Ticker

6/recent/ticker-posts

Memikir Ulang Pandangan Dalam Proses Sosialisasi di Minangkabau

 


Oleh: Randu Sunerta mahasiswa dari jurusan Sastra Daerah Minangkabau, Fakuktas Ilmu Budaya, Universitas Andalas.


Sosialisasi adalah proses penanaman atau transfer kebiasaan atau nilai dan aturan dari satu individu ke individu lainnya dalam sebuah kelompok atau masyarakat.

Kita dalam tahap sosialisasi harus memilih tempat atau individu yang cocok untuk bersosialisasi buat kita, karena ada beberapa tempat atau individu yang memiliki pengaruh buruk yang sangat kuat dan berdampak terhadap kelangsungan hidup kita. Dalam hal ini kita sebagai diri kita sendiri harus berperan penting dalam hal mencegah terjerumusnya kita ke dalam dunia hitam, dan harus berani berjibaku terhadap arus globalisasi yang jua berdampak terhadap tahap sosialisasi.

Begitu juga kita tidak terlepas dari arahan dari orang terdekat, karenanya proses sosialisasi juga membutuhkan sokongan dari keluarga, tetangga, kerabat, dan sebagainya. Oleh sebab itu, selain berpartisipasi dalam lingkungan informal kita juga harus menerima setiap masukan yang diujarkan oleh lingkungan formal atau orang-orang terdekat. Selain itu ada beberapa larangan yang tidak masuk akal dalam proses sosialisasi, terutama di Minangkabau yang seringkali diujarkan oleh orang tua kepada anaknya, yang penulis rangkum menjadi dua poin.

Pertama, yang sering kita dengar dalam lingkungan masyarakat kita adalah, kalau bamain jo urang pancilok tabaok pancilok. Kalimat ini menjadi sesuatu yang tidak asing lagi terdengar oleh telinga kita, kalau bermain dengan seorang pencuri, pencopet, penodong atau semacamnya, kita juga akan ikut terbawa perilakunya. Manakala begitu, misalkan kita seorang yang tidak pencuri kita terbawa pencuri juga, mengapa tidak kita balikkan saja? bukankah kita juga bisa membuat orang itu tidak mengerjakan hal itu lagi? jikalau begitu mengapa tidak kita rangkul saja orang yang seperti itu? jika terus dikucilkan atau dibiarkan saja seperti itu, dia akan semakin menjadi-jadi, dan berdampak kepada dirinya, kita, serta masyarakat umum tentunya.

Mengapa berdampak kepada dirinya? karena dia tidak menerima sokongan dari masyarakat atau seorang temannya, sebab seringkali dikucilkan dan dia terus melakukan hal itu tanpa rasa jemu. Sedangkan dampak terhadap kita, karena seringkali dikucilkan apakah kita yakin akan timbulnya rasa dendam? maka rasa itulah perlahan menghampiri dan menebas cengkerama kita dengan penuh emosional.

Kedua, kalimat kedua yang juga seringkali kita dengar, ialah kok mancarin kawan tu jan samo urang nan indak sakolah. Kalimat ini juga tidak asing kita dengar dikalangan kita, mencari teman jangan orang yang tidak sekolah atau putus sekolah, lalu dengan siapa? bukankah proses sosialisasi itu bebas dengan siapa saja? bahkan kita juga banyak mendapat hikmah dan pelajaran dari mereka, tentang signifikan sebuah sekolah, tentang penyesalan karena putus sekolah. Banyak juga orang putus sekolah itu yang maju, yang sukses di rantau, yang mendirikan usaha sendiri, dan sebagainya.

Barangkali memang ada di antara mereka yang jua tidak ada kemajuan, tetapi yang saya lihat atau yang kalian juga pernah lihat, mungkin, tidak ada yang menjerumuskan kita untuk masuk ke zona hitam, melainkan mereka seringkali memberi arahan dan pengalaman tentang penyesalannya. Dari sini kita bisa melihat bahwasanya berteman dengan orang yang tidak bersekolah tidaklah buruk, tetapi mengapa isu itu masih terdengar juga sampai saat ini? mungkin itu terjadi di masa lalu atau saja mereka melihat kejadian buruk yang dilakukan oleh orang-orang yang saya sebut tadi, mungkin saja! tetapi tidak ada batasan untuk itu selagi tidak kalian temui sisi negatif dari berteman dengan orang-orang yang tidak sekolah.

Dari dua poin di atas kita dapat menyimpulkan bahwasanya kita sebagai manusia sosial tidak ada batasan bergaul atau berteman dengan siapapun, selagi tidak adanya perilaku menyimpang yang terkandung dalam pergaulan tersebut, sebab kalau memang ada yang bisa mengelakkan dari sifat itu hanyalah diri kita sendiri. Begitupun berteman dengan seorang pencuri ataupun dengan orang yang putus sekolah, berhati-hati itu senantiasa melekat pada jiwa manusia, jadi jangan pernah ada pembatasan atau pengucilan di kalangan kita.

Jika memang ada, coba kita perhatikan lingkungan sekitar kita, pasti antara banyaknya teman kita ada yang pencuri atau yang putus sekolah, tapi apakah terbawa? jika iya pasti buktinya ada, buktinya itu semakin meningkatnya jumlah pencuri atau teman kita yang putus sekolah dibuatnya. Bukankah kita sebagai manusia sosial harus saling menghargai? dari situ kita juga bisa memilah bahwa mencari kawan itu tidak perlu memilih-milih, intinya menghargai dan berhati-hati.

Sebenarnya semua orang pasti memiliki sisi buruk, baik yang parah maupun tidak. Tetapi mengapa yang disebut tadi sebegitu dibenci oleh setiap orang tua? saya sendiri paham, maksud dari tujuan orang tua kita itu baik, yang inginkannya tidak lain hanyalah ketidak inginan anaknya terjerumus atau meniru perilaku tersebut, tetapi secara kasatmata para orang tua telah membatasi proses sosialisasi anaknya, dan berakibat fatal apabila telah tumbuh dewasa nanti, yang sesekali bertemu orang yang memiliki perilaku itu dan si anak yang telah dibatasi sosialisasinya akan rentan terjerumus ke dunia hitam tersebut.

Hidup tidak pernah bisa diterka-terka akan jadi siapa, dan mendapat apa kita. Jalani semua tanpa batasan, yang buruk akan lenyap dan yang hilang akan menyembur karena sebuah dorongan.



















Nama Randu Sunerta,  mahasiswa dari jurusan Sastra Daerah Minangkabau, Fakuktas Ilmu Budaya, Universitas Andalas.

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS