Oleh : Ahmad Hadi Radhiyallah Ikmu politik Universitas Andalas
Ketika rakyat sudah muak, dan ketidak adilan terus menari di panggung kekuasaan, suara-suara lantang menuntut hukuman mati bagi koruptor mulai menggema. Korupsi bukan hanya persoalan kerugian negara dalam angka, tetapi luka sosial yang membusuk dan menyebar pelan-pelan ke sendi-sendi kehidupan banngsa. Namun pertanyaannya: Apakah hukan mati benar-benar menjadi solusi atas penyakit akut ini, atau hanya pelampiasan emossi sesaat daari masyarakat yang frustasi terhadap para koruptor?
Secara hokum, wacana hukuman mati bagi koruptor bukan lah hal yang mustahil. Dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dissebutkan bahwa hukuman mati dapat dijatuhkan dalam keadaan tertentu, khususnya saat korupsi dilakukan dalam kondisi bencana. Tapi sayangnya kata “keadaan tertentu” kerap mengambang dalam implementasi. Padahal korupsi di tengah penderitaan masyarakat akibat bencana sejatinya adalah bentuk kejahatan paling keji karena mencuri dari mereka yang sedang sekarat.
Namun, mari kita sejenak menahan emosi dan menakar logika. Hukuman mati memang memiliki efek kejut (deterrent effect), tetapi apakah itu benar-benar dapat menekan angka korupsi secara signifikan? Lihatlah negara dengan hukuman mati aktif seperti Tiongkok. Memang, eksekusi terhadap pejabat tinggi yang korupsi kerap menjadi headline media. Tapi apakah korupsi benar-benar hilang? TIDAK. Korupsi disana tetap ada tepi hanya lebih tersembunyi dan lebih sistematik. Itu artinya hukuman mati mungkin menakutkan, tetapi tidak serta merta menyelesaikan masalah.
Yang perlu kita pahami korupsi adalah kejahatan yang tumbuh di tanah subur impunitas. Korupsi hidup karena sistem yang lemah, lembaga pengawasan yang ompong, dan budaya permisif yang merajalela. Tanpa reformasi sistemik hukuman mati hanya menjadi pentas simbolik yang mencabut satu dua pelaku, tapi membiarkan ratusan koruptor lain nya nyaman di kursi kekuasaan nya. Kita butuh efek jera, Tapi efek jera tidak datang dari takut mati saja tapi harus muncul dari kepastian hukum, transparansi, dan pembenahan birokrasi pemerintah.
Lalu, bagaimana jika hukuman mati justru jadi alat politik? Bisa jadi, hukuman ini digunakan untuk “menyingkirkan” lawan politik ketimbang menegakkan keadilan. Sejarah mencatat, kekuasaan yang terlalu absolut bisa menggunakan hukum sebagai alat kekerasan, bukan kebenaran. Ini yang harus kita waspadai. Hukum seharusnya menjadi pagar keadilan, bukan pentungan penguasa. Namun tidak berarti kita harus bersikap lunak kepada para koruptor. Hukuman yang seberat berat memang layak untuk para penjarah uang rakyat,. Tetapi bentuknya bisa dalam bentuk yang lebih beradab dan memberi efek jera panjang seperti penyitaan seluruh harta koruptor, larangan seumur hidup menduduki jabatan publik, hingga publikasi identitas secara terbuka untuk efek malu social. Ini bukan sekedar hukuman tetapi bentuk keadilan yang produktif dan mendidik masyarakat.
Akhirnya kita harus bertanya pada naruni kita, apakah kita menuntut hukuman mati karena keadilan, atau karena amarah? Apakah solusi sesungguhnya adalah membuat koruptor takut mati, atau membuat Mereka takut hidup di dalam penjara yang benar-benar menjadikan mereka kehilangan semua hak istimewanya?
Dalam demokrasi yang sehat, emosi harus dijinakkan oleh akal sehat. Kita bokeh marah, bahkan kita harus marah. Tapi marah yang cerdas adalah marah yang melahirkan perubaha, bukan pelampiasan. Maka, sebelum mendukung hukuman mati sebagai jawaban, mari kita periksa ulang apakah yang kita cari keadilan atau kepuasan emosional sesaat?
0 Comments