Ticker

6/recent/ticker-posts

Malam Barapi di Rumah Nun

 


Oleh : Putri Rahayu Rahman 

(Mahasiswa Sastra Minangkabau, Universitas Andalas 

 

 

“Mengapa tidak melapor ke Pak RT saja, Lam?” Alif teman Lam yang bertanya sembari menyeruput kopi hitam miliknya.

“Sudah, aku sudah melapor ke Pak RT, katanya akan dibicarakan dengan kepala jorong, dan kepala desa setempat. Untuk menangani kasus ini perlu persiapan yang matang dan juga harus mengikuti protokol kesehatan untuk menjemput Nun dan keluarganya”, ujarnya sembari menghisap sebatang rokok yang dijepit di sela-sela jari telunjuk dan jari tengah di tangan kanannya.

Belakangan ini, masyarakat dibuat repot dengan kondisi desa yang semakin rawan. Kasus bertambahnya positif covid 19 semakin meradang di desa ini. Karena Nun yang baru datang dari Jawa, dan terinfeksi virus covid 19, belum juga dijemput petugas kesehatan dari kota.

“Sampai kapan kita harus menunggu Lam? Masyarakat sudah sangat kawatir dengan semakin bertambahnya kasus positf di desa ini. Jika ia dibiarkan berkeliaran, ia bisa menularkan virus ini ke masyarakat yang lain Lam. Bahaya nanti yang ada desa kita bisa-bisa menjadi zona merah kan ngeri”, ujar Alif sambil menggelengkan kepalanya kekiri dan kekanan membayangan kata-katanya jika menjadi kenyataan.

“Kau pahamlah, Lif, kalau kita gegabah menangani kasus ini dengan tidak menghiraukan protokol kesehatan yang ada bahaya. Bayangkan kalau kita ramai-ramai kerumahnya yang ada suasana akan menjadi tegang. Sudah kita tunggu saja kelanjutan info dari Pak RT, lagian kan pemerintah sudah menghimbau untuk melakukan lockdown, Pak RT juga sudah mewanti-wanti kita untuk tetap dirumah”

“Jadi apa yang harus kita lakukan Lam?” Alif bertanya sembari menggaruk-garuk tangannya yang bentol-bentol akibat digigit nyamuk.

“Untuk saat ini kita harus taat dulu pada aturan pemerintah, sebelum Nun dan keluarganya dijemput. Yasudah, aku pulang dulu, Lif, niatku kesini cuma beli rokok di warungmu, malah keasikan ngobrol sampai-sampai sudah sore begini, kasian nanti istriku terlalu lama menunggu”, ujarnya sembari mengantongi rokok dan bergegas pulang.

* * *

Saat ikamah ashar baru saja selesai dikumandangkan di masjid kampung. Satu mobil ambulan terdengar meraung-raung menuju rumah Nun. Alif yang berada di barisan belakang, menepuk pundak Lam. “Sepertinya laporanmu telah ditindaklanjuti Pak RT, Lif”

Lam mengangguk, dan memberi tanda pada Alif untuk segera mengikuti takbir imam.

Di luar, di rumah Nun, telah banyak warga yang berkumpul untuk melihat, menggosipi, dan memberi iba agak sedikit. Meski petugas kesehatan telah memberi pagar pembatas, dan arahan pada warga agar tidak mendekat, namun kerumunan tetap tumpah ruah, bahkan tak peduli dengan nasihat petugas kesehatan.

Nun beserta keluarganya diarak ke mobil ambulans oleh petugas. Hanya Nun yang tegar menerima itu. Ibu-bapaknya terlihat menangis, meraung, dan memecah keheningan petang. Bahkan adiknya meronta-ronta, minta dilepaskan. Lantaran itu, terpaksa petugas mengangkutnya paksa.

* * *

“Sudah sebulan berlalu, bagaimana kondisi keluarga Nun, ya Lam? Sudah membaik atau bagaimana”, ujar Alif sambil menatap langit yang cerah di warung kopi miliknya.

“Entah Lif, aku juga tidak tahu. Kita doakan saja semoga cepat sembuh dan bisa pulang lagi ke rumah. Kasian juga jika harus berlama-lama di rumah sakit Lif”

Disela-sela perbincangan mereka. Sayangnya, dua sahabat karib ini tak mengetahui, bahwa keluarga Nun telah diizinkan pulang siang ini. Karena keluarga Nun telah dinyatakan sembuh dari virus Korona setelah satu bulan lamanya mendekam di rumah sakit.

Anehnya, hanya mereka berdua yang belum mengetahui hal ini. Padahal banyak dari masyarakat sudah diberi tahu oleh Pak RT, bahwa Nun dan keluarganya akan pulang siang ini. Hal itu terlihat dari antusiasme masyarakat menyambut kepulangan keluarga Nun. Karena itulah, mereka berbondong-bondong menuju rumah Nun dengan membawa karton yang bertuliskan semangat, kalian hebat, terimakasih telah kembali, dan masih banyak lagi kata-kata yang tidak terbaca dikarton.

Ketika mobil ambulan kembali melewati depan rumah Alif, wajah-wajah panik kembali tergambar di permukaan kopi yang masih menyembulkan kepulan-kepulan asap.

“Wah gawat ada apa lagi ini Lam, siapa lagi yang terpapar virus korona, padahal kasus nya sudah mulai menurun, sekarang ada lagi yang kena, pasti bakal naik lagi ini kasus nya”, ujar Alif dengan mata melotot menatap mobil ambulan yang baru saja lewat.

“Wah iya Lif, tapi kenapa sirine mobil ambulan tidak dibunyikan ya Lif? Mari kita susul saja”, ujar Lam yang gelagapan mencari sendal swallow miliknya dan menghempas pisang gorengnya yang baru dimakan sedikit ke piring plastik.

Alif dan Lam kemudian bergegas mengikuti mobil ambulan yang baru saja lewat. Tak disangkanya teryata mobil itu berhenti didepan rumah Nun, dilihatnya sebelah kiri dan kanan yang dipenuhi riuh kebahagiaan masyarakat yang menyambut kepulangan keluarga Nun. Rasa penasaran yang ada di hati Lam dan Alif berubah menjadi haru bahagia. Akhirnya keluarga Nun berhasil sembuh dari virus korona, setelah satu bulan berjuang di ranjang rumah sakit, pikir mereka berdua.

“Lihat itu Lam, tetangga kita itu sudah sembuh!” serunya sambil mengarahkan jari telunjuknya kepada keluarga Nun yang baru turun dari mobil. Alif penuh kegirangan menyaksikan kepulangan keluarga Nun. Lam hanya bisa terdiam, mematung dalam tengah haru kebahagiaan. Ia masih tak menyangka jika tetangganya telah kembali pulang dari rumah sakit.

* * *

Teriakan minta tolong pada subuh buta, membuat warga terkejut bukan kepalang. Saat warga bangun dan melihat asap membubung tinggi di arah rumah Nun, mereka pun berkejaran menuju ke sana. Ada yang masih dengan pakaian tidur, ada yang telah dengan pakaian lengkap untuk sembayang. Alif dan Lam yang baru terjaga berlarian tanpa memakai sandal.

Bedug berdentang tiga kali pertanda marabahaya. Pak RT bersorak di toa masjid memberitau bahwa rumah Nun kebakaran. Sedangkan Lam, Alif, dan masyarakat lainnya yang telah lebih dahulu terjaga, tengah berjibaku memadamkan api yang begitu besar.

Ember demi ember yang berisi air dibawa, dengan langkah tergopoh-gopoh. Hampir semua badan warga basah oleh air yang bercampur dengan keringat. Alif dan Lam tak menghiraukan lagi kaki, mereka yang tadi tak sempat diberi alas. Dalam dingin yang mencekik kerongkongan, tidak ada yang akan menyangka malam ini menjadi malam penuh api.

Berselang lima belas menit, dalam dingin yang mencekam, sayup-sayup sirine terdengar dari kejauhan, pemadam kebakaran yang ditunggu pun tiba dilokasi. Diisinya selang-selang dengan air yang keluar dari tangki mobil. Dari ujung selang menyembur air keluar begitu kencangnya. Kepanikan masih menghiasi malam–malam ini, masyarakat pontang panting lari kesana-kemari mengambil air.

Teriakan-teriakan minta tolong terus saja bersahut-sahut dari dalam rumah. Warga desa masih berusaha memadamkan api. Namun naas, ketika api telah berhasil mereda, tubuh Nun dan keluarganya sudah menyatu dengan debu.

Alif dan Lam diam mematung. Ember yang  mereka pegang terjatuh. Tangan mereka begitu lemas. Tenaga yang tadi sempat membongkag, seakan mencuat keluar dari dalam tubuhnya, ketika mereka melihat segalanya terjadi didepan matanya begitu saja.

Tanpa disadari, mata mereka berbinar-binar, mengenang bahagia yang sempat hinggap sementara, tatkala mendapat kabar Nun telah pulang dari rumah sakit.

Kini, api telah sepenuhnya padam, tetapi asap masih membubung tebal. Tak ada satupun keluarga Nun yang selamat dari kebakaran ini. Takdir memang susah ditebak. Nun dan keluarganya boleh saja selamat dari virus Korona, namun tidak dengan api yang menyelimuti rumahnya.

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS