Oleh: Rasya Ramadhani1 Teknik Komputer, Fakultas Teknologi Informasi, Universitas Andalas, Padang, Indonesia
Email: rasyaramadhani50@gmail com
Tidak ada negara di dunia yang sebegitu akrab dengan bencana seperti Indonesia. Letaknya yang berada di Cincin Api Pasifik, zona pertemuan tiga lempeng tektonik besar dunia, menjadikan tanah air kita sebagai arena alami bagi gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, tanah longsor, banjir, dan bencana lainnya. Hampir setiap tahun, berbagai daerah mengalami musibah yang membawa luka, korban jiwa, serta kerusakan fisik dan psikologis yang tidak kecil.
Namun, dalam menghadapi bencana, bangsa ini tidak pernah menyerah. Selalu ada upaya untuk bangkit, selalu ada semangat untuk pulih.
Tetapi pemulihan tidaklah cukup jika tidak dibarengi dengan upaya sistematis untuk mencegah atau mengurangi dampak bencana di masa depan. Di sinilah pentingnya mitigasi bencana , dan lebih dari itu, pentingnya menjadikannya sebagai bagian dari tanggung jawab sosial setiap warga negara.
Mitigasi Bencana Tidak Hanya Urusan Pemerintah
Selama ini, ketika membicarakan penanggulangan bencana, persepsi umum masyarakat sering kali mengarah pada peran pemerintah: Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dinas-dinas daerah, hingga aparat keamanan. Padahal, keberhasilan dalam menghadapi bencana tidak hanya ditentukan oleh instansi resmi, tetapi juga oleh sejauh mana masyarakat turut terlibat secara aktif.
Mitigasi bencana mencakup berbagai upaya preventif yang bertujuan mengurangi risiko dan dampak dari bencana sebelum terjadi. Ini bisa berbentuk pembangunan infrastruktur tahan gempa, penyusunan tata ruang yang mempertimbangkan ancaman banjir dan longsor, pelatihan tanggap darurat, edukasi publik, dan penguatan kelembagaan lokal.
Semua itu akan sia-sia jika tidak mendapat dukungan dari masyarakat. Pemerintah tidak mungkin hadir di setiap jengkal wilayah saat bencana melanda. Wargalah yang pertama kali menghadapi, menolong, dan bertahan. Maka, kemampuan masyarakat dalam memahami risiko, mengenali tanda-tanda bahaya, serta bersiap melakukan evakuasi adalah hal yang sangat krusial.
Literasi Kebencanaan Masih Rendah
Salah satu masalah terbesar dalam konteks mitigasi bencana di Indonesia adalah rendahnya literasi kebencanaan. Banyak masyarakat yang tinggal di zona rawan bencana bahkan tidak menyadari bahwa mereka hidup di wilayah berisiko tinggi. Pengetahuan tentang cara menyelamatkan diri, prosedur evakuasi, atau titik kumpul darurat sering kali tidak dimiliki oleh masyarakat umum.
Padahal, edukasi kebencanaan bisa menjadi pembeda antara keselamatan dan kehancuran. Masyarakat yang memiliki pemahaman dan keterampilan dasar kebencanaan akan lebih siap, lebih tenang, dan lebih efektif dalam merespons saat situasi genting terjadi. Sayangnya, pendidikan kebencanaan masih belum menjadi bagian integral dari kurikulum formal secara nasional. Di sisi lain, inisiatif di tingkat komunitas masih sangat bergantung pada proyek-proyek temporer atau bantuan lembaga luar.
Dalam hal ini, diperlukan pendekatan yang lebih menyeluruh. Pendidikan kebencanaan seharusnya tidak terbatas pada sekolah, tetapi juga menjadi bagian dari pembelajaran sepanjang hayat yang melibatkan keluarga, komunitas, organisasi masyarakat sipil, dan lembaga keagamaan.
Kekuatan Komunitas Sebagai Pilar Pertama Ketangguhan
Pengalaman menunjukkan bahwa komunitas lokal adalah pihak yang paling cepat dan paling efektif dalam merespons saat bencana terjadi. Sebelum bantuan datang dari pusat, warga lokal biasanya sudah saling membantu, melakukan evakuasi, mendirikan dapur umum, hingga menyediakan tempat tinggal sementara.
Program-program seperti Kampung Siaga Bencana (KSB) yang digagas oleh pemerintah bekerja sama dengan masyarakat adalah contoh nyata bagaimana pelibatan warga bisa menciptakan ketangguhan kolektif. Di beberapa desa, warga dilatih untuk mengenali ancaman, membuat peta risiko, dan menyusun rencana evakuasi. Mereka juga membentuk tim relawan lokal yang sigap dalam menghadapi situasi darurat.
Kekuatan komunitas inilah yang seharusnya terus diperkuat. Bukan hanya karena mereka berada di garis depan, tetapi karena mereka memiliki pengetahuan lokal, keterikatan sosial yang kuat, dan motivasi tinggi untuk melindungi sesama.
Tanggung Jawab Sosial yang Nyata
Tanggung jawab sosial warga negara dalam mitigasi bencana tidak bisa hanya diucapkan dalam slogan atau kampanye. Ia harus diwujudkan dalam tindakan nyata: ikut serta dalam simulasi evakuasi, menghadiri pelatihan kebencanaan, mendukung kebijakan ramah lingkungan, dan menjadi agen perubahan di lingkungan sekitar.
Bentuk paling sederhana dari tanggung jawab sosial adalah dengan menyebarkan informasi yang benar, tidak menyebar hoaks saat bencana terjadi, dan menjaga ketenangan di tengah kepanikan. Tanggung jawab sosial juga berarti membantu kelompok rentan seperti lansia, penyandang disabilitas, atau anak-anak dalam menghadapi bencana.
Lebih jauh, setiap warga bisa menjadi pelopor kesadaran di lingkungannya. Membuat peta jalur evakuasi, menyiapkan tas darurat di rumah, membangun sistem komunikasi darurat, dan membentuk jaringan relawan adalah langkah-langkah nyata yang dapat dilakukan oleh siapa saja.
Bangsa yang tangguh adalah bangsa yang warganya peduli, siaga, dan saling membantu. Mitigasi bencana bukan hanya tugas segelintir orang, melainkan panggilan moral seluruh warga negara. Ini adalah bagian dari tanggung jawab sosial yang nyata: melindungi diri, keluarga, dan lingkungan sekitar dari risiko yang bisa mengancam kehidupan bersama.
Jika setiap individu bersedia mengambil bagian, sekecil apa pun, maka kita sedang membangun peradaban yang lebih kuat.
Peradaban yang tidak hanya mampu pulih dari bencana, tetapi juga mampu mencegahnya. Karena pada akhirnya, kekuatan sejati bangsa tidak hanya terletak pada sumber daya alamnya, tetapi pada ketangguhan manusia-manusianya.
0 Comments