Ticker

6/recent/ticker-posts

“Kalendernyo Urang Pariaman”


Oleh;  Muhammad Zhafran Nabil 

Jurusan: Sastra Daerah Minangkabau, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas

Penyebutan nama bulan pada penanggalan masehi merupakan hal biasa yang pernah didengar. Januari merupakan penamaan bulan di awal tahun dalam penanggalan begitu pula dengan bulan desember digunakan untuk menyebut bulan diakhir tahun dalam penanggalan masehi.

Dalam penanggalan masehi terdapat hari-hari yang dikhususkan yang ditandai dengan tanggal merah, di antaranya hari-hari besar yang harus diperingati termasuk hari hari raya agama-agama tertentu. Penanggalan masehi seperti yang diketahui angat umum dipakai oleh masyarakat kekinian. Penanggalan masehi dibuat berdasarkan peredaran bumi mengelilingi matahari dan dimulai sejak kelahiran Nabi Isa Almasih. AS. Oleh karena itu sistem kalender ini disebut maisiah (Masehi) dan ada yang menyebutnya kalender kelahiran. 

Berbeda dengan penanggalan kalender Masehi, di Kabupaten Padang Pariaman terdapat penanggalan berbeda dengan sistem penanggalan Masehi. Penyebutan nama bulan pada kalender ini cukup aneh dan menggunakan nama yang sangat lokal. Kelokalan nama yang dimilikinya menggambarkan kekomplitan tradisi yang dilaksanakan dalam masing-masing bulan ini. Penyebutan nama bulan juga terhitung dua belas, dimulai dari bulan sura, bulan sapa, bulan muluk, bulan adiak muluk, bulan adiak muluk kaduo, bulan caghai, bulan sambagheh, bulan lamang, bulan puaso, bulan gayo, bulan adiak gayo, dan bulan haji. Penyebutan nama bulan yang mengacu pada tradisi lokal seperti ini hanya terdapat di Kabupaten Padang Pariaman. 

Berdasarkan pengamatan lapangan, dari masing-masing kedua belas bulan di atas terdapat hari-hari tertentu yang harus diperingati dan dihindari. Bulan sura dilarang mengadakan pesta perkawinan, tetapi diwajibkan mendoa sura terhitung sejak masuknya bulan hingga sepuluh hari kedepan. Pada bulan ini dilaksanakan tradisi batabuik dan pacuan kuda Sebagai awal tahun baru dalam Kalender Islam, di bulan ini ditandai dengan perayaan untuk memperingati sejarah masa lampau. Pada bulan ini pula dilaksanakan tradisi batabuik dan pacuan kuda di daerah paguah. Tabuik salah satu tradisi yang dianggap sakral ini jatuh pada bulan sura (Muharam dalam Islam) yang mana persiapannya dimulai semenjak tanggal1 hingga tanggal 10 muharam.

Pada Bulan sapa diadakan tradisi basapa yang terdiri dari sapa ketek dan sapa gadang. Pada bulan ini ziarah kubur dilakukan secara besar-besaran. Seperti kebiasaan masyarakat pada bulan ini selalu mengadakan tradisi basapa. Basapa dengan maksdud merayakan bulan sapa dalam bentuk ziarah ke makam Syeikh Burhanuddin yang bermakam di Ulakan. Nagari Ulakan Berada di Pesisir Pantai Padang Pariaman Sumatera barat, nama Ulakan ini dipercaya oleh masyarakat berasal dari kata manulak. Manulak (penolakan) yang dimaksud ialah menolak empat sahabat syeikh Burhanuddin untuk kembali belajar pada Syeikh Abdurrauf. Malahan perintah untuk belajar pada Syeikh Burhanuddin.  Pada bulan muluk terhitung sejak masuk bulan muluk hingga bulan adik muluk kedua, masyarakat  merayakan maulid nabi selama tiga bulan secara berturut-turut. Acara maulid ini dilengkapi dengan membuat lamang dan memasak berbagai makanan. Pada bulan caghai dianggap bulan kosong dan masyarakat juga tidak boleh melakukan pernikahan pada bulan ini. Bulan sambagheh masyarakat diwajibkan mandoa dan maanta ke rumah besan, tradisi ini dilakukan oleh pihak keluarga perempuan. Pada bulan lamang masyarakat diwajibkan mengaji arwah dan ziarah kubur. Tradisi ini juga dilengkapi dengan membuat lamang dan memasak berbagai macaman sebagai hidangan dalam mengaji. Berbagai jenis tradisi juga di praktekan pada bulan puaso, gayo, adiak gajo, dan bulan haji. 

Perayaan-perayaan pada dua belas bulan di atas memang tidak ditandai seperti yang terdapat pada kalender masehi, tetapi hanya ditandai dalam pikiran masyarakat pemilik tradisi. Diperkirakan tradisi ini sudah hidup sebelum islam masuk ke Minangkabau. Setelah islam mulai dikenal oleh masyarakat, tradisi penyebutan nama bulan ini mendapatkan pengaruh dari Islam. Seperti penamaan, pada bulan puaso, bulan gayo, dan bulan haji. Sebagai bukti, pada bulan lamang terdapat tradisi mangaji arwah yang mana sebelumnya tradisi ini berbentuk berbalas pantun dalam bahasa daerah dielngkapi dengan tangisan yang berhiba hati. Setelah kedatangan islam,tradisi ini diubah oleh Syeh Burhanuddin dengan bacaan Al-Quran beserta zikir.

Penyebutan nama bulan sebagai sebuah simbol budaya, perlu diteliti secara akademis. Sebab kekuatan yang dimiliki oleh simbol mampu mengendalikan masyarakat sehingga hadirnya sebuah tradisi dalam sebuah kebudayaan lebih dipandang sebagai kewajiban yang harus dijalankan oleh masyarakat pendukungnya. Oleh karenanya, untuk mengungkapan misteri dibalik penyebutan nama bulan sebagai sebuah simbol budaya perlu dilakukan secara ilmiah, sehingga kehadirannya di tengah masyarakat dapat diakui secara akademis.

Disamping itu, kajian ini sudah selayaknya dilakukan sebelum keberadaannya benar-benar hilang oleh dominasi penanggalan modern. Kondisi ini diperparah dengan tidak dituliskannya penamaan bulan ini pada kehidupan keseharain. Penyebutannya hanya 4 ada dalam pikiran individu dan pelaku tradisi yang pada umumnnya sudah berumur lima puluh tahun ke atas. Bisa dikatakan kondisi kepunahannya sudah di depan mata, tradisi ini akan hilang bersamaan dengan meninggalnya pelaku tradisi

 Berdsarakan uraian di atas, penulis sebagai akademisi memiliki kewajiban untuk mengangkat tema ini sebagai objek penelitian. Sehingga sistem nilai dan pesan moral yang terdapat dalam simbol penamanaan bulan yang diciptakan masyarakat tradisional dapat diungkapan dan diwariskan pada generasi berikutnya. Sehingga kearifan lokal yang diproyeksikan oleh tradisi ini dapat dijadikan sebagai sarana pendidikan karakter bagi generasi mendatang. 

Sejalan dengan di atas, penamaan bulan sebagai sebuah atketive yang bersifat abstrak perlu didekati dengan ilmu bahasa. Melalaui bahasa, simbol-simbol yang dilambangkan dalam penyampaian pesan dapat diungkapkan. Pendekatan Antropolinguistik sangat tepat digunakan dalam kajian ini. Antropolinguistik merupakan salah satu cabang ilmu bahasa yang dianggap makro-linguistik mampu menelusuri makna terdalam dari aspek budaya dan tradisi yang dimiliki oleh masyarakat tradisional.

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS