Ticker

6/recent/ticker-posts

Pemerkosaan di Ruang Medis: Saat Etika dan Hukum Tak Lagi Berjalan Seiring”


Priguna Anugrah, Dokter residen anestesi pemerkosa pendamping pasien. (Foto: Media Indonesia. URL https:/images. app.goo. gl/G5CPLpsyXZ1VzjPW6 )  


Oleh Giana Dwita Syakila Mahasiswi Departemen Ilmu Politik, Universitas Andalas



Priguna Anugerah Pratama, seorang dokter peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Padjadjaran (Unpad), menjadi tersangka kasus pemerkosaan terhadap pendamping pasien di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung. Tersangka sudah ditahan oleh Polda Jawa Barat pada tanggal 23 Maret 2025 setelah dilakukan upaya penyelidikan. Kejadian ini mengejutkan berbagai kalangan karena pelaku merupakan seorang tenaga medis yang profesinya identik dengan kepercayaan serta memiliki dedikasi yang tinggi dalam menyelamatkan nyawa semua orang. Terlebih kasus ini juga terjadi di Rumah Sakit yang harusnya menjadi zona steril bagi seluruh lapisan masyarakat.

Kasus ini tidak hanya mencoreng nama institusi pendidikan dan layanan kesehatan, tetapi juga pengkhianatan terhadap profesi, etika, dan amanah masyarakat. Profesi dokter dibangun dengan penuh fondasi etika yang kuat. “Sumpah Dokter Indonesia” menjadi bukti bahwa profesi dokter bukan hanya sekadar pekerjaan biasa, melainkan panggilan moral yang menuntut integritas, moralitas dan tanggung jawab yang tinggi atas dasar kemanusiaan.

Dalam kasus ini, tersangka Priguna Anugrah Pratama telah melakukan pelecehan seksual kepada FH selaku anak dari pasiennya. Priguna diduga telah membius FH selaku korban sebelum melangsungkan aksi pemerkosaan. Kejadian ini diawali pada saat tersangka mendekati FH (korban) dengan dalih melakukan pemeriksaan kecocokan darah untuk keperluan tranfusi darah bagi ayahnya. Di ruangan medis tersebut, FH diminta mengenakan pakaian operasi berwarna hijau dan melepaskan pakaian pribadinya. Priguna kemudian menyuntikkan jarum ke tangan FH sebagai upaya untuk membius korban menggunakan cairan yang diduga mengandung anestesi hingga FH tidak sadarkan diri selama beberapa jam.

Setelah FH sadarkan diri, ia merasakan berbagai kejanggalan mulai dari rasa sakit di tangan dan area kemaluannya hingga pakaian yang dikenakannya masih baju operasi Rumah Sakit seperti yang diminta oleh sang pelaku.Tak hanya itu FH juga mendapati cairan yang aneh pada area intimnya. FH segera menghubungi keluarganya dan melaporkan kepada pihak berwajib. Setelah menjalani visum terbukti bahwa adanya cairan sperma dan alat kontrasepsi yang menunjukkan bahwa telah terjadi hubungan seksual tanpa persetujuan FH (korban).

Sungguh miris dan sangat disayangkan seorang penyembuh bertindak seolah-olah tidak ada beban untuk menyakiti seseorang. Terlebih kejadian ini menjadi begitu tragis dengan meninggalnya pasien yang merupakan ayah dari korban FH. Peristiwa ini tidak hanya membuat pasien trauma akan kejahatan yang menimpa dirinya, melainkan juga membuat tekanan psikologis akibat ditinggalkan sang ayah.

Kejadian ini juga menimbulkan perspektif masyarakat terhadap lemahnya pengawasan dalam dunia medis. Selain itu, massa juga menyinggung bagaimana kelanjutan hukum dari kasus pemerkosaan terhadap pendamping korban yang sedang berjalan. Dalam konteks hukum, tersangka memang telah diproses dan ditahan oleh Polda Jawa Barat. Namun fakta bahwa tragedi ini terjadi didalam institusi medis membuat goncangan yang sulit untuk diabaikan. Seringkali ketika pelanggaran yang terjadi dalam dunia medis, hukum bertindak sangat hati-hati bahkan cenderung diselesaikan secara internal atau bahkan diredam begitu saja. Etika dan hukum harusnya berjalan beriringan, bukan saling melemparkan tanggung jawab hingga menelantarkan tuntutan korban dan membuat tenggelamnya keadilan.

Kasus ini juga tidak terlepas dari budaya kekuasaan yang seringkali berlindung dibalik hierarki yang kaku, etika formal, hingga pembungkaman atas dasar “proses pendewasaan”. Perundungan dan kekerasan yang terjadi dalam dunia medis merupakan sisi gelap yang disembunyikan dengan segala tatanan. Kasus pemerkosaan Priguna Anugrah Pratama juga dikaitkan dengan kasus yang mencuat belakangan ini. Sebelumnya publik juga sempat dihebohkan oleh kasus perundungan terhadap seorang dokter muda dilingkungan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) disalah satu universitas ternama. Keduanya mencerminkan permasalahan yang sama mengenai budaya kekuasaan yang toksik, impunitas, dan lemahnya etika dalam sistem kedokteran.

Dalam berbagai kasus kekerasan dan perundungan yang terjadi, pihak kampus maupun Rumah Sakit seperti enggan bersuara dan menanggapi karena alasan menjaga nama baik. Hal serupa terjadi pada kasus Priguna Anugrah Pratama, banyak yang mempertanyakan bagaimana akses terhadap ruang bisa dimiliki oleh tersangka tersebut. Tanpa pengawasan yang ketat tersangka berhasil melancarkan aksi bejatnya disebuah ruangan medis. Hal ini menjadi celah bahwasannya sistemik dapat memicu kejadian seperti ini terus-menerus.

Dari kasus ini kita bisa melihat seberapa lemahnya etika dan hukum di Indonesia saat ini. Dimana yang punya kuasa lebih kuat dari kebenaran, dan etika yang harusnya menjadi persoalan utama seolah tak lagi ditanamkan. Sudah saatnya kita berhenti membiarkan para oknum yang semena-mena dengan jabatannya. Bukan “hanya oknum”, perlu ada evaluasi menyeluruh terhadap moralitas, pengawasan dan sistem hukum di Indonesia. Hukum di negeri kita harus ditegakkan, hukum harus ditegaskan tanpa pandang bulu!.


Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS