Ticker

6/recent/ticker-posts

Mahasiswa dan Isu Publik: Refleksi 1998 – Realitas Kini

Mahasiswa dan Isu Publik: Refleksi 1998 – Realitas Kini

Oleh: Muhammad Rafli, Wulandari, Giska Amelia Irvi, Fanny Rahma Sari Mahasiswa Ilmu Politik, Universitas Andalas



Gerakan mahasiswa merupakan bagian penting dari sejarah sosial-politik Indonesia. Dalam berbagai momentum, mahasiswa selalu tampil sebagai kekuatan moral yang menyuarakan kepentingan rakyat dan menjadi penyeimbang kekuasaan. Momen paling monumental tentu terjadi pada tahun 1998, ketika mahasiswa menjadi garda terdepan dalam menggulingkan rezim Orde Baru. 

Gerakan tersebut bukan sekadar demonstrasi besar-besaran, tetapi juga simbol dari kesadaran politik dan keberanian moral untuk menuntut perubahan. Namun kini, setelah lebih dari dua puluh lima tahun berlalu, muncul pertanyaan besar: apakah semangat mahasiswa sebagai agen perubahan masih hidup? 

Bagaimana posisi mereka dalam menghadapi isu-isu publik di tengah arus modernisasi dan digitalisasi?

Tahun 1998 adalah puncak dari akumulasi kekecewaan sosial terhadap pemerintahan yang otoriter, korup, dan represif. Krisis ekonomi yang melanda membuat rakyat terpuruk, sementara elit politik tetap mempertahankan kekuasaan dengan segala cara. Dalam situasi itu, mahasiswa tampil sebagai representasi nurani publik yang menuntut keadilan dan reformasi.

Mereka menolak kekerasan, mengusung nilai-nilai demokrasi, dan memperjuangkan kedaulatan rakyat. Teriakan “reformasi” yang menggema di berbagai kampus menjadi titik balik sejarah bangsa. Gerakan ini tidak hanya berhasil menumbangkan rezim, tetapi juga membuka ruang baru bagi demokratisasi di Indonesia. Mahasiswa 1998 menjadi simbol idealisme, keberanian, dan harapan bagi masa depan bangsa.

Namun setelah euforia reformasi mereda, tantangan baru muncul. Demokrasi yang diperjuangkan dengan darah dan air mata kini justru menghadirkan paradoks. 

Kebebasan politik yang luas sering disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok. 

Korupsi masih merajalela, ketimpangan sosial semakin melebar, dan suara rakyat kerap tenggelam dalam hiruk-pikuk politik praktis. 


Di tengah situasi itu, peran mahasiswa sebagai penggerak moral bangsa mulai dipertanyakan. 


Aksi-aksi mahasiswa memang masih terjadi, tetapi tidak lagi seintens dan seberani masa lalu. 

Gerakan mahasiswa kini tampak terfragmentasi dan kehilangan arah perjuangan yang jelas.

Perubahan zaman menjadi salah satu faktor yang memengaruhi wajah gerakan mahasiswa saat ini. 

Mahasiswa kini hidup di era digital, di mana media sosial menggantikan jalanan sebagai ruang ekspresi politik. Kritik dan aspirasi lebih sering disuarakan melalui unggahan, tagar, dan kampanye daring. 


Di satu sisi, teknologi memberi ruang partisipasi yang lebih luas dan cepat. 

Namun di sisi lain, muncul fenomena slacktivism atau aktivisme pasif, di mana keterlibatan mahasiswa berhenti pada simbol-simbol digital tanpa aksi nyata. 

Gerakan yang dulu menuntut perubahan dengan turun ke jalan kini sering terjebak dalam ruang maya yang mudah dilupakan oleh algoritma.

Demonstrasi 25 Agustus 2025 menyuarakan 17+8 Tuntutan Rakyat, yang mencakup tuntutan perbaikan anggaran, transparansi DPR, dan penarikan TNI dari urusan sipil. 

Pada 9 September 2025, mahasiswa UI dan UIN bahkan turun ke DPR RI untuk menagih janji  tersebut dengan poster “Reformasi Dikorupsi” dan “Reset Indonesia”. 

Aksi ini menjadi bukti bahwa semangat reformasi belum sepenuhnya padam, meski bentuk dan strateginya kini beradaptasi dengan realitas zaman digital. 

Namun, perbedaan mencolok dari masa lalu adalah

tantangan terhadap fragmentasi dan polarisasi. 


Tidak sedikit mahasiswa yang justru saling berhadapan di ruang digital karena perbedaan ideologi atau afiliasi politik.

Selain itu, gerakan mahasiswa kini dihadapkan pada fragmentasi isu yang semakin kompleks.

Jika pada tahun 1998 mereka bersatu menentang satu musuh besar, yakni rezim otoriter, maka kini isu publik sangat beragam: korupsi, pendidikan, lingkungan, ketimpangan ekonomi, dan hak asasi manusia. Keberagaman ini memang menunjukkan kepedulian mahasiswa terhadap banyak aspek, tetapi juga membuat sulit terbentuknya solidaritas nasional yang kuat. Gerakan mahasiswa menjadi lebih lokal, lebih tematik, dan sering kehilangan narasi besar yang dapat menyatukan perjuangan lintas kampus dan wilayah.

Krisis idealisme juga menjadi masalah serius. 

Banyak mahasiswa yang kini lebih fokus pada urusan akademik dan karier dibandingkan isu sosial dan politik. Aktivisme kampus sering kali dianggap tidak relevan dengan kebutuhan masa depan profesional. Bahkan, sebagian organisasi kemahasiswaan mulai kehilangan roh perjuangannya, berubah menjadi wadah administratif atau sekadar batu loncatan menuju politik praktis. Tidak sedikit pula aktivis yang setelah lulus justru terserap dalam sistem kekuasaan yang dulu mereka kritik, tanpa membawa nilai-nilai perubahan yang dulu diperjuangkan. Fenomena ini menunjukkan pergeseran dari idealisme menuju pragmatisme yang mengkhawatirkan.

Namun demikian, tidak adil jika seluruh mahasiswa dianggap kehilangan arah. Di banyak tempat, masih ada kelompok-kelompok mahasiswa yang terus bekerja dalam diam. Seperti disampaikan oleh Annisa Maharani dari GMNI, tidak semua perjuangan harus dilakukan di jalan. 


Bagi sebagian mahasiswa, opini dan advokasi di media sosial juga bisa menjadi bentuk kekuatan baru dalam pergerakan digital. Sementara itu, Muhammad Nabil Azka dari BEM

KM UNAND menegaskan bahwa gerakan mahasiswa tidak boleh berhenti di satu momentum, tetapi harus terus diulang dan dikonsolidasikan agar menjadi daya tekan yang nyata terhadap kebijakan publik. Kedua pandangan ini menegaskan perlunya mahasiswa melebur ke dalam masyarakat, bukan berdiri di atasnya.

Di Bandung, kampus UNISBA dan UNPAS menjadi saksi bentrokan mahasiswa dan aparat pada 1–2 September 2025, saat udara demokrasi terasa tegang di antaranya penggunaan gas air mata terhadap mahasiswa—menunjukkan bahwa ruang aksi fisik masih relevan dan tak bisa digantikan sepenuhnya oleh narasi online. Kejadian ini menjadi pengingat keras bahwa perjuangan digital saja tidak cukup. Perubahan nyata masih membutuhkan keberanian kolektif untuk hadir secara fisik, mengartikulasikan tuntutan, dan mempertahankan hak demokrasi di ruang publik.

Untuk mengembalikan relevansinya, mahasiswa perlu menyalakan kembali api kritis dan kesadaran politiknya. Mereka harus menyadari bahwa demokrasi tidak bisa bertahan tanpa partisipasi aktif dan kontrol publik. Mahasiswa perlu kembali menjadi partner kritis bagi pemerintah bukan sekadar oposisi yang menentang, tetapi pengingat moral yang konstruktif.

Kritik harus dibangun di atas data, analisis, dan argumentasi yang kuat. 

Dengan literasi politik yang baik, mahasiswa bisa menjadi kekuatan penyeimbang di tengah derasnya arus disinformasi dan polarisasi politik yang membelah masyarakat.

Selain itu, solidaritas lintas isu dan generasi harus diperkuat. Mahasiswa harus mampu melihat keterkaitan antara satu isu dengan isu lain. Korupsi, pendidikan, lingkungan, dan ketimpangan ekonomi bukanlah persoalan yang berdiri sendiri, tetapi saling berkaitan dalam satu sistem kebijakan yang timpang. Dengan memahami hubungan tersebut, gerakan mahasiswa dapat membangun narasi perjuangan yang lebih holistik dan inklusif.

Kemandirian organisasi juga penting untuk dijaga. Gerakan yang bergantung pada kekuasaan atau sponsor politik akan kehilangan daya kritisnya. Oleh karena itu, mahasiswa harus menjaga integritas gerakannya agar tetap berpihak pada kepentingan publik.

Refleksi atas peristiwa 1998 bukan sekadar nostalgia terhadap masa lalu yang heroik, tetapi juga pengingat bahwa perjuangan tidak pernah benar-benar usai. 

Tantangan yang dihadapi mahasiswa sekarang berbeda, tetapi nilai-nilai yang diperjuangkan tetap sama: keadilan, kebebasan, dan kesejahteraan rakyat. Mahasiswa masa kini perlu menafsirkan kembali semangat 1998 dalam konteks baru bukan dengan meniru bentuknya, tetapi dengan memahami substansinya. 

Jika dulu perjuangan dilakukan dengan turun ke jalan, maka kini perjuangan bisa dilakukan dengan riset, advokasi, teknologi, dan edukasi publik.

Pada akhirnya, mahasiswa harus menyadari bahwa mereka memegang tanggung jawab moralyang besar. 

Mereka bukan sekadar penerus sejarah, tetapi juga penentu arah masa depanbangsa. Di tengah apatisme politik dan pragmatisme sosial, keberanian berpikir kritis danbertindak jujur menjadi bentuk perlawanan yang paling berharga. Seperti kata Soe Hok Gie,

“Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan.” Kutipan ini bukan sekadarslogan, tetapi refleksi abadi bagi setiap generasi mahasiswa. 

Tantangan bagi generasi mahasiswa saat ini adalah menjadi penggerak dari model gerakan baru ini, yang relevan,adaptif, dan efektif dalam mengawal Indonesia menghadapi kompleksitas tantangan abadke-21. 

Kini, tugas mereka bukan mengulang masa lalu, melainkan memastikan bahwasemangat reformasi tetap hidup tidak dalam teriakan, tetapi dalam tindakan nyata untukkebaikan bersama

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS