Ticker

6/recent/ticker-posts

‎Saatnya SumbarUntuk Kebangkitan, Berbenah Literasi Sumbar, Lahirkan Tan Malaka dan Buya Hamka Baru



‎Oleh : Ridwan Syafrullah 

‎(Sarjana Ekonomi Syari'ah IAIN Batusangkar / Penggiat Literasi)

‎“Jika engkau bukan anak seorang raja, atau anak orang kaya, maka menulislah.” – Imam Al-Ghazali

‎Ungkapan bijak dari Imam Al-Ghazali ini telah lama menjadi inspirasi dan penegasan bahwa ilmu pengetahuan, termasuk melalui jalan menulis dan membaca, adalah sarana paling adil untuk meraih peradaban.

‎ Di tengah ketimpangan ekonomi dan sosial yang kian terasa, termasuk di daerah Sumatra Barat, keberadaan literasi hadir bukan hanya sebagai kegiatan membaca dan menulis, tetapi juga sebagai kekuatan pembebasan, pencerahan, dan pemberdayaan.

‎Kondisi Sosial Ekonomi dan Pendidikan di Sumatra Barat

‎Sumatra Barat dikenal sebagai tanah yang kaya akan budaya, nilai adat, dan semangat intelektual yang diwariskan oleh tokoh-tokoh besar seperti Buya Hamka, Haji Agus Salim, dan Tan Malaka. Namun, di balik identitas intelektual yang kuat, Sumatra Barat hari ini menghadapi beragam tantangan serius, terutama dalam bidang ekonomi, pendidikan, dan sosial.

‎Angka kemiskinan yang masih relatif tinggi di beberapa kabupaten/kota, kesenjangan pembangunan antara daerah pesisir dan pegunungan, terbatasnya akses pendidikan berkualitas di wilayah pelosok, hingga minimnya fasilitas membaca dan kegiatan literasi adalah sebagian kecil dari masalah yang dihadapi masyarakat Minangkabau. Berdasarkan data BPS, tingkat kemiskinan di Sumatra Barat per 2024 masih berada di atas 5%, dengan sebagian besar penduduk miskin tersebar di wilayah pedesaan. Ditambah lagi, indeks pembangunan literasi daerah (IPLD) masih tergolong rendah dibandingkan dengan beberapa provinsi lainnya.

‎Kondisi ini diperparah dengan budaya konsumsi digital yang tinggi namun tidak diimbangi dengan peningkatan budaya baca. Anak-anak dan remaja lebih banyak menghabiskan waktu dengan gawai daripada membuka buku. Fenomena ini memunculkan generasi yang ‘melek teknologi’ namun ‘buta literasi’. 

‎Dalam jangka panjang, hal ini dapat melemahkan daya pikir kritis, kreativitas, dan kemandirian berpikir yang seharusnya menjadi ciri khas masyarakat Minang yang terkenal dengan falsafah "alam takambang jadi guru".

‎Literasi Sebagai Jalan Pembebasan dan Perubahan

‎Literasi bukan sekadar membaca buku atau menulis artikel. Literasi adalah kemampuan memahami informasi, berpikir kritis, mengekspresikan gagasan, serta membuat keputusan yang bijak. Literasi mencakup aspek literasi baca tulis, literasi digital, literasi finansial, literasi budaya, bahkan literasi lingkungan. Dalam konteks Sumatra Barat, literasi bisa menjadi kunci utama dalam menyelesaikan berbagai problematika daerah.

‎Pertama, literasi dapat menjadi solusi atas keterbatasan ekonomi. Anak-anak muda yang memiliki keterampilan menulis dan membaca yang baik akan lebih mudah mengakses pengetahuan, mengembangkan kemampuan diri, bahkan menciptakan peluang ekonomi baru. Dalam era digital, seseorang yang mahir menulis bisa menjadi content creator, penulis lepas, blogger, atau bahkan penulis buku yang hasilnya bisa menopang kehidupan ekonomi.

‎Kedua, literasi dapat menjadi benteng moral dan budaya. Dengan literasi budaya, masyarakat Sumbar dapat mempertahankan nilai-nilai luhur adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah di tengah arus globalisasi. Buku-buku sejarah lokal, karya sastra Minangkabau, dan tulisan-tulisan tokoh adat bisa terus dibaca dan ditulis ulang untuk generasi mendatang. Literasi menjaga identitas.

‎Ketiga, literasi menjadi jalan untuk mengatasi ketimpangan pendidikan. Dengan menggalakkan taman bacaan masyarakat (TBM), kelas literasi desa, dan pelatihan menulis kreatif di daerah terpencil, anak-anak yang sebelumnya tidak memiliki akses informasi kini bisa belajar mandiri. Buku menjadi jendela dunia bagi mereka yang terpinggirkan.

‎Gerakan Literasi di Ranah Minang: Harapan dan Tantangan

‎Gerakan literasi sebenarnya bukan hal asing di Sumatra Barat. Beberapa komunitas literasi sudah lama hadir, seperti Forum Aktif Menulis (FAM), Komunitas Literasi Minangkabau, hingga rumah baca yang didirikan secara mandiri oleh pemuda-pemudi desa. Namun, tantangan terbesar dari gerakan ini adalah konsistensi dan dukungan.

‎Banyak rumah baca yang hidup segan mati tak mau karena minimnya dukungan dana, fasilitas, dan minat baca dari masyarakat sekitar. Pemerintah daerah memang telah menggalakkan Gerakan Literasi Sekolah (GLS), tetapi implementasinya belum menyeluruh dan belum menyentuh akar rumput. Perlu ada kebijakan yang lebih konkret dan berkelanjutan.

‎Literasi bukan hanya tugas guru bahasa Indonesia, melainkan tugas semua pihak: pemerintah, sekolah, orang tua, tokoh adat, tokoh agama, bahkan para pemuda. Bayangkan jika setiap nagari di Sumbar memiliki minimal satu rumah baca aktif yang dikelola oleh pemuda setempat dan didukung oleh pemerintah daerah. Maka akan lahir generasi muda yang tidak hanya pandai berdiplomasi, tapi juga bijak berpikir dan mampu memecahkan masalah di kampung halamannya sendiri.

‎Mendorong Literasi dari Keluarga dan Sekolah

‎Keluarga adalah fondasi utama dari gerakan literasi. Anak yang dibiasakan membaca sejak dini akan tumbuh menjadi pembaca seumur hidup. Sayangnya, budaya membaca di rumah masih sangat lemah. Televisi dan smartphone lebih dominan dalam aktivitas harian keluarga.

‎Peran orang tua sangat krusial untuk menjadikan membaca sebagai kegiatan yang menyenangkan. Menyediakan buku-buku cerita anak, membaca bersama sebelum tidur, atau menulis jurnal harian bisa menjadi langkah kecil yang berdampak besar. Literasi tumbuh dari kebiasaan, bukan paksaan.

‎Sekolah sebagai lembaga formal pendidikan juga harus mengubah paradigma dari hanya fokus pada capaian akademik menjadi pencipta ruang kreatif. Guru tidak cukup hanya memberikan tugas membaca buku, tetapi harus menciptakan ruang diskusi, pameran karya tulis, lomba menulis puisi atau cerpen, dan kegiatan lain yang memantik imajinasi.

‎Literasi juga bisa diintegrasikan dalam mata pelajaran lain seperti sejarah lokal, seni budaya, dan bahkan matematika. Sebab sejatinya, semua pelajaran membutuhkan kemampuan memahami informasi dan menyampaikan gagasan secara tertulis.

‎Peran Pemuda: Menulis untuk Mencatat Sejarah Baru

‎Generasi muda Minang hari ini memegang peran vital dalam membangkitkan kejayaan literasi di ranah sendiri. Dengan kemudahan akses informasi dan media sosial, pemuda bisa menjadi agen literasi yang kreatif dan progresif.

‎Pemuda bisa menulis artikel opini tentang kondisi daerah, membuat vlog edukatif tentang sejarah lokal, menerbitkan zine atau buletin komunitas, hingga mendirikan podcast yang mengulas buku dan isu-isu sosial. Ini adalah bentuk literasi yang relevan dengan zaman, dan mampu menjangkau lebih banyak audiens.

‎“Jika engkau bukan anak seorang raja, atau anak orang kaya, maka menulislah,” menjadi lebih bermakna dalam konteks ini. Menulis bukan hanya sarana eksistensi, tetapi bentuk perlawanan terhadap keterbatasan. Pemuda yang menulis sedang membangun peradaban. Mereka sedang mencatat sejarah yang selama ini luput ditulis oleh penguasa dan kapitalis.

‎Penutup: Literasi adalah Jalan Keadilan Sosial

‎Literasi adalah pondasi utama untuk membangun masyarakat yang adil, cerdas, dan beradab. Di tengah tantangan yang dihadapi Sumatra Barat—dari kemiskinan, rendahnya akses pendidikan, hingga krisis identitas budaya—literasi bisa menjadi solusi strategis dan berkelanjutan.

‎Namun literasi tidak tumbuh dalam ruang hampa. Ia butuh ekosistem yang mendukung: keluarga yang peduli, sekolah yang kreatif, komunitas yang aktif, pemerintah yang hadir, dan pemuda yang berani.

‎Saat masyarakat Minangkabau kembali menghidupkan semangat menulis dan membaca, maka akan lahir generasi baru Buya Hamka, Tan Malaka, dan Haji Agus Salim di abad ini. Dan sejarah akan mencatat bahwa kebangkitan Sumatra Barat bukan dimulai dari senjata atau kekuasaan, melainkan dari sebuah buku, selembar kertas, dan semangat untuk terus belajar dan berbagi.

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS