kerusakan rantai makanan adalah ketika banyak ular tiba-tiba masuk ke dapur atau gudang beras diserbu tikus karena predator alaminya, ular tersebut, telah meninggal atau kabur.
Kita memutus siklus alam yang sudah berjalan puluhan tahun. Suara jangkrik dan burung yang dulu jadi musik latar di malam hari, kini pelan-pelan hilang digantikan deru mesin. Kehilangan ini mungkin nggak bisa dihitung pakai uang kayak keuntungan tiket pesawat, tapi ini adalah kerugian ekologis yang dampaknya jangka panjang. Kita kehilangan penyeimbang alam. Tanpa sadar, kita sedang membuat lingkungan hidup kita sendiri jadi makin miskin dan rentan, cuma demi mengejar yang namanya konektivitas.
Pada akhirnya, Bandara Singkawang adalah pedang bermata dua yang harus kita ambil dengan hati-hati. Meskipun kita bangga dengan kemampuan untuk terbang dengan cepat dan menyaksikan kemajuan ekonomi kota, jangan pernah lupa bahwa kepuasan itu tunai dengan hilangnya fungsi tanah sebagai sumber air dan pendinginan alami kota. Beton yang gagah sekarang mungkin membawa kita ke masa depan, tetapi ia juga mewariskan risiko genangan, panas yang lebih kuat, dan kehilangan tempat tinggal bagi satwa yang tergusur paksa. Memang, pembangunan tidak dapat dibatalkan. Namun, kita harus menyadari bahwa setiap jengkal tanah hijau yang kita ganti dengan aspal menyisakan utang lingkungan yang harus kita selesaikan segera agar kemajuan ini tidak berdampak negatif pada masa depan.





























0 Comments