Oleh: Fadhila Mutia Salsa (2410833014). Mata Kuliah Sosiologi Politik universitas Andalas Padang
Dalam dunia politik modern, komunikasi bukan lagi sekadar alat penyampaian pesan, tetapi fondasi dari legitimasi pemerintahan. Pemerintah yang mampu berkomunikasi dengan efektif akan lebih mudah memperoleh kepercayaan masyarakat terhadap kebijakan yang dibuat. Namun, di era digital yang serba cepat dan terbuka, komunikasi pemerintah menghadapi ujian besar yaitu bagaimana menjaga kejelasan pesan di tengah derasnya arus informasi dan tingginya tingkat skeptisisme publik.
Di Indonesia, perkembangan media sosial membuat komunikasi pemerintah semakin terbuka, tetapi sekaligus rentan terhadap kesalahan persepsi. Di satu sisi, pemerintah berupaya hadir di ruang digital untuk mendekatkan diri kepada masyarakat namun di sisi lain, pesan-pesan yang disampaikan sering kali tidak seragam, kurang transparan, atau justru menimbulkan perdebatan baru. Akibatnya, bukan kepercayaan yang tumbuh, melainkan keraguan.
Menurut Harold D. Lasswell (1948), komunikasi dapat dipahami melalui rumus klasik “Who says what, in which channel, to whom, and with what effect.” Artinya, keberhasilan komunikasi ditentukan oleh siapa yang berbicara, apa yang disampaikan, melalui saluran apa, kepada siapa, dan apa dampaknya. Jika salah satu unsur tidak berjalan dengan baik, maka pesan akan kehilangan maknanya. Sementara Cutlip, Center, dan Broom (2011) dalam Government Public Relations Theory menyebutkan bahwa komunikasi publik pemerintah memiliki dua arah pemerintah menyampaikan informasi, dan masyarakat memberikan tanggapan. Di sini, komunikasi berperan sebagai jembatan antara kebijakan dan realitas sosial.
Namun di Indonesia, pola komunikasi publik pemerintah sering kali masih bersifat top-down. Pemerintah bicara, rakyat mendengar. Pemerintah memutuskan, rakyat menyesuaikan. Akibatnya, komunikasi berubah menjadi instrumen kekuasaan, bukan sarana partisipasi publik. Effendy (2019) menyebutkan bahwa komunikasi pemerintah yang tidak konsisten akan menciptakan trust deficit kesenjangan antara apa yang dikatakan pemerintah dengan apa yang dipercaya masyarakat. Sementara menurut Denhardt & Denhardt (2015), dalam konsep New Public Service, pemerintah harus berfokus pada serving rather than steering melayani, bukan mengendalikan. Ini berarti komunikasi publik harus jujur, terbuka, dan empatik, bukan sekadar alat legitimasi kekuasaan. Kedua pandangan tersebut menggambarkan kondisi komunikasi pemerintah Indonesia saat ini: kaya secara teknologi, tetapi miskin dalam kepercayaan. Pemerintah bisa bicara di banyak platform, tetapi pesan yang sampai ke masyarakat sering kali tidak utuh, bahkan saling bertentangan.
Ketika Pesan Pemerintah Gagal Menyentuh Publik
Dalam beberapa tahun terakhir, publik disuguhi berbagai contoh bagaimana komunikasi pemerintah justru menimbulkan kebingungan di masyarakat. Misalnya, pada masa pandemi Covid-19, ketika kebijakan pembatasan sosial berubah nama dan format beberapa kali mulai dari PSBB, PPKM, hingga PPKM Mikro tanpa penjelasan yang konsisten. Apa yang sebenarnya ingin disampaikan pemerintah adalah upaya menjaga keseimbangan antara kesehatan dan ekonomi. Namun bagaimana pesan itu dikomunikasikan justru membuat masyarakat bingung. Perubahan istilah dan kebijakan yang mendadak tanpa sosialisasi matang menciptakan persepsi bahwa pemerintah tidak memiliki arah yang jelas.
Pihak yang berbicara pun sering kali tidak satu suara. Beberapa pejabat publik memberikan pernyataan berbeda di waktu yang hampir bersamaan. Seorang menteri mengatakan harga bahan pokok terkendali, sementara pejabat lain menyebut inflasi mulai naik. Ketidaksinkronan ini menimbulkan pertanyaan: siapa sebenarnya yang harus dipercaya?
Hal ini bukan hanya terjadi di masa pandemi. Dalam isu subsidi energi dan kenaikan harga BBM misalnya, komunikasi pemerintah kembali diuji. Masyarakat menerima informasi yang tumpang tindih, antara alasan fiskal, pengalihan subsidi, dan kebijakan kompensasi. Akibatnya, publik tidak merasa dilibatkan dalam proses kebijakan, melainkan sekadar diberi tahu keputusan final. Kapan persoalan ini paling menonjol? Setiap kali pemerintah menghadapi situasi krisis atau kebijakan sensitif entah itu isu ekonomi, lingkungan, atau politik. Dalam masa-masa seperti ini, kecepatan komunikasi menjadi penting, tetapi justru di situlah banyak kesalahan terjadi karena pesan tidak dikonsolidasikan dengan baik. Komunikasi ini tidak lagi berlangsung di ruang sidang atau konferensi pers resmi, tetapi di media sosial. Twitter (kini X), Instagram, TikTok, dan YouTube menjadi medan utama bagi pemerintah untuk menyampaikan pesan. Sayangnya, pendekatan komunikasi digital pemerintah sering kali lebih bersifat broadcasting (menyebar pesan) daripada engaging (membangun dialog). Sementara itu, mengapa situasi ini terus terjadi? Karena komunikasi pemerintah masih terlalu bergantung pada simbol politik dan personalisasi kekuasaan. Banyak pejabat publik yang menggunakan akun pribadi untuk mempromosikan citra, bukan menjelaskan kebijakan. Padahal, di ruang digital, masyarakat menuntut kejelasan, bukan pencitraan.
Kepercayaan Publik yang Kian Menurun
Survei Lembaga Survei Indonesia (2024) menunjukkan tingkat kepercayaan publik terhadap komunikasi pemerintah hanya 58%, turun dari 67% pada 2022. Penurunan ini paling tajam terjadi di kelompok usia muda (18–30 tahun) yang aktif di media sosial. Sementara laporan We Are Social (2025) mencatat bahwa 83% masyarakat Indonesia menggunakan media sosial, namun hanya 46% yang percaya informasi dari akun resmi pemerintah. Artinya, hampir separuh warga menganggap pesan pemerintah bias atau tidak objektif. Selain itu, Kementerian Kominfo (2023) menemukan lebih dari 1.800 konten hoaks politik dan kebijakan publik beredar selama tahun politik 2023. Situasi ini menggambarkan bahwa komunikasi pemerintah belum mampu menjadi sumber kebenaran utama, bahkan kalah cepat dari narasi liar di dunia maya.
Kegagalan komunikasi pemerintah bukan hanya soal reputasi, tetapi juga soal demokrasi. Ketika pesan pemerintah tidak dipercaya, maka partisipasi publik melemah. Warga kehilangan minat untuk berdialog atau memberikan masukan terhadap kebijakan. Ruang publik yang seharusnya menjadi arena deliberasi berubah menjadi ladang disinformasi. Kondisi ini memperlihatkan bahwa komunikasi yang buruk bisa berujung pada krisis legitimasi. Pemerintah mungkin masih berkuasa secara hukum, tetapi kehilangan dukungan moral dari rakyatnya. Dan ketika itu terjadi, demokrasi berjalan pincang karena kehilangan unsur paling pentingnya kepercayaan.
Dari Citra Menuju Substansi
Untuk membangun komunikasi publik yang sehat, pemerintah perlu melakukan perubahan mendasar bukan hanya pada cara berbicara, tetapi pada cara mendengar. Pertama, bangun koordinasi dan satu narasi nasional, setiap kementerian dan lembaga harus berbicara dengan suara yang seragam. Dibutuhkan Public Communication Center yang mengoordinasikan seluruh pesan kebijakan agar tidak tumpang tindih. Kemudian, latih pejabat publik menjadi komunikator yang empatik. Pejabat publik perlu memahami psikologi masyarakat. Mereka tidak hanya menyampaikan data, tetapi juga menjelaskan konteks, alasan, dan dampak kebijakan dengan bahasa yang mudah dicerna. Lalu manfaatkan media digital untuk dialog, bukan propaganda. Akun resmi pemerintah seharusnya membuka ruang tanya-jawab, bukan sekadar postingan seremonial. Publik perlu merasa dilibatkan melalui interactive communication seperti forum digital, polling, dan klarifikasi langsung. Keterbukaan data dan fakta juga tak kalah penting. Setiap kebijakan harus disertai dengan data yang terbuka untuk publik. Transparansi bukan ancaman bagi kekuasaan, tetapi jaminan bagi kepercayaan. Terakhir, kolaborasi dengan akademisi dan media independen Pemerintah perlu menggandeng perguruan tinggi dan jurnalis untuk memperkuat validasi informasi kebijakan. Sinergi antara pengetahuan dan komunikasi akan menciptakan pesan publik yang berbobot dan objektif.
Membangun Pemerintahan yang Didengar dan Dipercaya
Komunikasi pemerintah adalah wajah negara di mata rakyatnya. Di era digital, di mana setiap warga memiliki suara, pemerintah tidak bisa lagi berkomunikasi dengan cara lama. Transparansi, konsistensi, dan empati harus menjadi prinsip utama. Kepercayaan publik tidak dibangun dari slogan atau unggahan media sosial, tetapi dari kesediaan untuk mendengarkan dan menjelaskan dengan jujur. Ketika pemerintah mampu berbicara dengan hati dan mendengar dengan tulus, maka jarak antara negara dan rakyat akan menyempit. Dan di situlah, demokrasi menemukan kembali rohnya pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
0 Comments