Oleh: Ghina Hanan Dafa mahasiswa ilmu politik universitas Andalas
Pada tahun 1955, tepatnya pada pemilu pertama di Indonesia, ada 17 perempuan yang berhasil terpilih sebagai anggota DPR dari total keseluruhan 257 kursi, atau jika dipresentasekan terdapat 6,6% keterwakilan wanita yang berhasil mengisi kursi parlemen. Lalu apakah hal tersebut menimbulkan pertanyaan terkait kesetaraan peran antara laki-laki dan perempuan di Indonesia? Lalu apakah tanpa kuota, wanita bisa tetap punya kesempatan yang sama di dunia politik? Jadi, apakah kuota wanita dalam politik ini dapat membantu mendorong akses awal dan kesempatan setara bagi wanita untuk berkecimpung di lingkup politik?
Wanita sering kali dijadikan sarana pandangan lemah bagi beberapa kaum. Hingga saat kini bahkan tidak hanya pria yang memiliki pandangan demikian, tetapi bahkan kaum wanita, khususnya dalam konteks politik. Apabila melihat dari sisi positif, kuota ini bisa dianggap sebagai pijakan awal atau dorongan bagi wanita untuk punya kesempatan untuk masuk. Terkadang bukan karena tidak mampu, melainkan masih adanya pandangan atau struktur sosial yang melemahkan keberadaan dan kemampuan wanita.
Pada pemilu tahun 2004, Indonesia secara resmi menerapkan kebijakan baru yaitu berupa kuota 30% perempuan pada kursi parlemen. Sebenarnya, kuota ini bisa menjadi langkah awal untuk Indonesia mencapai kesetaraan yang lebih representatif. Tapi nyatanya hingga sekarang keterwakilan wanita dalam politik hanya mencapai angka 17-22% yang dimana realita ini belum berhasil membuahkan angan angan yang ada. Walaupun jika dilihat berdasarkan angka jumlah ini tidak begitu jauh selisihnya, tetapi tanpa adanya dukungan nyata, kuota yang kita bicarakan ini hanya akan menjadi formalitas belaka.
Lalu, apakah tanpa kuota kesempatan wanita dalam politik benar benar tidak ada? Menurut saya, hal ini kemungkinan besar benar. Jika dilihat dari stigma yang berada pada masyarakat, rasanya masih banyak hal mematahkan persepsi wanita dalam hal ini. Terdapat beberapa hambatan bagi wanita yang membuat mereka lebih sulit untuk menembus dunia politik. Mulai dari akses pendidikan, kultural, hingga kepercayaan masyarakat. Tapi bukanlah mustahil bagi kita untuk mencapai kesetaraan ini untuk menyokong adanya keadilan yang representatif.
Lalu, apakah kuota wanita ini hanya formalitas belaka? Jawabannya sebagaimana yang trlah dijelaskan pada kalimat kalimat sebelumnya, bisa jadi iya, bisa tidak. Semua tergantung bagaimana kuota itu dimaknai dan difungsikan. Jika hanya menjadi syarat administratif dan pelengkap dalam kuota calon parlemen, maka kuota ini tidak lebih dan tidak kurang hanya menjadi simbol dan syarat. Tetapi jika dimanfaatkan secara serius, kuota ini bisa menjadi pijakan awal untuk mendorong keterlibatan wanita. Didukung dengan adanya binaan politik dan akses serta komitmen yang sungguu sungguh.
Yang harus kita hilangkan pada saat ini yaitu stereotip dan stigma yang melekat pada sosial, terlebih dalam dunia politik. Lalu bagaimana cara untuk menghilangkan stereotip dan stigma itu sendiri? Yang pertama, tidak lain dan tidak bukan yaitu pendidikan sejak dini. Edukasi mengenai menghargai pperbedaan sosial perlu diperketat. Hal ini tidak hanya berlaku pada konteks politik, tetapi juga dalam semua konteks kemasyarakatan.
0 Comments