Ticker

6/recent/ticker-posts

Perempuan Minang Harus Membeli Pria Minang Untuk Bisa Menikah

 

Foto dok

Oleh : Habibul Rahman Hanifah jurusan Sastra daerah UNAND


 

Gadis Minang yang sudah berumur cukup untuk menikah dan mau melangsungkan pernikahan, harus membeli calon pasangannya dengan harga yang disepakati oleh keluarga calon suaminya. Keluarga mempelai wanita juga harus berbesar hati untuk membiayai seluruh keperluan dalam prosesi pernikahan. Adat seperti ini masih dipegang teguh oleh masyarakat Minangkabau khususnya Padang Pariaman.

Beberapa hal yang kuat menjadi gambaran umum tentang fenomena pria minang dibeli oleh calon mempelai wanita antara lain :

1. Harga pria minang dibeli berdasarkan pada derajat pendidikannya. Semakin tinggi derajat pendidikan yang berhasil ditempuh si lelaki minang, maka akan semakin tinggi harganya.

2. Pria minang dibeli memang dibolehkan, namun nantinya setelah menikah, sang suami akan memiliki beban lebih seperti menanggung biaya pendidikan adik-adik sang calon istri dan beban ekonomi keluarga lainnya.

3. Pria minang dibeli meski belum memiliki status pekerjaan yang jelas, belum sejahtera secara ekonomi, tetap dipatok harga sesuai pendidikan, dan ini berlaku untuk semua prosesi lamaran hingga pernikahan di ranah minang.

Mungkin kita bisa menyimpulkan tiga informasi itu yang melekat kuat di benak masyarakat umum tentang fenomena pria minang dibeli. Bahkan pernyataan dan generalisasi seperti ini umum kita temukan ketika bergaul di lapangan. Anda yang masyarakat minang diperantauan ketika berjumpa dengan masyarakat di luar sumatera barat, pasti pernah mendengar pertanyaan, “eh laki-laki diminang itu dibeli ya?”

Menurut beberapa literatur dan sumber yang berhasil di himpun. Sebenarnya fenomena pria minang dibeli ini adalah sebuah proses menuju pernikahan yang disebut sebagai uang japuik. Keluarga dari pihak calon mempelai wanita akan memberikan beberapa hal kepada pihak calon mempelai laki-laki dengan maksud memuliakan pasangan. Hal ini tentu bisa dipahami bagi mereka yang mempraktekkan hal ini, bagi yang tidak mungkin rasa pemahamannya akan kurang terhadap uang japuik ini.

Hal ini juga kental dengan budaya matrilineal yang dipegang teguh sampai sekarang oleh masyarakat minang, dimana posisi keturunan merujuk kepada garis ibu, bukan garis bapak seperti pada umumnya.

Dari sejarahnya pada zaman dulu, budaya uang japuik ini juga terkait pada kondisi ekonomi masyarakat setempat yang miskin dan terjajah, tanpa profesi yang menjanjikan, biasanya hanya menjadi nelayan, berkebun, berladang, dan bersawah. Kemudian pihak mempelai wanita akan memberikan beberapa harta untuk mengangkat derajat sang laki-laki. Uang japuik ini pada akhirnya juga akan dipergunakan untuk resepsi dan biaya pernikahan.

Pada zaman dulu, pengukuran hantaran pihak wanita kepada pihak lelaki sebenarnya menggunakan emas, bukan uang. Barulah penyesuaian zaman, diganti dengan uang, namun tetap dengan nilai yang setara dengan emas. Faktanya, harga lebih tinggi untuk strata sosial lelaki yang lebih tinggi juga benar adanya, makanya nilai uang japuik juga berdasarkan strata pendidikan atau derajat sosial si calon mempelai pria.

Terinspirasi Pinangan Siti Khadijah Atas Rasulullah

Untuk yang satu ini memang rada kontroversi, namun bagi sebagian orang, uang japuik ini terinspirasi dari kisah perjodohan Rasulullah Muhammad SAW dengan istri pertamanya yaitu Siti Khadijah. Saat itu, Khadijah yang terpesona dengan segala kesempurnaan yang ada pada diri rasul ingin melamarnya.

Dengan segala penghormatan atas nabi, Khadijah memberikan sejumlah harta kepada Rasulullah, dan akhirnya mereka menikah selama kurang lebih 23 tahun sebelum akhirnya Khadijah meninggal dunia.

Pada dasarnya nominal uang japuik ini bisa dimusyawarahkan, namun berdasarkan beberapa sumber yang ada, kisarannya dari angka 5 juta rupiah, hingga kelipatan tinggi, bisa sampai 50 juta bahkan lebih. Terlebih jika kedua calon pasangan memiliki derajat ekonomi yang cukup mapan, jadi tidak ada keberatan dari salah satu pihak untuk mengeluarkan dana yang cukup besar.

Seperti pada penjelasan di atas, nominal ini juga banyak yang berstandar pada derajat pendidikan atau strata sosial si calon mempelai pria. Jika mempelai pria adalah seorang sarjana, maka bisa saja uang japuiknya senilai 35 juta atau setara jumlah biaya kuliah pihak si laki-laki. Namun, jika calon marapulai (sebutan untuk mempelai pria di ranah minang) tersebut pendidikannya tidak sampai pada tahap sarjana, mungkin hanya pada sekolah menengah atas, maka uang japuiknya juga pasti tidak akan mahal.

Jika pihak wanita memang kekurangan secara ekonomi, maka memang sebaiknya pihak calon mempelai pria mengurangkan dan memudahkan prosesi uang japuik ini. Hal ini tentu akan mempermudah proses pernikahan kedua insan yang sudah bersepakat untuk membangun rumah tangga.

Hanya Untuk Orang Pariaman

Nah, secara umum masyrakat menilai fenomena ini diberlakukan di seluruh daerah minang kabau, tapi faktaknya, pria minang dibeli hanya ada pada budaya masyarakat Pariaman dan sekitarnya. Sementara daerah lain di minangkabau tidak mengenal istilah uang japuik terlebih dari pihak wanita ke pihak pria.

Jadi tidak harus takut untuk wanita-wanita yang bukan berasal dari minangkabau, ketika jatuh cinta dan ingin menikah dengan pria minang, budaya ini bisa saja tidak diterapkan, karena sudah lintas budaya. Biasanya pernikahan lintas budaya akan mengambil hal-hal yang umum dan pantas untuk kedua belah pihak saja, tanpa mengunggulkan budaya salah satunya.

Nah bagi Anda gadih-gadih minang, seperti memang tidak akan risau, karena budaya seperti ini memang adanya di daerah pariaman dan beberapa di sekitarnya. Bagi yang memang ada calon suaminya berasal dari pariaman tidak usah terlalu takut, karena uang japuik ini jumlahnya tidaklah pasti dan sangat bisa dimusyawarahkan.

Pada dasarnya, budaya setempat jangan sampai mempersulit pernikahan, karena pernikahan dua insan lebih penting, baik dari sisi psikologi, terutama dari segi agama, karena pernikahan umat muslim akan menyempurnakan setengah keimanannya. Para tetua adat, ninik mamak, dan perangkat adat setempat juga harus mahfum karena masyarakat minangkabau sangat menjunjung tinggi adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Atau dalam pengertian bahasa Indonesia, adat istiadat minangkabau harus berdasarkan pada syariat agama, dan syariat agama harus merujuk pada kitab Allah yaitu Al-Qur’an.

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS