Penulis: Aldyaksa Jaka Utama. Mahasiswa Universitas Andalas Prodi Sastra Minangkabau
Berani Tidak Sempurna: Stoicisme sebagai Panduan untuk Menerima Diri dan Mengembangkan Kebijaksanaan Diri
Dunia terus menerus menuntut akan kesempurnaan, kita sering kali merasa tertekan untuk menjadi sosok tanpa celah.
Kita membandingkan diri dengan standar yang mustahil, terjebak dalam pusaran kecemasan, dan akhirnya, merasa tidak pernah cukup. Namun, ada sebuah jalan kuno yang menawarkan perspektif berbeda. Filosofi ini mengajarkan kita untuk merangkul ketidaksempurnaan sebagai bagian tak terpisahkan dari pengalaman manusia: Stoicisme.
Stoicisme bukan tentang menekan emosi atau menjadi robot yang acuh tak acuh. Sebaliknya, ia adalah seni hidup yang mengajarkan kita untuk fokus pada apa yang bisa kita kendalikan, pikiran, penilaian, dan tindakan kita untuk melepaskan apa yang di luar kendali kita. Stoicisme menawarkan paradigma yang membebaskan. Alih-alih mengejar kesempurnaan yang fatamorgana, kita diajak untuk melihat diri kita apa adanya, dengan segala kekurangan dan kelebihannya.
Salah satu pilar utama Stoicisme adalah konsep mortalitas dan kerapuhan manusia. Para penganut Stoic meyakini bahwa menyadari keterbatasan dan ketidaksempurnaan kita bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan. Ketika kita menerima bahwa kita akan membuat kesalahan, berbuat bodoh, dan tidak selalu berhasil, kita membebaskan diri dari beban harapan yang tidak realistis. Ini adalah langkah pertama menuju ketenangan batin. Kita berhenti menghukum diri sendiri karena tidak menjadi sempurna dan mulai belajar dari setiap kesalahan sebagai bagian dari proses pertumbuhan.
Penerapan Stoicisme dalam kehidupan sehari-hari bisa dimulai dari hal-hal kecil. Ketika kita melakukan kesalahan, alih-alih tenggelam dalam rasa malu, kita bisa bertanya pada diri sendiri: "Apakah ini di bawah kendali saya?" Jika jawabannya "ya", kita mengambil tanggung jawab untuk memperbaikinya tanpa menyalahkan diri sendiri. Jika "tidak," kita melatih diri untuk melepaskannya dan menerima bahwa tidak semua hal berjalan sesuai rencana. Ini adalah latihan kebijaksanaan diri yang mengikis ego dan memperkuat karakter.
Mengembangkan kebijaksanaan diri (phronesis) adalah puncak dari praktik Stoic. Hal ini bukan tentang menjadi seorang filsuf yang bijaksana, tetapi tentang memiliki penilaian yang jernih dalam menghadapi setiap situasi. Dengan mengamati pikiran dan emosi kita tanpa menghakimi, kita mulai memahami pola-pola yang membentuk reaksi kita. Kita menyadari bahwa penderitaan seringkali bukan berasal dari peristiwa itu sendiri, melainkan dari cara kita menilainya. Contohnya, kegagalan bukan akhir dari segalanya, melainkan kesempatan untuk mencoba lagi dengan cara yang berbeda.
Jadi, berani tidak sempurna berarti memilih ketenangan di atas kekhawatiran, menerima diri sendiri di atas tuntutan orang lain, dan mengembangkan kebijaksanaan di atas ego. Ini adalah perjalanan yang tak pernah usai, sebuah komitmen untuk terus belajar dan bertumbuh. Dengan mempraktikkan Stoicisme, kita tidak hanya menemukan kedamaian batin, tetapi juga menjadi pribadi yang lebih tangguh, empatik, dan, yang terpenting, otentik.
Kita menyadari bahwa kecantikan sejati terletak bukan pada kesempurnaan, melainkan pada keberanian untuk merangkul seluruh diri kita seutuhnya manusia.
0 Comments