Oleh: Putri Agustiono Mahasiswi Sastra Minangkabau Universitas Andalas
Peribahasa Minangkabau “Lain padang lain bilalang, lain lubuak lain ikannyo” adalah ungkapan bijak yang mengandung nilai-nilai kearifan lokal yang tinggi. Dalam bahasa Indonesia, peribahasa ini diterjemahkan menjadi: “Lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya.” Secara harfiah, peribahasa ini menggambarkan kenyataan bahwa setiap daerah memiliki kondisi alam yang berbeda, dan karena itu memiliki flora dan fauna yang khas. Namun makna yang terkandung dalam peribahasa ini jauh lebih dalam dari sekadar perbedaan belalang atau ikan.
Peribahasa ini menyiratkan tentang keragaman adat, budaya, dan kebiasaan di setiap tempat, serta pentingnya kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial dan budaya yang berbeda. Dalam konteks masyarakat Minangkabau yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai adat dan sopan santun, peribahasa ini menjadi pegangan hidup dalam berinteraksi dengan masyarakat luar, baik di dalam wilayah Minangkabau sendiri yang beragam, maupun saat merantau ke tempat lain.
Dalam masyarakat Nusantara yang multikultural, peribahasa ini menjadi cerminan dari realitas bahwa setiap daerah memiliki sistem nilai, adat istiadat, dan norma yang berbeda. Apa yang dianggap sopan di satu tempat bisa saja dianggap tidak sopan di tempat lain. Misalnya, dalam budaya Minangkabau, seseorang yang terlalu terus terang dalam berbicara bisa dianggap kasar, sementara di budaya lain, ketegasan itu bisa dianggap jujur dan terbuka.
Peribahasa ini mengajarkan bahwa perbedaan itu bukan untuk dipertentangkan, melainkan untuk dipahami dan dihargai. Jika seseorang memasuki lingkungan yang baru, ia dituntut untuk belajar dan menghormati kebiasaan masyarakat setempat. Hal ini menjadi kunci dalam menciptakan kerukunan sosial dan mencegah terjadinya konflik akibat kesalahpahaman budaya.
Makna penting lainnya dari peribahasa ini adalah anjuran untuk pandai-pandai membawa diri di tengah masyarakat. Dalam filosofi Minangkabau, seseorang yang bijak adalah yang tahu di mana dia berpijak. Artinya, ia mampu menyesuaikan sikap dan tutur katanya dengan kondisi lingkungan sosial yang dihadapinya. Kemampuan beradaptasi ini disebut dengan istilah ma’andak ka nan bana, maimpik ka nan runciang yang artinya bijaksana dalam menentukan arah dan langkah.
Misalnya, seseorang yang berasal dari daerah pedesaan dengan gaya hidup sederhana, ketika ia pindah ke kota besar yang penuh dinamika, tentu perlu belajar memahami cara hidup masyarakat kota. Ia tidak boleh memaksakan nilai-nilai yang hanya berlaku di kampung halamannya, tetapi juga tidak kehilangan jati dirinya. Menyesuaikan diri bukan berarti meniru secara membabi buta, melainkan mengambil nilai-nilai lokal yang baik tanpa meninggalkan prinsip yang dimiliki.
Meskipun peribahasa ini berasal dari zaman dahulu, maknanya masih sangat relevan dalam konteks kehidupan modern saat ini. Di era globalisasi, interaksi antarkelompok masyarakat dari latar belakang yang berbeda terjadi semakin intensif, baik secara langsung maupun melalui media digital. Tanpa sikap saling menghargai dan kemampuan beradaptasi, mudah sekali terjadi gesekan yang dapat menimbulkan konflik sosial atau bahkan kekerasan.
Dalam dunia kerja misalnya, seseorang yang bekerja di perusahaan multinasional atau lintas daerah harus mampu memahami budaya kerja yang berlaku. Atasan yang berasal dari budaya yang menjunjung tinggi hierarki, mungkin memiliki ekspektasi yang berbeda dengan bawahan yang dibesarkan dalam budaya egaliter. Tanpa memahami perbedaan ini, komunikasi bisa menjadi buntu dan produktivitas menurun.
Begitu juga dalam konteks pendidikan, siswa atau mahasiswa dari berbagai daerah sering kali harus belajar untuk hidup bersama dalam satu lingkungan asrama atau kampus. Jika mereka tidak memahami bahwa “lain lubuk lain ikannya”, maka konflik karena perbedaan kebiasaan makan, cara bicara, atau nilai-nilai sosial akan terus bermunculan.
Peribahasa ini juga mengandung peringatan agar tidak bersikap arogan dan merasa bahwa adat atau kebiasaan sendiri adalah yang paling benar. Sikap seperti ini bisa menimbulkan penolakan dari masyarakat lain. Seseorang yang tidak menghargai adat setempat akan mudah dikucilkan, atau bahkan bisa menimbulkan pertikaian. Oleh karena itu, penting untuk memiliki sikap rendah hati dan terbuka terhadap perbedaan.
Peribahasa ini mengajarkan bahwa kesadaran akan perbedaan adalah awal dari kebijaksanaan. Tidak semua hal yang berbeda harus diubah atau disamakan. Justru, dalam perbedaan itulah terkandung kekayaan hidup dan peluang untuk saling belajar.
Bagi orang Minangkabau, peribahasa ini juga erat kaitannya dengan tradisi merantau. Dalam proses perantauan, seseorang akan memasuki dunia yang sangat berbeda dari tempat asalnya. Ia akan bertemu dengan adat yang baru, bahasa yang lain, dan cara hidup yang mungkin bertolak belakang dengan yang ia kenal sejak kecil.
Oleh karena itu, pepatah ini menjadi bekal penting agar perantau bisa sukses dan diterima di tempat barunya. Mereka yang berhasil biasanya adalah yang tahu cara menyesuaikan diri dengan masyarakat sekitar, tanpa meninggalkan identitas sebagai orang Minang.
Secara keseluruhan, peribahasa “Lain padang lain bilalang, lain lubuak lain ikannyo” adalah bentuk kebijaksanaan lokal yang kaya akan nilai moral dan sosial. Ia mengajarkan pentingnya toleransi, adaptasi, dan penghargaan terhadap keragaman. Dalam dunia yang semakin terhubung ini, kemampuan untuk memahami dan menghormati perbedaan adalah kunci utama untuk hidup damai dan produktif.
Melalui peribahasa ini, masyarakat Minangkabau mewariskan pelajaran penting bahwa dalam kehidupan sosial, kita tidak hidup sendirian. Kita harus mampu membaca situasi, memahami lingkungan, dan menyesuaikan sikap agar keberadaan kita membawa manfaat, bukan konflik. Peribahasa ini bukan hanya pelajaran bagi orang Minangkabau, tetapi juga menjadi pesan universal bagi semua manusia dalam menjalin kehidupan bersama yang harmonis.
0 Comments