Ticker

6/recent/ticker-posts

“Eksistensi tarekat Syattariyah di Aceh berlanjut ke Minangkabau”

 


Oleh Fajri Frayoga

Penulis adalah seorang Mahasiswa Jurusan Sastra Minangkabau, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas.


     Tarekat Syattariyah adalah sebuah tarekat yang cukup populer dan banyak pengikutnya di Indonesia, terutama di Aceh dan Sumatera Barat. Tarekat Syattariah terkenal lebih menekankan ritual dzikirnya. Tarekat ini awalnya muncul pada abad ke-15 di India yang dinisbahkan kepada seorang ulama yang bernama Syekh Abdullah Asy-Syattar. Beliau berdakwah dengan cara menyatu dengan tradisi masyarakat setempat. Kemudian paham syattariah ini dikembangkan oleh muridnya yang bernama Muhammad Ghaus dari Gwalior (w. 1562). Cara mengembangkan tarekat oleh Muhammad Ghaus sangatlah unik. Beliau menggunakan gerakan atau praktik yoga. Selanjutnya diteruskan oleh seorang yang sangat dihormati ditanah Gujarat yang bernama Syah Wajihuddin (w. 1609). Kemudian murid Wajihuddin inilah yang membawa tarekat Syattariyah ketanah Arab. Beliau bernama Sibghatullah bin Ruhullah (w. 1606). Akhirnya barulah dilanjutkan oleh Ahmad Syimnawi (w. 1619), Ahmad al-Qusyasyi (w. 1661), Ibrahim al Kurani (w. 1689). 

     Tarekat Syattariah ini masuk ke Indonesia yang dibawa oleh Syekh Abdurra’uf Singkili, ulama yang berasal dari Aceh. Beliau adalah murid dari Syekh Ahmed Al-Qusyasyi dan Syekh Ibrahim Al Kurani. Syekh Abdurra’uf pada masa itu sudah dikenal oleh masyarakat setempat. Ratu kerajaan Aceh pada masa itu yang bernama Syafiyyatu Ad-Din, tertarik dengan ajaran yang dibawa oleh Syekh Abdurra’uf. Ratu meminta syekh Abdurra’uf mengajarkan dan menuliskan tarekat syattariah ini dalam bentuk buku. Kemudian dituliskan sebuah buku oleh syekh Abdurra’uf yang berjudul At-Tariqatu Asy-Syattariah. Karena keterlibatan Ratu dalam tarekat Syattariah membuat ajaran ini semakin berkembang dilingkup istana. Kemudian juga mulai berkembang kependuduk kerajaan.

     Pada abad ke-17 M terjadilah pertentangan dari ulama syattariah terhadap aliran Wujuddiyah yang mucul di Aceh kala itu. Ajaran Wujuddiyah ini adalah Panteisme dari Ibnu Arabi yang dianut dan dikembangkan oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As-Sumatrani. Ajaran ini mengatakan wujud Tuhan dan wujud makhluk hidup itu adalah kesatuan dan membedakan antara hakikat dengan syariat. Munculnya paham Wujuddiyah memicu pertentangan oleh para ulama tarekat Syattariah. Ajaran wujuddiyah ini dianggap sesat karena akibat ajaran ini tidak ada bedanya makhluk dengan Tuhan dan semua itu telah menyimpang sehingga pengikutnya meninggalkan syariat Allah SWT. 

     Pertentangan pertama dalam kerajaan Aceh digerakkan oleh Syekh Muhammad Jailani ibn Hasanji ibn Muhammad Hamid atau lebih dikenal dengan Nur Al-Din ar-Raniri. Tindakan yang dilakukan oleh ar-Raniri ini terbilang anarkis karena beliau membakar karya Hamzah Fanzuri dan Syam al-Din Sumatrani didepan Masjid Raya Banda Aceh. Karena karya – karya tersebut pemicu perluasan konsep – konsep aliran Wujuddiyah. Selanjutnya ar-Raniri menetapkan hukum bunuh kepada para penganut aliran Wujuddiyah yang tidak mau bertobat dan mereka di cap kafir oleh ar-Raniri. Penolakkan yang kedua dilakukan oleh pembawa tarekat Syattariah, yaitu Syekh Abddura’uf Singkili. Penolakan ini dilakukan lebih moderat atau tujuannya adalah sebagai penengah dari konflik yang sedang hangat pada masa itu. Syek abdura’uf mejelaskan kesalahan yang terdapat didalam aliran wujuddiyah dan memberikan pemahaman yang benar kepada para pengikut aliran Wujuddiyah. Syekh abdurra’uf menjelaskan bahwa manusia itu tidak sama zatnya dengan Tuhan. Tuhan tetaplah Tuhan. Apapun yang dikendaki oleh Tuhan maka akan terjadi disaat itu juga sedangkan tidak dengan manusia. Yang diinginkan manusia tidak dapat terjadi saat itu karena semua itu atas izin Tuhan.

     Ternyata sifat gurunya yang lebih memilih jalan sebagai penengah ini diwarisi oleh muridnya. Salah satu muridnya yaitu Syekh Abdurrahman Bawan yang berasal dari Agam, Minangkabau. Syekh abdurrahman menjawab segala pertanyaan tentang paham Wujuddiyah yang berkembang di aceh kala itu. Beliau menjawabnya dan membuat sebuah naskah yang bernama naskah Jawab al-Musykilat. Dalam naskah ini beliau menengahi perdebatan antara pengikut paham wujuddiyah sengan pengikut tarekat syattariah. Beliau memperbaiki pemahaman darii segala kesalahan yang terdapat dalam ajaran Wujuddiyah.

     Selanjutnya tarekat syattariyah ini juga berkembang didaerah tempat penulis lahir. Tarekat ini dibawa oleh Pono atau lebih dikenal dengan Syekh Burhanuddin, yang juga merupakan murid dari Syekh Abdurra’uf Singkili. Tetapi sebelum berguru ke Syekh Abdurra’uf, Syekh Burhanuddin terlebih dahulu juga belajar kepada Syekh Ahmad al-Qusyasyi di Madinah. Namun setelah Syekh Qusyasyi wafat beliau kembali ke Nusantara dan berguru ke Syekh Abdurra’uf di Aceh. Kisahnya kedatangan Syekh Burnauddin ke Aceh ini sudah diwasiatkan oleh Syekh Qusyasyi kepada Syekh Abdurra’uf sebelum beliau wafat. Wasiat tersebut berbunyi “ketika kamu sampai di Aceh, ada lima orang yang akan datang berguru. Salah satunya berasal dari Ulakan, yaitu Burhanuddin. Kakinya akan lebih tinggi dari tanah”. 

     Kemudian pada tahun 1662 datanglah Pono dan empat kawannya ke Aceh. Dan syekh Abdurra’uf lah yang memberikan nama Burhanuddin kepada Pono. Menurut Oman Faturahman Burhanuddin belajar di Aceh selama 18 Tahun. Karena ilmu yang dimilikinya sudah dirasa cukup maka Burhanuddin disuruhlah oleh Syekh Abdurra’uf kembali ke Ulakan. Setelah kembali dari Aceh Burhanuddin mendirikan sebuah Surau yang dikenal dengan Surau Gadang. Syekh Burhanuddin menjadikan Surau waktu itu bukanya hanya tempat untuk mengaji tetapi juga tempat untuk belajar silat. Saat itulah Syekh Burhanuddin mengajarkan tarekat Syattariyah kepada masyarakat, bahwa cara kita dekat dengan Allah SWT. Melalui ilmu kebatinan. Karena itulah dalam ajaran tarekat Syattariyah menekankan dzikir. Syekh Burhanuddin wafat pada tahun 1704 dan banyak meninggalkan berbagai karya tulis. Ajaran Syekh Burhanuddin juga masih bertahan sampai saat sekarang ini. Contohnya saja ditempat tinggal penulis masih menjalankan salah satu ajaran Syekh Burhanuddin yaitu Maniliak Bulan.

     Maniliak Bulan atau mancaliak bulan (melihat bulan) adalah tradisi yang dilakukan oleh para pengikut ajaran Syattariah. maniliak bulan ini dilakukan sehari sebelum memasuki bulan Ramadhan. Kalau dikampung penulis di Tandikek, Kabupaten Padang Pariaman, Untuk penetapan hari puasa masyarakat akan pergi ke Pantai Ulakan untuk melihat Bulan. Setelah Bulan terlihat maka pada malam harinya akan dibunyikan meriam sebanyak 2 kali di surau Gadang. Surau yang memiliki banyak sejarah karena sudah ada sejak zaman belanda. Meriam yang ada disurau ini katanya juga peninggalan dari penjajah belanda. Jadi para pengikut ajaran Syattariah di Tandikek akan lambat berpuasa 1-2 hari dibandingkan orang yang berpuasa mengikuti kalendar. Tetapi Lebarannya juga lambat beberapa hari. Penulis sendiri juga masih menjalankan ajaran ini, karena apa salahnya kita menjalankan apa yang telah diajarkan oleh Ulama terkenal yang telah memajukan Islam di Minangkabau ini. Selain itu jangan berlagak sok pintar hanya dengan ilmu seujung kuku. Ingalah adab lebih tinggi daripada ilmu.

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS