Oleh: Muhammad Fajri mahasiswa ilmu politik universitas Andalas Padang
Di era digital saat ini, sosialisasi politik tidak lagi hanya berlangsung di ruang-ruang formal seperti kampus, organisasi, atau lembaga pendidikan politik. Dunia maya, terutama media sosial, telah menjadi arena utama bagi generasi muda untuk mengenal, menilai, bahkan mengekspresikan pandangan politiknya. Namun, kemudahan akses informasi ini justru menghadirkan dilema baru: apakah generasi Z benar-benar lebih sadar politik, atau hanya sekadar menjadi penonton aktif di balik layar?
Penelitian yang dilakukan oleh Kurniawan, Arham, dan Muluk dari Universitas Indonesia menunjukkan bahwa penggunaan media sosial memang memiliki pengaruh terhadap peningkatan partisipasi politik. Dalam kajiannya terhadap 16 penelitian dengan total lebih dari 33.000 partisipan, ditemukan bahwa media sosial memberikan efek “sedang” terhadap partisipasi politik warga. Artinya, media digital memang membuka ruang bagi keterlibatan, tetapi belum mampu mengubah secara mendasar perilaku politik masyarakat. Fakta ini menunjukkan bahwa meskipun anak muda tampak aktif di dunia maya, aktivitas tersebut belum tentu berujung pada tindakan nyata seperti menggunakan hak pilih atau terlibat dalam gerakan sosial politik.
Fenomena serupa juga terlihat dalam riset yang dilakukan di Kota Padang. Penelitian yang dipublikasikan oleh Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik tahun 2023 menemukan bahwa penggunaan media sosial dan tingkat kepercayaan politik hanya berkontribusi sekitar 31,6 persen terhadap partisipasi politik generasi muda. Dengan kata lain, meski mereka aktif di dunia digital, sebagian besar anak muda masih enggan berpartisipasi dalam kegiatan politik konvensional. Ini memperlihatkan bahwa sosialisasi politik di ruang digital sering kali berhenti di permukaan, tidak menumbuhkan kesadaran politik yang mendalam.
Masalah lain yang muncul adalah rendahnya literasi digital di kalangan remaja dan mahasiswa. Banyak di antara mereka yang belum mampu membedakan antara informasi politik yang benar dan yang menyesatkan. Menurut hasil penelitian dari Universitas Negeri Padang tahun 2024, rendahnya kemampuan verifikasi informasi membuat generasi muda rentan terhadap disinformasi, hoaks, dan propaganda yang disebarkan melalui media sosial. Akibatnya, politik sering kali dipahami secara dangkal dan emosional, bukan secara rasional dan berbasis data. Sosialisasi politik yang seharusnya menjadi sarana pendidikan, justru berubah menjadi ajang manipulasi opini publik.
Fakta-fakta tersebut mengingatkan kita bahwa media sosial memang memiliki potensi besar untuk memperluas jangkauan sosialisasi politik, tetapi tanpa arah yang jelas dan tanpa literasi politik yang kuat, ruang digital justru bisa menjadi bumerang bagi demokrasi. Sosialisasi politik yang hanya mengandalkan konten viral, tanpa pembinaan nilai dan pemahaman kritis, akan melahirkan generasi yang aktif secara digital tetapi pasif secara politik.
Sudah saatnya pemerintah, lembaga pendidikan, dan partai politik berkolaborasi untuk menghidupkan kembali bentuk sosialisasi politik yang lebih nyata dan membumi. Pendidikan politik di sekolah dan kampus perlu diarahkan tidak hanya pada pemahaman teori, tetapi juga praktik berpikir kritis terhadap isu-isu publik. Kegiatan tatap muka seperti diskusi publik, forum mahasiswa, atau lokakarya politik harus diperkuat agar generasi muda memiliki ruang untuk berdebat, berdialog, dan berpendapat secara langsung. Selain itu, lembaga penyelenggara pemilu seperti KPU juga harus memanfaatkan media sosial dengan pendekatan edukatif, bukan hanya informatif, agar pesan politik yang disampaikan tidak berhenti di permukaan.
Generasi Z adalah tumpuan masa depan politik Indonesia. Mereka hidup di tengah derasnya arus informasi, di mana setiap orang bisa menjadi penyampai pesan politik. Namun, agar demokrasi tidak kehilangan makna, sosialisasi politik harus diarahkan pada pembentukan kesadaran, bukan sekadar hiburan. Dari layar ponsel hingga bilik suara di TPS, generasi muda harus diyakinkan bahwa politik bukan sekadar urusan elite, melainkan ruang perjuangan untuk menentukan arah masa depan bangsa.
Sosialisasi politik yang nyata berarti memberi ruang bagi generasi muda untuk berpikir kritis, bersuara dengan data, dan bertindak dengan kesadaran. Jika langkah ini tidak segera diambil, kita akan melahirkan generasi yang sibuk berkomentar di dunia maya, tetapi diam ketika waktunya menentukan nasib bangsanya di dunia nyata.
0 Comments