Ticker

6/recent/ticker-posts

Karakterstik Naskah Islam Indonesia: Contoh dari Zawiyah Tanoh Abee, Aceh Besar

 



Oleh Lezia Maharani


Sebuah naskah Nusantara bersifat keilmuan yang merupakan buah dari kegelisahan intelektual para cerdik cendikia masa lalu yang ingin mengungkapkan fikirannya tentang berbagau hal yang mereka anggap perlu. Local genius yang muncul dapat dijadikan gagan kreaktif dari para penulis tersebut dan dapat dijadikan sebagai hasil penerjemahan atas gagasan- gagasan yang terdapat dari luar dan dapat dibungkus dalam konteks lokal. Ahli- ahli agama, guru sufi, kyai, dan para mubaligh, juga merupakan bagian dari para penulis dan penyalin teks- teks Nusantara itu, selain para sastrawan pastinya memiliki kepedulian untuk menerjemahkan serta menafsirkan Islam dalam konteks dan bingkai budaya lokal. 

Beberapa kota dapat disebut sebagai sejumlah bahasa lokal dari berbagai etnis yang digunakan untuk menulis naskah tersebut, seperti Aceh, Bali, Batak, Bugis- Makassar Mandar, Jawa, Madura, Melayu, Minangkabau, Sasak, Sunda, Wolio, Rejang, Lampung, Ternate, Maluku, Ambon, Bima, dan beberapa bahasa lainnya, 


Naskah-naskah itu dapat menggambarkan sebuah proses pribumisasi Islam pada masa lalu, dan dapat mempertontonkan proses adaptasi teks- teks Arab atau Parsi menjadi teks- teks lokal, serta dapat membuktikan adanya proses peralihan atau perubahan idek dari sumber aslinya.


Pada puluhan ribu naskah berasal dari wilayah Sumatra Utara yang dikenal sebagau Tanah Rencong ini. 

Proses islamisasi telah membentuk karakterstik dan kekhasannya. Banyaknya naskah- naskah keagamaan karangan para penulis yang notabene membuat khazanah naskah Aceh menjadi sangat kental dan cenderung identik dengan khazanah keislaman.

Untuk mempermudah akses dilakukannya berbagai katalog terhadap naskah- naskah Aceh yang pernah beberapa kali ditulis. Diseluruh dunia sangat memerlukan semua naskah Aceh dalam koleksi Universitas Leiden dan perpustakaan umum di seluruh dunia, selain Aceh sendiri. 


Menurut Oman Fathurahman dalam bukunya, Tanah Abee adalah sebuah permukiman yang terdiri atas beberapa buah desa di Kecamatan Seulimum, Kabupaten Aceh Besar, dan terletak k.l. 45 kilometer arah timur Banda Aceh, ibukota Naggroe Aceh Darussalama. Di salah sebuah desa dalam permukiman ini, tepatnya di desa Ujung Mesjid, terletak sebuah zawiyah (dayah, pesantren) yang kemudian populer dengan nama Zawiyah Tanoh Abee, Kata ‘zawiyah’ sendiri berasal dari bahasa Arab, zawiyah, tang dapat berarti ‘a small cupalaed mosque erected over the tomb of a Muslim  saint, with teaching facilities and a hospice attached to it (Wehr, 1980: 387).

Zawiyah Tanoh Abee didirikan dan dikembangkan oleh keluarga dan keturunan Syekh Fayrus al- Baghdady, seorang ulama asal Baghdad yang datang dan menentap di Aceh pada paruh pertama abad ke -17, atau sekitar tahun 1627 M. 

Zawiyah merupakan tempat beribadah yang dibangun beserta fasilitas belajar mengajar di dalamnya. Zawiyah juga dalat dikatakan ‘dayah’, dalam tulisan ini sangat berkaitan dengan Tanoh Abee, sebagain orang menggunakan kata zawiyah dengan alasan digunakannya kata tersebht secara konsusten dalam sampul naskah-naskahnya, selain itu juga tertulis dalam papan nama zawiyah Tanoh Abee sendiri. 

Generasi kedua yang diyakini oleh tradisi setempat sebagai pendiri awal Zawiyah Tanoh Abee pada 1666-an, beliau bernama Syekh Nayan, putra Syekh Fayrus al- Baghdady, ia mendapatkan pendidikan dasar dari orangtuanya kemudian melanjutkan ke Zawiyah Leupue dj Peunayong, Banda Aceh, dan berguru kepada Syekh Baba Dawud al-jawi bin Isma’il bin Agha Mustafa bin Aga Ali al-Rumi, seorang keturunan Turki yang juga merupakan murid langsung Syekh Abdurrauf bin Ali al-jawi al-Fansuri (1615-1693), khalifah terekat Syattariyah untuk kawasan dunia Islam Nusantara (Yeoh 1994 : 219).

Syekh Abdul Hafiz merupakan anak laki-laki satu-satunya dari Syekh Nayan. Ia adalah generasi ketiga pimpinan Zawiyah Tanoh Abee. Ia telah dididik sejak kecil dan dipersiapkan untuk menggantikan ayahnya mempimpin Zawiyah Tanoh Abee. Pada masa dialah Zawiyah Tanoh Abee mulai berkembang. 

Pemimpin keempat memberikan perhatian khusus Zawiyah Tanoh Abee untuk membangun dan mengumpulkan khazanah naskah ke-Islam-an. 

Pimpinan Zawiyah Tanoh Abee jatuh kepada ahli waris generasi kelima yaitu Syekh Muhammad Saleh bin Syekh Abdurahim (w. 1855 M). Pada masa inilah koleksi perpustakaan Zawiyah Tanoh Abee relatif tidak bertambah. 

Pada pertengahan hingga akhjr abad ke 19 koleksi  Zawiyah Tanoh Abee mengalami masa keemasan yang dipimpin generasi keenam yaitu Syekh Abdul Wahab (w. 1894), ia merupakan satu-satunya anak Syekh Muhammad Saleh dari 14 bersaudara, yang memiliki minat dalam hal pengembangan ilmu-ilmu keagamaan. 

Pada masa pimpinan ketujuh salah saty peristiwa musnahnya naskah-naskah koleksi Zawiyah Tanoh Abee pada masa ini koleksi naskah di perpustakaan Zawiyah Tanoh Abee mencapai lebih dari sepuluh ribu judul, dan jumlah koleksi tersebut secara perlahan mengalami kerusakan atau musnah pada masa-masa berikutnya. 

Pada sekitar 1901 Tgk. Muhammad Sa’id, ditankap oleh Belanda dan dimasukkan ke dalam penjara selama beberapa waktu lamanya. 

Generasi kedelapan merupakan putra Tgk. Muhammad Sa’id, yaitu Syekh Muhammad Ali (awal abad ke 20). Pada saat itu terjadilah pelerangan yang mengakibatkan dihancurkannya sejumlah dayah/ zawiyah yang dianggap sebagai penggerak perlawanan oleh Belanda. 

Kemudian generasi kesembilan keluarga Fayrus al-Baghdady mulai menjadi pumpinan Zawiyah Tanoh abee pada gahun 1969, dan pada saat itulah dapat diselamatkan dan terus tersimpan serta terpelihara di dalam Zawiyah, setidaknya hingga ia wafat 18 November 2006. 

Selain itu mengingat banyaknya naskah islam tradisional semisal zawiyah/dayah, pesantren, surau, pondok, atau koleksi pribadi, yang belum banyak mendapat perhatian, maka berbagai upaya penelusuran dan kajian atasnya akan sangat penting dilakukan.

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS