Ticker

6/recent/ticker-posts

Tambang Nikel di Raja Ampat: Ancaman terhadap Lingkungan, Hak Masyarakat Adat, dan Pelanggaran Nilai-Nilai Pancasila

Oleh: Khalid Randhika Martsy.  Mahasiswa universitas Andalas Padang 



Pendahuluan

Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan sumber daya alam yang luar biasa. Namun, di balik potensi tersebut, sering kali muncul dilema antara pembangunan ekonomi dan perlindungan lingkungan serta hak asasi manusia. Salah satu contoh nyata dari dilema ini adalah pemberian izin tambang nikel di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya. Wilayah yang selama ini menjadi ikon keindahan alam dan pusat ekowisata dunia ini, kini terancam oleh ekspansi industri pertambangan.

Komnas HAM dan berbagai organisasi masyarakat sipil menyuarakan kekhawatiran atas potensi pelanggaran hak asasi manusia, perusakan lingkungan hidup, dan pengabaian hak masyarakat adat akibat kegiatan tambang ini. Melalui artikel ini, kita akan menelaah kasus tambang nikel di Raja Ampat melalui sudut pandang ideologi bangsa Indonesia — Pancasila, sebagai dasar negara dan pedoman moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Latar Belakang Kasus

Pada awal tahun 2025, muncul laporan bahwa dua perusahaan tambang nikel, yakni PT Anugerah Tambang Smelter dan PT Karunia Investama Sejahtera, mendapatkan izin usaha pertambangan (IUP) di wilayah hutan Raja Ampat. Izin tersebut meliputi area hutan lindung yang masuk dalam kawasan penting secara ekologis dan budaya. Wilayah ini juga merupakan tanah ulayat masyarakat adat Moi, yang selama turun-temurun menjaga dan menggantungkan hidup dari alam sekitarnya.

Pelanggaran yang terjadi antara lain:

1. Tidak adanya persetujuan bebas, didahului, dan diinformasikan (FPIC) dari masyarakat adat.

2. Ancaman terhadap biodiversitas laut dan darat yang sangat sensitif terhadap perubahan ekologis.

3. Minimnya partisipasi publik dalam proses perizinan.

4. Dugaan pelanggaran hak atas lingkungan hidup yang sehat dan hak atas tanah.

Aktivitas pertambangan berpotensi merusak hutan tropis dan kawasan pesisir yang menjadi rumah bagi beragam spesies langka. Selain itu, pencemaran air laut dan tanah akibat limbah tambang bisa menghancurkan ekosistem laut yang selama ini menjadi basis ekowisata di Raja Ampat. Dampak negatif ini secara langsung berimbas pada masyarakat adat Moi, yang terancam kehilangan ruang hidupnya. Warisan budaya dan identitas mereka juga berisiko memudar, diperparah oleh potensi konflik horizontal maupun vertikal akibat ketimpangan dalam proses pengambilan keputusan.

Pariwisata juga kena imbasnya, sektor pariwisata, terutama ekowisata, merupakan tulang punggung ekonomi lokal di kawasan tersebut. Namun, kelangsungannya kini terancam oleh kerusakan lingkungan dan perubahan lanskap alam yang selama ini menjadi daya tarik utama wisatawan. Jika degradasi lingkungan terus berlangsung, daya tarik Raja Ampat sebagai destinasi wisata kelas dunia bisa memudar dan berdampak serius terhadap kesejahteraan masyarakat setempat.

Eksploitasi alam melalui tambang nikel di tanah adat Moi tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga mengingkari nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa karena mengabaikan kesakralan ciptaan Tuhan yang dijunjung tinggi masyarakat adat. Perusakan alam ini sekaligus melanggar prinsip Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, sebab mengorbankan keselamatan ekologi dan kehidupan masyarakat lokal tanpa penghormatan terhadap hak asasi mereka. Kebijakan yang diskriminatif dan eksploitatif juga berpotensi memecah belah, bertentangan dengan semangat Persatuan Indonesia karena justru memicu konflik sosial serta memperlebar jurang antara pusat dan daerah.

Selain itu, proses pengambilan keputusan yang tidak mengedepankan musyawarah dan mengabaikan suara masyarakat adat jelas mengkhianati asas Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Pembangunan yang hanya menguntungkan investor besar tetapi menyingkirkan masyarakat lokal dari tanah dan mata pencaharian mereka pun jauh dari cita-cita Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Nilai-nilai Pancasila menuntut agar pembangunan dilakukan secara adil, inklusif, dan menghargai martabat setiap warga negara tanpa terkecuali.

Solusi

Pemerintah harus segera mengevaluasi kembali izin-izin tambang dan mencabutnya bila terbukti merusak lingkungan serta melanggar hak-hak masyarakat adat. Selain itu, setiap kebijakan pembangunan wajib melibatkan masyarakat adat secara adil dan transparan, agar mereka benar-benar diakui dan dilindungi sebagai pemilik sah tanah dan budaya mereka. Dengan cara ini, pembangunan bisa berlangsung sesuai aspirasi lokal dan menghindari konflik yang berpotensi muncul.

Selain itu, sudah saatnya pemerintah mengutamakan pembangunan berkelanjutan dengan fokus pada ekowisata dan konservasi, mengingat potensi Raja Ampat terletak pada keindahan alamnya, bukan tambang. Demi memastikan keadilan dan kepatuhan, lembaga-lembaga seperti Komnas HAM dan KLHK harus berperan aktif dalam penegakan hukum dan pengawasan agar tidak terjadi pelanggaran hak lingkungan hidup maupun hak atas tanah adat di masa depan.

Penutup

Kasus tambang nikel di Raja Ampat tidak bisa hanya dilihat sebagai isu lokal atau sektoral. Ini adalah cermin dari bagaimana negara mengelola sumber daya alam dan memperlakukan rakyatnya sendiri. Jika Pancasila sungguh dijadikan dasar negara dan moral kolektif, maka perlindungan terhadap lingkungan, keadilan bagi masyarakat adat, dan pembangunan yang inklusif harus menjadi prioritas utama.

Raja Ampat bukan sekadar lanskap alam — ia adalah simbol dari kehidupan yang harmonis antara manusia dan alam. Menjaganya adalah bentuk nyata pengamalan Pancasila, bukan hanya dalam kata, tetapi dalam tindakan.


Daftar Pustaka

- Detik News. (2025, 14 Juni). Komnas HAM Sebut Tambang Nikel di Raja Ampat Berpotensi Langgar Hak Asasi.

- Kompas.com. (2025, 14 Juni). Tambang Raja Ampat: Dugaan Pelanggaran Hukum Lingkungan dan Hak Masyarakat Adat.

- Jubi.id. (2025, 14 Juni). Komnas HAM Duga Terjadi Pelanggaran HAM Bidang Lingkungan Hidup di Raja Ampat.

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS