Ticker

6/recent/ticker-posts

Etika Digital Mahasiswa: Menghindari Ghibah di Era Klik dan Swipe


Ditulis oleh Tim Peneliti MKWU Agama Kelas 33 Kelompok 2, Universitas Andalas 2025: 1.Yusuf,    2.Irfan,  3. Febryan, 4.Intan, 5.Divo, 6. Luthfi, 7.Aghazy,  8.Fachri 9.Muthia.

Dosen pembimbing: Dra. Lara Agnesta Putri, M.Pd.I.


Di era digital seperti sekarang, mahasiswa hidup dalam dua ruang yang tak terpisahkan: dunia nyata dan dunia maya. Media sosial bukan lagi sekadar tempat berbagi foto atau status, tapi sudah menjadi bagian dari kehidupan akademik, sosial, bahkan spiritual. Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika tahun 2023, lebih dari 90% mahasiswa di Indonesia aktif menggunakan media sosial, dengan rata-rata waktu penggunaan harian antara 4-5 jam. Sementara itu, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), sekitar 77% penduduk usia produktif menggunakan media sosial secara intensif untuk berkomunikasi, mengakses berita, hingga mencari hiburan.

Namun, semakin terbukanya ruang digital tak selalu berbanding lurus dengan meningkatnya etika dalam berkomunikasi. Salah satu isu yang mulai menjadi perhatian adalah ghibah di media sosial-membicarakan keburukan orang lain tanpa kehadiran mereka. Dulu dilakukan secara lisan, kini berubah wujud menjadi komentar, unggahan, bahkan status terselubung. Praktik ini bisa muncul kapan saja, di mana saja, bahkan tanpa kita sadari.

Dalam ajaran Islam, ghibah tergolong sebagai dosa besar. Dalam Surah Al-Hujurat ayat 12, ghibah digambarkan seolah-olah seseorang sedang memakan daging saudaranya sendiri. Namun, dalam kenyataannya, ghibah tetap marak-dan ruang digital justru membuatnya semakin mudah dan cepat menyebar.

Sebagai mahasiswa Universitas Andalas yang sedang menempuh mata kuliah MKWU Agama, kami melakukan riset kecil mengenai fenomena ini di lingkungan asrama kampus. Tempat tinggal bersama ini menjadi ruang sosial yang sangat aktif. Interaksi mahasiswa berlangsung dari pagi hingga malam, baik secara langsung maupun lewat grup WhatsApp dan media sosial lainnya.

Survei kami melibatkan sekitar 35 mahasiswa asrama. Hasilnya cukup mencengangkan. Sebanyak 96,4% responden menyatakan paham atau sangat paham tentang apa itu ghibah dan bahayanya. Namun, pada saat yang sama, mayoritas responden juga mengakui bahwa mereka masih terlibat dalam praktik tersebut-baik sebagai pelaku, pendengar, maupun penyebar informasi. Ini menunjukkan bahwa pemahaman belum tentu sejalan dengan tindakan, apalagi dalam situasi sosial yang menormalisasi ghibah sebagai "bumbu obrolan."

Kami menemukan bahwa Instagram (42,9%) dan WhatsApp (32,1%) adalah dua platform yang paling sering digunakan dalam praktik ghibah digital. Facebook (17,9%) dan Twitter/X (7,1%) juga disebutkan, walaupun lebih sedikit. Menariknya, TikTok tidak dipilih sama sekali, mungkin karena sifat kontennya yang lebih visual dan publik. Ghibah tampaknya lebih sering terjadi dalam ruang percakapan tertutup atau semi-pribadi.

Dalam diskusi lebih lanjut, kami juga menghubungkan fenomena ini dengan mata kuliah Bahasa Indonesia. Di dalamnya, kami diajarkan untuk menyampaikan pendapat secara santun dan beradab. Bahasa yang baik bukan hanya soal struktur kalimat, tapi juga soal tanggung jawab dalam menyampaikan isi pikiran. Maka, jika mahasiswa sudah diajarkan menulis opini yang sopan dan membangun, seharusnya hal yang sama berlaku ketika mereka mengetik komentar atau status di media sosial.

Bahaya ghibah bukan hal sepele. Dari sisi sosial, praktik ini menciptakan suasana saling curiga, mengganggu keharmonisan, bahkan bisa menyebabkan konflik antarindividu. Dari sisi psikologis, mahasiswa yang menjadi korban bisa mengalami tekanan mental, kehilangan rasa percaya diri, hingga merasa terasing di lingkungannya. Dan dari sisi keagamaan, jelas bahwa ghibah adalah pelanggaran terhadap ajaran moral dan spiritual.

Namun, tidak semua kabar buruk. Survei kami juga menunjukkan adanya kesadaran positif. Sebanyak 57,1% responden menyatakan bahwa mereka menghindari ghibah karena alasan keagamaan. Artinya, nilai-nilai agama masih berperan penting dalam membentuk perilaku mahasiswa. Selain itu, 50% responden menyebut orang tua sebagai pengaruh utama dalam mencegah mereka bergibah, disusul oleh teman (25%) dan dosen (21,4%). Ini memperlihatkan bahwa lingkungan sosial-keluarga, teman, dan institusi pendidikan-masih memiliki kekuatan besar dalam menanamkan nilai etika.

Sayangnya, hanya 21,4% mahasiswa yang pernah mengikuti pelatihan literasi digital. Padahal, 96,4% responden sepakat bahwa pendidikan agama dan literasi digital perlu digabungkan untuk mencegah ghibah. Ini menjadi catatan penting bagi pihak kampus dan lembaga pendidikan: bahwa pembelajaran moral saja tidak cukup, tanpa dibarengi pemahaman tentang bagaimana beretika di dunia digital.

Sebagai mahasiswa, kami percaya bahwa perubahan bisa dimulai dari langkah-langkah kecil namun konsisten. Beberapa solusi yang kami tawarkan antara lain: Pertama, mengintegrasikan materi etika digital dalam mata kuliah Agama dan Bahasa Indonesia, agar mahasiswa tak hanya tahu, tapi juga sadar. Kedua, membentuk komunitas anti-ghibah di lingkungan asrama, yang bisa menggelar diskusi, kampanye, atau edukasi lewat media sosial. Ketiga, mengadakan pelatihan literasi digital secara rutin, baik oleh kampus, organisasi mahasiswa, maupun UKM rohani, agar semakin banyak mahasiswa yang melek etika digital.

Karena pada akhirnya, ghibah bukan sekadar masalah moral individu, tapi juga penyakit sosial yang bisa menyebar luas dan menghancurkan banyak hal-dari hubungan antarteman, kenyamanan di asrama, hingga kesehatan mental. Di dunia digital yang tak pernah tidur, satu kalimat bisa bergaung ke mana-mana. Maka, kita perlu belajar bukan hanya menahan lisan, tetapi juga menahan jari. Kita perlu berpikir dua kali sebelum menulis, bertanya sebelum membagikan, dan menimbang sebelum ikut-ikutan.

Jika mahasiswa, sebagai generasi terdidik, bisa menjadi agen perubahan dalam membentuk komunikasi yang santun dan etis di media sosial, maka kita telah mengambil satu langkah maju menuju dunia digital yang lebih sehat dan manusiawi. 

Bukan hanya untuk kita hari ini, tapi juga untuk adik kelas kita, dan generasi setelahnya.



Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS