Ticker

6/recent/ticker-posts

Dialektika Hindu-Jawa dan islam dalam Serat Mi’raj



Oleh : Johan Fadiyah mahasiswa universitas Andalas 


 

Masuknya Islam di jawa Memberikan kontribusi khususnya perkembangan terhadap perkembangan kesusastraan jawa. Seperti serat mi’raj dari madura yang diadaptasi dari surat al isra’ (QS. 17:1) yang menggambarkan perjalanan nabi Muhammad ke surga dan neraka diiringi oleh malaikat Jibril. Namun dalam serat mi’raj diceritakan nabi Muhammad SAW diiringi oleh malaikat Jibril dan bidaadari. Kehadiran bidadari merupakan karakteristik cerita hindu-jawa.

Teks Serat Mi’raj yang tergolong teks sastra islam dipengaruhi unsur mitologi yang menjadi karakteristik cerita Hindu yang kemudian diasimiliasikan dalam kisah-kisah dalam sejarah islam. Transformasi demikian Merepresensikan berjalannya proses berpindahnya keyakinan telah pula mengubah orientasi sastra yang semula hindu jawa ke islam memahami proses transformasi di bidang sastra khususnya berkaitan dengan proses perubahan agama, yang berkaitan dengan proses perubahan agama, yang berimplikasi pada perubahan dan spesifikasi karya sastra. Perpindahan keyakinan telah mengubah orientasi sastra yang semula bertemakan hindu-jawa ke tema keislaman. Jika melihat fenomena diatas, tampaknya proses perubahan agama, yang berimplikasi pada perubahan dan spesifikasi karya sastra.

Teks serat mi’raj merupakan salah satu contoh teks asal madura yang berbahasa jawa-madura. Untuk itu bagi pembaca perlu mendapat perhatian lebih detail berkaitan dengan Bahasa tersebut sebelum memahami ceritanya.

Membaca serat mi’raj cukup mengasikkan, didalamnya mengisahkan sosok nabi Muhammad SAW yang bertemu bidadari, melihat kehidupan surga dan neraka yang semuanya di deskripsikan cukup konkrit, sehingga pembaca dapat memahami bahwa ada kehidupan sesudah mati sebagaimana dijelaskan dalam alquran. Konkritisasi kedua latar cerita telah merangsang, menampilkan pandangan yang luas bagi pembaca tentang tempat dan objek tersebut. Kalaupun ada perbedaan penyampaian antara alquran dan serat mi’raj semata-mata persoalan metode. Dalam arti islam memberi keleluasaan setiap kelompok etnis, daerah, negeri mana pun untuk mengembangkan metode syiar yang tepat dan efisien yang mudah dimengerti oleh masyarakat lokalnya. Makanya islam kaya akan historical setting yang membentang dari jazirah arab hingga nusantara. Terbukti keberadaan serat mi’raj memiliki versi yang beragam seberagam kelompok etnis di Indonesia.

Secara administrasi, maupun budaya madura adalah bagian dari jawa dan ini berlangsung sejak masa-masa kerajaan majapahit hingga masa islamisasi banyak para santri yang nyantri ke jawa (Hutomo, 1991; Mansurnoor, 1990). Di sela-sela ngangsu kawruh (belajar) di lingkungan pesantren, parsa santri madura menyalin atau menulis ualng cerita-cerita dari naskah-naskah jawa. Yang tentunya disesuaikan dengan pemikiran orang madura. Bagi kebanyakan masyarakat jawa, seni adalah sebuah kebutuhan betiniah yang diaktualisasikan melalui berbagai aktivitas hidup yang punya kandungan seni dan religi dengan asumsi seni adalah sumber kehidupan, tuntunan dalam beraktifitas, maka dari itu banyak diciptakan karya sastra dengan tema ketauhitan dengan mengembangkan cerita yang sudah ada sebelumnya, sehingga menghasilkan sebuah cerita yang alkuturatif, singkritis yang tak jauh dari realitas hidup mereka yang juga demikian.

Kesusastran madura muncul dalam dua versi, pertama dalam Bahasa jawa dan bahaa madura. Kedua-duanya ditulis oleh orang Madura (uhlenbeck, 1964) menerangkan keanekaragaman sastra jawa dalam sastra berbahasa madura yang tumbuh dan berkembang di masyarakat Madura.

Keberadaan Serat Mi’raj dalam versi Madura, ini dapat diamati dari kolofon yang menyebutkan asal penulis (penyalin) Bernama pak Sulami asal Madura. Menurut Hutomo (1991) sastra Madura tertulis dalam dua aksara, yaitu aksara jawa atau hanacaraka dan aksara pegon. Maka dari itu manuskrip Madura tertulis dalam dua aksara tersebut. Walaupun sepintas menggunakan Bahasa jawa, namun jika telusuri secara seksama maka akan tampak kandungan Bahasa Madura, seperti teks berikut ini :

Lumaris nabi Muhammad/ aningali wung akata/ kali keti akewihi/ Malaikat/ Malaikat ruwangi mangku/ wung uji malikat siji/ anyekel dinding/ sanungal angucap cangkemu/ dinulang dinding matta/ tan kena bengkang saberi/ datang kena anjerit ibek cangkemu/

Terjemahan bebasnya:

Selanjutnya Nabi Muhammad SAW melihat seratus ribu orang banyaknya/ satu orang dihadap satu malaikat memegang dendeng(daging) mentah yang dijejalkan ke mulutnya dan mereka tidak boleh menjerit.

Teks diatas memang berbahasa jawa, namun jika diamati dengan seksama, maka akan tampak Bahasa jawa bernuansa madura, seperti kata cangkemi, yang dalam teks jawa jarang sekali ditemukan, sebaliknya mereka lebih menyukai kata tutuk sebagai sinonimnya, akewihi=akeh, ruwangi=rewang-I artinya membantu. Adapun kata dinding matta (mdr) artinya dendeng mentah, bengkang (mdr) artinya telanjang.

Jika pembaca tidak paham Bahasa Madura, akan mengalami kesulitan Ketika memaknainya, sementara kasus di atas cukup banyak. Untuk itu, bagi pembaca yang membaca teks asal madura sebaiknya memahami bahsa madura.

Teks serat mi’raj dapat dipandang sebagai ekspresi umat jawa dalam memahami islam. Teks tersebut diadaptasi dari surat isra’ (yasin,1980:380) dalam al-quran yang secara garis besarnya mengisahkan Nabi Muhammad SAW Ketika melakukan Isra’(perjalanan) dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa (sekarang di Palestina) kemudian dilanjutkan Mi’raj ke sidratul Muntaha guna menerima perintah shalat lima waktu bagi umatnya.

Kisah Mi’raj Nabi Muhammad SA cukup popular dikalangan masyarakat muslim Nusantara. Kisah tersebut akan tampak riil jika didramatisasi dengan pengalaman bacaan yang pernah mereka dapatkan sebelumnya dan hasilnya sebagai berikut:

Ing suwarga punika nabi Muhammad alun sabdanya, jabrail sun aningeli arsa welu widadari Rahim wastani puniku, lumaris lampahira kaliyan jabrail perapta ning mali geya widadari pada mapak mering nabi nira yang widi.   

 Terjemahan bebasnya:

Di surg aini nabi Muhammad.. bertanya, Jibril tiba-tiba melihat deadpan Bidadari cantik di langit. Selanjutnya berjalan Bersama Jibril tiba-tiba bidadari itu menjemput Nabiyullah.

Seting cerita di atas adalah surga, Mi’raj Nabi Muhammad SAW dianalogikan dengan perjalanan Nabi ke kayangan nan alam jauh di sana beliau bertemu dengan delapan bidadari. Angka delapan tidak tergolong angka mistik layaknya angka Sembilan yang menandai faham klasifikasi (sofyan, 2000:9).

Dalam koteks ini, pengarang mirip seorang penjelajah, menggunakan kekuatan imajinasi itu mempertemukan dua motif cerita Hindu-jawa dengan Islam untuk kemudian diasimilasikan, disinkretisasikan dengan prespektif baru sesuai dengan pengalaman bacaan orang jawa Ketika itu.

Jika melihat cerita di atas jelas sekali tidak ada satu cerita yang benar-benar orisinal, buktinya serat mi’raj merupakan hasil transformasi dari motif hindu-jawa yang karena perubahan keyakinan menjadi muslim, maka cerita yang ada dikembangkan Kembali disesuaikan dengan prinsip islam yang berkembang di pesisir jawa. 

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS