Di zaman yang sudah modern ini, diskriminasi perempuan masih menjadi perkara yang sangat sering kita temui di berbagai negara salah satunya di negara berkembang yaitu Indonesia. Secara umum, diskriminasi adalah sikap membedakan secara sengaja terhadap golongan-golongan yang berhubungan dengan kepentingan tertentu. Pembedaan tersebut biasanya didasarkan pada agama, etnis, suku, dan ras. Diskriminasi terhadap perempuan biasanya berupa perlakuan tidak setara antara laki-laki dan perempuan yang mempengaruhi pengalaman hidup suatu individu. Dalam upaya memerangi diskriminasi, perjuangan hak sangat diperlukan. Perjuangan hak adalah upaya bersama untuk melindungi, mempertahankan, dan memajukan hak-hak individu atau kelompok dalam masyarakat. Dalam konteks perjuangan perempuan, tujuannya adalah memastikan terwujudnya kesetaraan gender dan mengakhiri diskriminasi. Perjuangan hak perempuan tak hanya dapat ditegakkan di kehidupan nyata. Game maupun novel seringkali mencerminkan isu-isu kesetaraan gender dan membentuk pandangan positif terhadap peran perempuan. “Doki-Doki Literature Club!" merupakan salah satu game atau visual novel yang dapat dianalisis dari perspektif feminis, khususnya melalui perjuangan hak salah satu karakternya yaitu Natsuki.
“Doki Doki Literature Club!” adalah sebuah game atau visual novel yang dikembangkan oleh Team Salvato. Game ini dirilis pada tanggal 22 September 2017 untuk Microsoft Windows, GNU/Linux dan OS X, dan kemudian pada tanggal 6 Oktober 2017 di Steam. Cerita berfokus pada pemain sebagai siswa sekolah menengah (MC), tanpa sengaja terlibat dalam Klub Sastra yang diisi oleh empat gadis: Monika (ketua klub sastra), Sayori (wakil klub sastra), Natsuki dan Yuri (anggota klub sastra). Game ini menentang visual novel datting sim, yaitu permainan simulasi yang fokus pada aspek hubungan percintaan atau kencan. Awalnya terlihat sebagai permainan romantis biasa, namun berubah menjadi cerita yang rumit, memasuki elemen horor psikologis, menampilkan karakter yang kuat, serta mengalami perjuangan pribadi dan kedalaman emosional. Game ini tidak langsung dirancang sebagai permainan yang mengeksplisitkan aspek feminisme, melainkan dapat dianalisis dari karakter-karakternya. Penggambaran perjuangan hak perempuan dalam permainan ini menonjol melalui karakter Natsuki, salah satu dari 5 anggota Klub Sastra yang dapat menulis puisi dalam permainan. Karakter Natsuki menghadapi diskriminasi dengan menciptakan penolakan terhadap stereotip tradisional melalui berbagai tantangan, emosi, serta puisi-puisinya yang sederhana.
Natsuki dalam “Doki-Doki Literature Club!” digambarkan sebagai karakter tsundere. Karakter tsundere umumnya memiliki sifat awal yang kasar, acuh tak acuh, atau bahkan agak bermusuhan, tetapi kemudian menunjukkan sisi yang lebih lembut atau penyayang. “Apa yang kamu lihat? Jika kamu ingin mengatakan sesuatu, katakan saja.” (“Doki-Doki Literature Club!” babak 1). Kesulitannya dalam mengekspresikan perasaan mungkin mencerminkan hambatan yang dihadapi perempuan dalam menyuarakan keinginan mereka secara bebas. Namun, seiring berjalannya waktu, pemain dapat melihat sisi lebih lembut dari kepribadiannya, terutama dalam momen-momen di mana dia menunjukkan kepedulian terhadap karya sastra yang dibuatnya. Sifat tsundere Natsuki juga tercermin dalam hubungannya dengan karakter lain, terutama Yuri. “Apa pun yang ada di pikiranmu, aku yakin itu bukan apa-apa. Aku bahkan tidak ingat kejadian buruk apa pun yang terjadi. Kamu tipe orang yang terlalu mengkhawatirkan hal-hal kecil, bukan?” (“Doki-Doki Literature Club!” babak 2) Meskipun dia sering bertengkar dengan Yuri, ada momen di mana kekhawatiran dan perhatiannya terhadap Yuri terungkap.
Dalam representasi fisik, Natsuki digambarkan dengan rambut merah muda pastel, mata merah muda, dan aksesori feminin seperti jepit rambut ala Jepang serta pita merah. Seragam sekolahnya, dengan blazer abu-abu, kemeja putih, dan rok lipat biru tua, mencerminkan stereotip gender tradisional untuk perempuan. Di luar sekolah, dengan kemeja lengan pendek berhias wajah kucing dan rok merah muda ruffled. Natsuki, dengan penampilannya yang kecil dan imut mencerminkan stereotip perempuan yang diharapkan untuk memiliki penampilan yang lemah dan tidak berdaya. Ketidaknyamanan Natsuki dengan stereotip gender dan tekanan sosial, membuatnya berusaha melawan ekspektasi yang melekat pada penampilannya. “Saya tidak lucu!!” (“Doki-Doki Literature Club!” babak 1). Penolakannya terhadap panggilan “imut” juga bisa dianggap sebagai perlawanan terhadap ekspektasi untuk sesuai dengan gambaran tradisional kelembutan perempuan.
Perjuangannya Natsuki juga tercermin ketika ia menyembunyikan masalah pribadinya, seperti kondisi rumah tangganya yang sulit. Ini tercermin dari saat Monika memberi tahu pemain bahwa Natsuki kekurangan gizi, yang mungkin disebabkan oleh ayahnya. Akan tetapi, Natsuki mencoba menjaga citra kuat dan tidak ketergantungan, meskipun kenyataannya jauh dari itu. Ini mencerminkan usahanya untuk tetap mandiri dan tidak menyerah di tengah tantangan. Kehidupan keluarga Natsuki, khususnya hubungannya dengan ayahnya yang ketat, menunjukkan dinamika kuasa gender dalam keluarga. “Maksudku, aku merasa aku bahkan tidak bisa menyimpannya di kamarku sendiri… Ayahku akan menghajarku jika dia menemukan ini.” (“Doki-Doki Literature Club!” Babak 2). Kekhawatiran Natsuki terhadap reaksi ayahnya terhadap aktivitasnya, seperti membaca manga, dapat diartikan sebagai tekanan gender dan kontrol yang lebih besar terhadap perempuan. Penggambaran ini mencerminkan pengalaman kehidupan nyata dari pencipta game ini, Dan Salvato, dan bertujuan untuk memberikan pengalaman yang realistis dan menarik bagi para pemain.
Natsuki juga sering terlibat dalam konflik dengan teman-teman sejenisnya, terutama pada masalah gaya penulisan sastra mereka yang berbeda. Yuri, yang cenderung menyukai sastra yang lebih rumit dan berkelas, sering meremehkan karya Natsuki yang lebih ringan. Hal ini menciptakan dinamika tidak nyaman di klub yang memicu Natsuki menunjukkan perjuangannya untuk diakui dalam lingkungan sastra yang sering kali dipandang sebelah mata. “Sepertinya aku bisa membuat teman-temanku membaca ini... Mereka hanya mengira manga itu untuk anak-anak. Aku bahkan tidak bisa mengungkitnya tanpa mereka semua seperti... “Eh? Kamu masih belum dewasa?” Membuatku ingin meninju wajah mereka...” (“Doki-Doki Literature Club!” babak 2). Karakter Natsuki menentang kiasan berlebihan pada penulisan puisinya dengan mengeksplorasi emosi dan pengalaman yang lebih kompleks. Meskipun puisi-puisinya terkesan sederhana dan mencerminkan sifatnya yang kekanak-kanakan, tetapi berfungsi sebagai gambaran sekilas tentang dunia batin dan perjuangan pribadinya. Puisi-puisinya Natsuki menjadi alat kuat untuk menyuarakan pengalaman perempuan.
Perjuangan Natsuki tidaklah berakhir begitu saja, ia juga mengalami tekanan mental yang membuatnya menjadi lebih posesif, seperti yang terlihat pada adegan saat dia berdebat dengan Monika untuk mendapatkan anggota baru. Dia tidak punya banyak tempat yang aman untuknya, jadi ketika dia punya, dia lebih memilih tempat itu tidak berubah. “Kenapa kamu tidak ikut membaca bersamaku hari ini? Aku sudah menunggumu. Aku sudah menunggu lama sekali. Apa kamu lebih menyukai Yuri. Menurutku lebih baik kamu tidak bergaul dengannya.” (“Doki-Doki Literature Club!” babak 2). Hal ini bisa jadi disebabkan oleh tindakan kepribadian ayahnya yang semakin kuat maupun rasa cemburu pada Yuri karena menghabiskan lebih banyak waktu dengan pemain (MC) tersebut.“ Klub adalah satu-satunya tempat di mana aku merasa aman. Jangan hancurkan itu untukku. Jangan hancurkan. Tolong. Berhenti bicara dengan Yuri. Bermainlah dengan aku saja. Hanya itu yang kumiliki... Bermainlah denganku. BERMAIN DENGANKU.” (“Doki-Doki Literature Club!” babak 2). Keterlibatan Natsuki dengan kesejahteraan mental dan kebutuhan psikologisnya dapat menggambarkan tantangan perempuan dalam mengatasi tekanan sosial dan harapan.
Karakter Natsuki dalam game “Doki Doki Literature Club! ”telah menciptakan sebuah karya feminis, karena penggambarannya sebagai pribadi yang kuat. Meskipun memiliki berbagai tantangan dalam hidupnya, Ia mampu memperjuangkan haknya sebagai perempuan yang tidak mau terlihat lemah. Perjuangan hak Natsuki melibatkan representasi fisik, hubungan keluarga, sifat tsundere, konflik dalam pertemanan, dan kesejahteraan mental. Selain itu, puisi-puisi Natsuki yang sederhana menunjukkan penggunaannya sebagai alat kuat untuk menyuarakan pengalaman perempuan.
Meskipun game ini tidak eksplisit sebagai permainan feminis, cara game ini menceritakan kisah perempuan dan jalannya ceritanya membantu memperbaiki cara perempuan direpresentasikan dalam game.
0 Comments