Ticker

6/recent/ticker-posts

Mengungkap Status Halal Balut dalam Budaya Kuliner Asia Tenggara

Oleh : Dea Rusyeta mahasiswa FMiPA universitas Andalas Padang


Balut merupakan salah satu makanan tradisional yang cukup populer d Loi Asia Tenggara, terutama di Filipina, Vietnam, dan Kamboja. Makanan ini berupa telur bebek yang telah dibuahi dan dierami selama 14 hingga 21 hari, kemudian direbus dan dikonsumsi dalam keadaan embrio bebek masih berada di dalam cangkang. Meski balut dianggap sebagai makanan yang bergizi tinggi karena mengandung protein, lemak, dan kolagen, kehadirannya menimbulkan perdebatan di kalangan umat Islam karena status kehalalannya masih menjadi tanda tanya.

Dari sudut pandang ilmu pangan, balut termasuk produk hewani embrionik. Pada fase inkubasi di atas 14 hari, embrio bebek telah melalui tahapan organogenesis, yaitu pembentukan organ-organ utama tubuh seperti mata, jantung, dan tulang. Artinya, secara biologis embrio tersebut sudah dianggap sebagai makhluk hidup yang bernyawa. Inilah yang menjadi perhatian utama dalam tinjauan syariat Islam. Islam mengatur bahwa konsumsi produk hewani harus memenuhi dua syarat utama, yaitu hewan tersebut halal jenisnya dan disembelih sesuai ketentuan syariat. Dalam hal ini, bebek memang termasuk hewan yang halal dikonsumsi. Namun, dalam proses pembuatan balut, embrio bebek tidak disembelih secara syar’i, melainkan langsung direbus dalam cangkang dalam keadaan hidup atau hampir hidup. Proses tersebut menyebabkan embrio mati tanpa penyembelihan, sehingga secara hukum Islam, ia dihukumi sebagai bangkai.

Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 35 Tahun 2013 tentang Standar Produk Halal menegaskan bahwa hewan yang mati tidak melalui penyembelihan yang sah tidak boleh dikonsumsi, meskipun hewan tersebut berasal dari jenis yang halal. Hal ini didukung oleh pendapat para ulama fikih klasik maupun kontemporer. Dr. Lukmanul Hakim, M.Si., mantan Direktur LPPOM MUI, menjelaskan bahwa embrio yang telah membentuk organ tubuh utama wajib diperlakukan seperti hewan hidup pada umumnya. Karena itu, jika tidak disembelih dengan memotong saluran pernapasan dan pembuluh darah utama sambil menyebut nama Allah SWT, maka statusnya adalah haram. Proses memasak balut yang tidak melalui tahapan penyembelihan menjadi titik kritis utama dalam menilai kehalalannya.

Dari sisi ilmu sains dan teknologi pangan, analisis kehalalan suatu produk dapat didukung oleh penggunaan teknik kimia seperti kromatografi, spektrofotometri, dan DNA barcoding. Teknik-teknik ini mampu mengidentifikasi keberadaan senyawa-senyawa spesifik dari daging, darah, atau jaringan embrio dalam makanan. Dalam kasus balut, teknik ini dapat digunakan untuk menentukan tingkat perkembangan embrio dan keberadaan komponen yang dapat diklasifikasikan sebagai bagian dari bangkai atau jaringan hewan berdarah.

Selain itu, pengujian enzim dan protein tertentu dalam embrio dapat menjadi indikator apakah embrio tersebut sudah memiliki sistem tubuh yang memerlukan penyembelihan halal. Misalnya, deteksi mioglobin atau hemoglobin yang menunjukkan adanya darah aktif dalam jaringan embrio. Hal ini dapat memperkuat argumen bahwa konsumsi balut tidak sesuai dengan prinsip kehalalan.

Kesimpulannya, berdasarkan fatwa kehalalan, prinsip syariah, serta bukti ilmiah melalui teknik kimia modern, balut umumnya tidak memenuhi kriteria halal. Umat muslim diharapkan lebih berhati-hati dalam mengonsumsi makanan tradisional yang berasal dari budaya lain, terutama yang menyangkut produk hewani yang tidak disembelih secara syar’i. 

Edukasi mengenai titik kritis kehalalan serta pemanfaatan sains dalam menguji makanan dapat membantu masyarakat muslim untuk mengambil keputusan konsumsi yang sesuai dengan nilai-nilai agama.

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS