Ticker

6/recent/ticker-posts

UCAPAN _SELAMAT NATAL_ BAGI SEORANG MUSLIM DALAM KAEDAH FIQIH


Prof.Dr.H.Asasriwarni MH Guru Besar UIN/ Ketua Dewan Pertimbangan MUI Sumbar


Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang multikultural, karena di dalamnya terdapat  berbagai etnis, bahasa, budaya, agama dan kepercayaan. Namun, ada kalanya kemajemukan ini justru sering memicu timbulnya  polemik tertentu di kalangan masyarakat. Di antaranya adalah terkait dengan  *_hukum ucapan selamat natal bagi umat Islam_* yang diucapkan kepada saudaranya yang 

beragama Nasrani (Kristen). Polemik ini hampir terjadi di setiap tahun. 


Berhubung kasus ini erat kaitannya dengan *_istinbath al-hukmi_*,  maka saya akan mencoba untuk mengulas *_hukum ucapan selamat natal dengan menggunakan perspektif fiqih_* yang akan dikaitkan juga dengan *_akidah dan akhlak_*.


*_A. Dasar Pemahaman :_*


Kita tidak akan menemukan dalilnya, baik di dalam  Al-Qur’an maupun As-Sunnah secara spesifik untuk dapat menyimpulkan hukum ucapan selamat Natal. Sebab, di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak disebutkan secara spesifik terkait dengan kebolehan atau keharaman mengucapkan selamat natal. Polemik ini terjadi di era kontemporer, dimana hal tersebut muncul karena keinginan sebagian umat Islam yang hendak mengekspresikan sikap toleransinya kepada saudara-saudaranya yang Nasrani.


*_Oleh karena kita belum   menemukan dalilnya, baik di dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah yang secara tegas mengaturnya. Maka kasus ini  termasuk dalam kategori masalah IJTIHADI_*. 


Para Ulama Kontemporer  mengulas hukum menyampaikan *_Selanat Natal_*  dikarenakan  kasus tersebut termasuk dalam kategori Ijtihadi.


Perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan ulama kontemporer, disebabkan oleh Ijtihad mereka dalam memahami generalitas (keumuman) ayat atau Hadits yang kiranya terkait dengan kasus ini. Contohnya perbedaan sikap yang diambil oleh para ulama kontemporer seperti Ibn Baz, Ibnu ‘Utsaimin, Ali Jum’ah, Yusuf al-Qardhawi, Habib Ali Aljufri, Buya Hamka, dan ulama kontemporer lainnya.


Perbedaan pendapat Para Ulama Kontemporer  pada prinsipnya dipilah menjadi dua kubu, yakni :  kubu yang membolehkan dan kubu yang melarang. 


*_B. Dasar Hukum Kubu Yang Membolehkan :_*


Para ulama yang memilih sikap  membolehkan seorang muslim mengucapkan selamat Natal kepada saudaranya yang beragama   Nasrani melandaskan  diri pada  firman Allah SWT dalam sebuah ayat berikut ini :  


لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ


*Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangi mu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil* (QS. Al Mumtahanah Ayat : 8)


Pada ayat tersebut, Allah SWT  menegaskan bahwa perbuatan baik (Ihsan) kepada siapa saja itu tidak dilarang, selama mereka tidak memerangi dan mengusir dari negerinya. Sedangkan, *_mengucapkan selamat natal merupakan salah satu bentuk perbuatan baik kepada saudara kita yang Non-Muslim, sehingga perbuatan tersebut diperbolehkan_*.


Selain itu, dalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu berkata, bahwa  Rasulullah SAW bersabda sbb : 


كَانَ غُلاَمٌ يَهُودِيٌّ يَخْدُمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَرِضَ، فَأَتَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُهُ، فَقَعَدَ عِنْدَ رَأْسِهِ فَقَالَ لَهُ: أَسْلِمْ. فَنَظَرَ إِلَى أَبِيهِ وَهُوَ عِنْدَهُ، فَقَالَ لَهُ: أَطِعْ أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَأَسْلَمَ. فَخَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَقُولُ: (الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْقَذَهُ مِنَ النَّارِ) ـ  


*Dahulu ada seorang anak Yahudi yang senantiasa melayani (membantu) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian ia sakit. Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatanginya untuk menjenguknya, lalu beliau duduk di dekat kepalanya, kemudian berkata : ‘Masuk Islam-lah !’ Maka anak Yahudi itu melihat ke arah ayahnya yang ada di dekatnya, maka ayahnya berkata, Taatilah Abul Qasim (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). ’Maka anak itu pun masuk Islam. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar seraya bersabda, ‘Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkannya dari neraka*  (HR. Al-Bukhari No. 1356 dan No. 5657)


Pada hadits tersebut, Rasulullah SAW memberikan teladan kepada umatnya untuk berbuat baik kepada Saudara kita yang  Non-Muslim. *_Sehingga mengucapkan selamat Natal merupakan salah satu bentuk perbuatan baik kepada saudara kita yang Non-muslim. Untuk itu, perbuatan tersebut diperbolehkan, walaupun bukan dalam keadaan darurat_*. Ucapan tersebut diperbolehkan selama tidak mengganggu Akidahnya terhadap Allah SWT dan Rasul-Nya serta tidak mendukung keyakinan umat Nasrani tentang kebenaran peristiwa natal.


Ulama kontemporer yang mendukung pendapat ini diantaranya :  *Yusuf Al-Qardhawi, Musthafa Zarqa, Abdullah bin Bayyah, Ali Jum’ah, Habib Ali Aljufri, Quraish Shihab, Abdurrahman Wahid, Said Aqil Sirodj, dan sebagainya*


*_C. Dasar Hukum Kubu Yang Mengharamkan :_*


Para ulama yang memilih sikap untuk mengharamkan bagi seorang muslim yang mengucapkan selamat natal kepada saudaranya yang beragama Nasrani,   mendasari diri pada firman Allah SWT dalam sebuah ayat berikut ini :  


وَالَّذِيۡنَ لَا يَشۡهَدُوۡنَ الزُّوۡرَۙ وَ اِذَا مَرُّوۡا بِاللَّغۡوِ مَرُّوۡا كِرَامًا


*Dan orang-orang yang tidak memberikan kesaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka berlalu dengan menjaga kehormatan dirinya* (QS. Al Furqan Ayat : 72)


Dalam ayat tersebut di atas, Allah SWT menjanjikan bagi orang yang tidak memberikan kesaksian palsu dengan martabat yang tinggi di surga. Sedangkan, apabila seorang muslim mengucapkan selamat natal berarti dia telah memberikan kesaksian palsu dan membenarkan keyakinan saudaranya yang beragama Nasrani tentang hari Natal (kelahiran Yesus Kristus). Konsekuensinya adalah dia tidak akan mendapatkan martabat yang tinggi di surga. Dengan demikian, *_mengucapkan selamat natal kepada Saudaranya yang beragama  Kristen tidak diperkenankan_*


Selain itu, dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘Anhuma Rasulullah SAW  bersabda : 


من تشبه بقوم فهو منهم


*Orang yang menyerupai suatu kaum, ia bagian dari kaum tersebut*  (HR. Abu Daud, 4031, di hasankan oleh Ibnu Hajar di Fathul Bari, 10/282, di shahihkan oleh Ahmad Syakir di ‘Umdatut Tafsir, 1/152).


Di dalam hadits tersebut, Rasulullah SAW mewanti-wanti kepada semua umat Islam terhadap perbuatan *_tasyabbuh_*  terhadap saudara kita yang  Non-Muslim. Dalam kaidah Bahasa Arab (tepatnya adalah ilmu Shorof), kata tasyabbuh berasal dari wazan Tafa’ul, yang bermakna muthawa’ah (menurut), takalluf (memaksa), dan juga tadarruj (bertahap atau parsial) dalam melakukan suatu perbuatan. Sehingga, dari wazan ini kata tasyabbuh memiliki faidah perbuatan yang dilakukan sedikit demi sedikit, yang awalnya barangkali ia merasa terpaksa/ikut-ikutan dengan perbuatan tersebut sampai kemudian ia menurut dan terbiasa mengerjakannya.


Dengan kata lain, siapa saja menyerupai suatu kaum maka ia lama kelamaan akan tunduk kepada mereka. Oleh sebab itu, hendaknya seorang muslim tidak bermudah-mudahan dalam melakukan perbuatan yang menyerupai saudara kita yang  Non-Muslim, sebab ia merupakan pintu menuju ketundukan kepada mereka. Sehingga, sikap tegas dengan kaidah saddud dzari’ah (menutup pintu keburukan) merupakan suatu kaidah yang tepat dalam kasus ini agar akidah kita tidak tergoyahkan akibat ikut-ikutan mengucapkan selamat Natal sebagaimana yang dilakukan oleh saudara kita yang beragama  Nasrani.


Dengan demikian, umat Islam yang mengucapkan selamat Natal kepada Saudaranya yang beragama  Nasrani berarti *_telah melakukan tasyabbuh sekaligus memberikan kesaksian palsu dan membenarkan keyakinan Saudara kita yang beragama kristen  tentang kebenaran peristiwa natal. Sehingga, kasus ini masuk juga ke dalam ranah akidah yang mengkompromikan antara tauhid dengan syirik.  Atas dasar pertimbangan inilah hukum ucapan tersebut diharamkan secara tegas_*


Ulama kontemporer yang mendukung pendapat ini diantaranya :  *Ibn Baz, Ibnu Utsaimin, Buya Hamka (Abdul Malik Karim Amrullah), Buya Yahya (Habib Yahya Zainul Ma’arif), Ibrahim bin Ja’far, Ja’far At-Thalhawi, Khalid Basalamah, Abdul Somad, Adi Hidayat, dan sebagainya*.


*_D. Kesimpulan :_*


*1. Terdapat Perbedaan Pendapat (Boleh & Tidak Boleh) :*


Dari uraian  tersebut di atas,  dapat disimpulkan bahwa *_para ulama kontemporer berbeda pendapat tentang hukum ucapan selamat Natal_*. Ada yang mengharamkan, ada pula yang membolehkan. Maka, perbedaan semacam ini hendaknya tidak boleh menjadikan internal umat Islam di Indonesia semakin terpecah hanya diakibatkan oleh perbedaan pemilihan sikap dalam kasus ini.


*2. Pendapat Membolehkan :*


Apabila kita memilih sikap untuk membolehkannya,  pastikan bahwa pembolehan tersebut demi menjaga kedamaian dan kerukunan antar umat beragama, dengan tetap menjaga akidah kita sebagai seorang Muslim. Jangan sampai karena ada saudara kita yang mengambil sikap mengharamkannya, kita serta merta langsung menjustifikasi ia sebagai orang yang intoleransi.


*3. Pendapat Tidak Membolehkan :*


Apabila kita memilih sikap untuk mengharamkannya, pastikan bahwa pengharaman tersebut merupakan bentuk ghirah kita dalam menjaga prinsip akidah umat Islam yang tegas namun tetap menjaga nilai-nilai toleransi antar umat beragama dengan bentuk yang berbeda. Jangan sampai karena ada saudara kita yang mengambil sikap membolehkannya, kita bermudah-mudahan dalam menjustifikasi ia sebagai orang kafir.


*4. Persatuan Lebih Utama :*


Sikap apapun yang dipilih, mari senantiasa kita menjaga persatuan umat  diantara perbedaan yang ada. Pada akhirnya nanti kita akan mempertanggung jawabkan di hadapan Allah SWT pada yaumul hisab (hari kiamat).


*_E. Sikap Saya :_*


Saya lebih memilih sikap tidak memperkenankan mengucapkan ucapan selamat natal kepada Saudara kita yang beragama Nasrani.  Namun tetap menghormati para ulama yang membolehkannya serta *_tetap nenghornati Saudara-saudara kita yang beragama Nasrani dalam bentuk "SELAIN UCAPAN SELAMAT NATAL_*.  Sikap tersebut saya pilih berlandaskan *_kaidah saddud dzari’ah_*  terhadap madharat yang akan terjadi apabila memilih sikap membolehkannya. Sebab dalam syariat Islam ada *_kaidah Dar’u al-Mafasid Muqoddamun ‘ala Jalbi al-Mashalih_*  (Menolak mudharat lebih diprioritaskan dari pada mengambil manfaat). Madharat dari pembolehan pengucapan selamat Natal ini adalah *_adanya kompromi antara tauhid dengan syirik serta kesaksian palsu dan pembenaran keyakinan saudara kita yang beragama  Nasrani tentang peristiwa Natal_*. 


Kaum muslimin di Indonesia tidak mengucapkannya pun, tidak akan terganggu dikarenakan sikap statis tersebut. Sebab umat Islam masih akan tetap berbuat baik dan mampu bertoleransi kepada mereka walau dalam aspek yang lain.


Yang paling utama adalah *_Kita Bangsa Indonesia Harus Tetap Bersatu Dan Saling Bahu Membahu Membangun Negeri Ini Menjadi Negeri Yang BALDZATUN TOYYIBATUN WAROBBUN GHOFUUR, AAMIIN YRA_*

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS