Oleh : Hidayatul Ikhsan, Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik, Universitas Andalas
Di tengah kesibukan yang terjadi di Kota Padang, tersembunyi fenomena menyedihkan, yaitu anak jalanan. Di persimpangan lalu lintas atau trotoar pasar tradisional seperti Pasar Raya Padang, puluhan anak kecil berpakaian compang-camping mengemis atau menjajakan barang dagangan seadanya. Mereka merupakan generasi muda yang terjebak dalam lingkaran kemiskinan dan ketidakpastian. Fenomena ini bukan hanya sekedar pemandangan sehari-hari, namun juga simbol dari gagalnya sistem sosial yang lebih luas, yang mana fenomena ini mengkhawatirkan kesejahteraan masyarakat di tengah pertumbuhan Kota Padang.
Menurut UU No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, anak jalanan merupakan anak-anak yang berusia di bawah 18 tahun yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mengemis, bekerja kasar, ataupun terlibat dalam aktivitas kriminal ringan. Sedangkan, UNICEF mengartikan anak jalanan sebagai anak yang hidup tanpa adanya pengawasan dari orangtua atau wali, yang seringkali disebabkan karena faktor kemiskinan atau konflik keluarga. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Barat, tahuun 2023 mencatat bahwa terdapat sekitar 500 anak jalanan aktif yang berada di wilayah sibuk (wilayah urban), yang mana ini memiliki kenaikan sebesar 15% daripada tahun-tahun sebelumnya.
Fenomena anak jalanan terjadi akibat adanya beberapa faktor yang saling memiliki kaitan, mulai dari faktor yang jenisnya struktural hingga personal, dengan faktor utama terjadinya fenomena ini adalah kemiskinan struktural. Berdasarkan laporan dari Dinas Sosial Kota Padang pada tahun 2024, 60% anak jalanan berasal dari keluarga yang pendapatannya di bawah garis kemiskinan akibat orang tua kehilangan pekerjaan. Selain itu, faktor keluarga seperti broken home atau kekerasan dalam keluarga juga mendorong anak-anak melarikan diri ke jalanan. Kemudian, faktor kurangnya akses pendidikan juga berperan besar dalam mengakibatkan terjadinya fenomena anak jalanan. Dengan berdasar pada data Kementerian Pendidikan tahun 2023, sekitar 20% anak- anak usia sekolah di Padang mengalami putus sekolah karena terkendala biaya transportasi dan biaya keperluan sekolah yang tinggi.
Hal ini tentunya sangat berdampak besar bagi anak-anak dan dapat merusak rencana masa depan, karena secara fisik anak-anak jalanan rentan terhadap berbagai penyakit, seperti diare dan
infeksi kulit dari sanitasi yang buruk, yang mana ini dibuktikan dengan tingginya tingkat stunting di kalangan anak jalanan di Kota Padang (Kesehatan Kota Padang tahun 2024). Belum lagi kerugian secara psikologi dan mental yang disebabkan karena pemaksaan hingga pelecahan yang dapat menyebabkan depresi dan kecemasan berlebih (gangguan mental). Hal ini diperburuk dengan resiko anak-anak dapat terlibat dalam kriminalitas remaja, perdagangan manusia, hingga prostitusi dini. Dampak ini tidak hanya dapat menghancurkan masa depan individu, namun juga membebani masyarakat luas melalui peningkatan beban layanan sosial dan keamanan.
Dalam menghadapi dan menyelesaikan permasalahan ini, peran aktor pemerintah dan non- pemerintah menjadi penting, tetapi masih terbilang belum optimal. Pemerintah daerah melalui Dinas Sosial dan Perlindungan Anak Kota Padang sudah menjalankan program seperti “Rumah Singgah Anak Jalanan” yang bisa menampung sekitar 100 anak per tahunnya untuk dilaksanakannya rehabilitasi dan pendidikan dasar. Program ini berhasil mereintegrasikan 70 anak ke keluarga atau sekolah pada tahun 2024. Kemudian, Kementrian Sosial Republik Indonesia mendukung program ini dengan memberikan bantuan nasional seperti Kartu Indonesia Pintar untuk anak yang kekurangan (miskin), yang di Padang berhasil menjangkau sekitar 5.000 anak jalanan yang potensial.
Sementara itu, peran aktor non-pemerintah melengkapi peran aktor pemerintah. Hal ini sudah dilakukan oleh LSM Yayasan Sayangi Tunas Cilik (STC) di Kota Padang yang aktif melakukan pendampingan langsung seperti pelatihan keterampilan anak jalanan agar dapat masuk kembali ke dalam sosial masyarakat. Selain itu, komunitas lokal seperti Forum Warga Peduli Anak Padang telah bekerja sama dengan gereja dan masjid untuk program makan siang gratis dan konseling. Donasi juga telah diberikan oleh beberapa lembaga swasta seperti perusahaan tambang di sekitar Padang untuk membiayai pusat rehabilitasi.
Kolaborasi antara aktor pemerintah dan non pemerintah terbilang efektif dan berhasil mengurangi jumlah anak jalanan di daerah pusat kota sebesar 15%.
Maka dari itu, fenomena anak jalanan di Kota Padang adalah tanggung jawab bersama, tidak hanya pemerintah, namun juga masyarakat dan lembaga swasta. Hal ini karena bukan hanya anak-anak jalanan yang gagal, tetapi juga seluruh aspek-aspek daerah yang membiarkan fenomena ini terus berlanjut.
Karena itu, diperlukannya solusi yang holistik, yang dapat dilakukan dengan memperkuat program-program pencegahan fenomena anak jalanan dengan menekankan pada unsur pendidikan dan kesehatan gratis serta bantuan biaya ekonomi untuk keluarga miskin, seperti subsidi UMKM untuk kedua orangtua. Selain itu, dibutuhkannya penegakan hukum terkait permasalahan eksploitasi anak.
Kemudian, hal yang paling penting untuk dilakukan adalah kolaborasi bersama (kolaborasi multi sektor) yang melibatkan masyarakat serta pihak swasta dan komunitas warga dalam melakukan monitoring dan inovasi yang lebih kreatif.
0 Comments