Oleh : 1. Aqila Fadya Haya, 2.Aziz Lendra, 3.Dinda Dwi Apriliani, 4.Fathir Rahmatullah Juvira, 5.Nindy Dwi Syahira
Setiap bangsa memiliki masa lalu yang selalu membayanginya. Bagi Indonesia, bayangan itu adalah militer institusi yang pernah menjadi penopang sekaligus pengekang bagi demokrasi.
Kini, setelah dua dekade reformasi berlalu, bayangan itu kembali muncul dalam bentuk baru: revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). Revisi ini, khususnya pada Pasal 47, membuka peluang bagi prajurit aktif TNI untuk menduduki jabatan di 16 kementerian dan lembaga sipil, meningkat dari 10 lembaga sebelumnya.
Alasan resmi pemerintah dan DPR terdengar logis bahwa negara menghadapi tantangan keamanan yang kompleks dan memerlukan sinergi lintas sektor. Namun, di balik logika efisiensi itu, tersimpan pertanyaan mendasar: apakah langkah ini akan memperkuat pertahanan nasional atau justru melemahkan demokrasi yang bertumpu pada supremasi sipil?
Bagi saya sebagai mahasiswa ilmu politik, revisi ini bukan sekadar isu teknis hukum, tetapi pembacaan ulang atas perjalanan politik bangsa. Ia menantang ingatan kolektif kita tentang bagaimana kekuasaan militer pernah menjadi bagian dari kehidupan sipil dan bagaimana bangsa ini pernah berjuang untuk membatasinya.
Jejak Sejarah: Dari Tentara Revolusi ke Kekuatan Politik
Sejarah hubungan sipil-militer di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari konteks lahirnya negara. Sejak awal, militer kita tidak lahir dari struktur kolonial, melainkan dari revolusi kemerdekaan. Tentara dibentuk dari rakyat yang berjuang mempertahankan kemerdekaan. Itulah mengapa, dalam benak banyak perwira, militer bukan sekadar alat pertahanan negara, tetapi juga “penjaga republik”. Sejarah panjang kemudian membentuk keyakinan bahwa TNI memiliki “hak moral” untuk terlibat dalam urusan politik dan pemerintahan. Pandangan ini, yang lahir dari semangat revolusioner, menjadi dasar bagi berkembangnya doktrin Dwifungsi ABRI pada masa Orde Baru.
Dwifungsi memberikan militer dua peran sekaligus: alat pertahanan dan kekuatan sosial-politik. Dalam teori Morris Janowitz, inilah yang disebut constabulary force militer yang merasa dirinya bertanggung jawab terhadap stabilitas sosial. Namun di tangan Orde Baru, konsep itu berubah menjadi alat hegemoni kekuasaan. Militer duduk di parlemen, mengisi jabatan birokrasi, bahkan menjadi kepala daerah. Dari 27 jabatan gubernur, 18 di antaranya diisi oleh prajurit. Dari 241 bupati, lebih dari separuh berasal dari ABRI. Pada titik itu, negara menjadi seragam, dan demokrasi kehilangan warna. Reformasi 1998 menjadi tonggak perubahan. Fraksi ABRI di parlemen dibubarkan,Dwifungsi dihapuskan, dan militer dikembalikan ke fungsi pertahanan. Lahirnya UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI menjadi wujud konkret komitmen bangsa terhadap supremasi sipil. Namun, dua dekade kemudian, kita kembali dihadapkan pada pertanyaan: apakah semangat reformasi itu masih hidup?
Revisi UU TNI: Sinergi atau Kembali ke Masa Lalu?
Revisi UU TNI yang kini dibahas DPR memperluas ruang bagi militer aktif untuk masuk ke ranah sipil. Pasal 47 rancangan baru menyebutkan bahwa prajurit dapat menduduki jabatan di 16 lembaga, termasuk BNN, Basarnas, Bakamla, BNPB, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung. Bagi pendukung revisi, langkah ini adalah bentuk adaptasi terhadap ancaman keamanan non-tradisional: terorisme, siber, bencana alam, dan narkotika. Militer dianggap memiliki disiplin, kemampuan manajerial, dan kapasitas tanggap darurat yang dibutuhkan. Namun bagi kalangan pro-demokrasi, perluasan ini justru berbahaya. Ia bukan hanya menormalisasi kembali kehadiran militer di ranah sipil, tetapi juga mengancam netralitas birokrasi dan sistem merit aparatur sipil negara. Dalam logika Huntington (1957), ini mencerminkan subjective civilian control kendali sipil yang lemah karena pemerintah justru mengundang militer masuk ke ruang politik, bukan menahannya di ranah pertahanan.
Militer yang profesional seharusnya tunduk pada objective civilian control: sipil memegang otoritas penuh, sementara militer fokus pada bidangnya. Tetapi melalui revisi ini, garis batas itu kabur. Militer diberi legitimasi hukum untuk kembali ke jabatan sipil bukan karena darurat, melainkan karena dianggap “efisien”.
Pasal 7 dan 53: Sisi Lain yang Tak Kalah Berisiko
Selain Pasal 47, dua pasal lain dalam revisi UU TNI juga memicu polemik: Pasal 7 dan Pasal 53. Pasal 7 memperluas cakupan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) dari 14 menjadi 17 tugas, termasuk membantu pemerintah dalam melindungi WNI di luar negeri dan menanggulangi penyalahgunaan narkoba. Sekilas tampak positif, tetapi perlu dicermati bahwa pelibatan militer dalam urusan domestik tanpa pengawasan parlemen yang kuat dapat menggerus prinsip akuntabilitas publik. Pasal 53 memperpanjang usia pensiun prajurit hingga 62 tahun untuk perwira tinggi dan bahkan sampai 67 tahun bagi jenderal bintang empat. Alasan resminya adalah menyesuaikan dengan usia produktif dan menjaga kesinambungan keahlian. Namun, kebijakan ini juga membuka ruang perpanjangan karier politik militer di luar barak, memperpanjang bayang-bayang kekuasaan seragam di struktur negara.
Jika ketiga pasal ini disahkan tanpa koreksi, revisi UU TNI bukan sekadar penyesuaian administratif, tetapi rekonstruksi kultural menghidupkan kembali dwifungsi dalam wajah baru yang lebih halus dan legal.
Supremasi Sipil: Pilar Demokrasi yang Mulai Retak
Demokrasi sejati berdiri di atas prinsip supremasi sipil bahwa kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat melalui pemerintahan sipil yang dipilih secara demokratis. Militer, betapa pun mulianya peran mereka, tetap harus berada di bawah kendali sipil. Prinsip ini bukan hanya soal struktur hukum, tapi juga tentang mentalitas bernegara. Militer harus menjadi penjaga, bukan pemain politik. Sipil harus berani memimpin, bukan sekadar bergantung pada kekuatan bersenjata. Namun, jika prajurit aktif duduk di lembaga sipil, dua risiko muncul sekaligus. Pertama, benturan kultur organisasi: militer bekerja dengan logika komando, sedangkan birokrasi sipil bekerja dengan logika partisipasi dan akuntabilitas. Kedua, loyalitas ganda: pejabat militer di lembaga sipil akan cenderung patuh pada dua atasan pimpinan lembaga dan Panglima TNI. Kondisi ini mengancam esensi demokrasi deliberatif, di mana kebijakan publik seharusnya diambil melalui proses rasional dan transparan, bukan perintah hierarkis.
Refleksi: Demokrasi yang Lupa Sejarahnya
Sebagai mahasiswa ilmu politik, saya belajar bahwa demokrasi tidak hanya diukur dari keberadaan pemilu, tetapi dari keseimbangan kekuasaan dan kesadaran sejarah. Bangsa yang mudah lupa akan kesalahannya cenderung mengulanginya. Reformasi 1998 adalah perjuangan untuk mengembalikan negara kepada rakyat. Saat itu, suara “kembalikan militer ke barak” bukan sekadar slogan, tapi seruan moral untuk menegakkan civil supremacy. Kini, dengan revisi UU TNI, semangat itu seperti perlahan memudar. Ketika seragam kembali hadir di jabatan sipil, kita seperti menarik garis waktu ke belakang. Bedanya, kali ini tidak ada paksaan, tetapi pembenaran rasional: sinergi, efisiensi, koordinasi. Padahal, seperti diingatkan Alexis de Tocqueville, “kebebasan tidak mati karena perang, melainkan karena pembenaran yang tampak masuk akal.” Jika revisi ini disahkan tanpa kontrol, demokrasi kita akan menghadapi bahaya laten: militerisasi yang dilegalkan dan degradasi supremasi sipil. Pelan tapi pasti, demokrasi bisa mati bukan karena kudeta, tapi karena diamnya warga sipil yang menyerahkan ruangnya secara sukarela.
Pelajaran dari Masa Lalu dan Jalan ke Depan
Hubungan sipil-militer yang sehat tidak bisa dibangun hanya dengan hukum, tetapi dengan komitmen moral dan kesadaran sejarah. Profesionalisme militer sejati justru tumbuh ketika mereka menolak godaan kekuasaan politik.
Negara bisa memperkuat koordinasi tanpa melanggar prinsip demokrasi.
Misalnya, melalui mekanisme penugasan terbatas, kerja sama antarlembaga, atau pelatihan lintas institusi.
Dengan demikian, perwira TNI tetap bisa berkontribusi di bidang sipil tanpa mengorbankan netralitas institusinya. Selain itu, parlemen dan masyarakat sipil harus lebih aktif mengawasi setiap perubahan kebijakan di sektor pertahanan. Demokrasi hanya bisa hidup bila rakyatnya waspada. Seperti kata Benjamin Franklin, “mereka yang menyerahkan kebebasan demi keamanan tidak pantas mendapatkan keduanya.”
Penutup:
Revisi UU TNI mungkin dimaksudkan untuk memperkuat negara, tetapi negara yang kuat bukan berarti negara yang seragam. Kekuatan sejati sebuah republik terletak pada kemampuannya menjaga keseimbangan antara militer yang tangguh dan sipil yang berdaulat. Jika demokrasi Indonesia ingin bertahan, maka prinsip supremasi sipil harus dijaga dengan teguh.
Bukan karena kita anti-militer, tetapi karena kita menghormati profesionalisme militer itu sendiri. Tentara adalah pelindung, bukan pengelola negara. Reformasi 1998 mengajarkan bahwa demokrasi hanya akan tumbuh bila senjata tunduk pada suara rakyat.
Dan sebagai mahasiswa, sebagai warga negara, kita memikul tanggung jawab moral untuk memastikan prinsip itu tidak hilang dalam revisi undang-undang, rapat parlemen, atau kepentingan politik sesaat. Sebab ketika sipil berhenti mengawasi, sejarah akan berulang.
Dan saat itu terjadi, seragam bukan lagi simbol pengabdian, tetapi tanda bahwa demokrasi telah kehilangan dirinya sendiri.
0 Comments