Oleh ; Anugerah Raja Lintang Mahasiswa Unand jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Ruang politik kini tidak hanya di gedung DPR atau arena kampanye. Perdebatan politik paling ramai justru terjadi di media sosial. Sayangnya, semakin bebas orang bicara, semakin sering pula batas etika dilanggar. Fitnah, hoaks, dan serangan pribadi seolah menjadi hal biasa. Padahal, kebebasan berbicara seharusnya membawa pencerahan, bukan permusuhan. Kebebasan berekspresi dijamin oleh konstitusi, tapi kebebasan itu punya batas. Hukum hadir untuk menata, bukan mengekang. Undang-Undang ITE, KUHP, dan aturan kampanye dibuat agar ruang publik tidak disalahgunakan. Namun, faktanya, banyak politisi dan tim kampanye yang justru memakai media sosial untuk menyebar ujaran kebencian. Bawaslu mencatat ratusan pelanggaran digital selama Pemilu 2024, mayoritas karena penyebaran berita bohong dan hinaan terhadap lawan politik. Masalah kita bukan hanya lemahnya hukum, tapi juga hilangnya etika. Banyak elite politik yang menghalalkan segala cara demi kepentingan pribadi. Padahal, politik tanpa etika hanya menghasilkan kekuasaan tanpa moral. Komunikasi politik seharusnya membangun pemahaman rakyat, bukan memperkeruh suasana. Hukum memang bisa menindak pelaku pelanggaran, tapi tidak bisa menumbuhkan kesadaran. Itu sebabnya literasi politik dan etika komunikasi harus diperkuat, terutama di kalangan muda. Media sosial seharusnya menjadi ruang pendidikan politik, bukan tempat menebar kebencian. Kita perlu belajar bahwa kebebasan berbicara tidak berarti bebas menghina. Kritik politik harus berbasis data dan disampaikan dengan cara yang santun. Demokrasi bukan tentang siapa yang paling keras berbicara, tapi siapa yang paling bijak menyampaikan gagasan. Etika dan hukum adalah dua sisi yang tidak bisa dipisahkan. Tanpa etika, hukum menjadi kaku; tanpa hukum, etika kehilangan pegangan.
Bila komunikasi politik dijalankan dengan kedua prinsip itu, Indonesia akan melangkah menuju demokrasi yang lebih dewasa dan beradab.
0 Comments