Ticker

6/recent/ticker-posts

Tradisi Salawat Dulang di Minangkabau



Oleht

INDRI YANTI IMELDA

Sastra Minangkabau

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas


Minangkabau adalah salah satu dari etnis yang ada di Indonesia dan saat ini masih berkembang. Banyak hal di minangkabau yang sangat jarang untuk di ketahui oleh publik, bahkan sudah banyak dari itu yang mulai hilang dan telah dilupakan karena tidak banyak generasi yang peduli akan kelangsungan dari sebuah tradisi tersebut, sehingga membuat sebuah tradisi itu mulai mati. hal ini membuat kita harus menyadari bahwa bagaimana sejarah tradisi ini harus di lestarikan dan di kaji lebih dalam lagi, seperti salawat dulang yang sekarang eksistensi nya sudah tak seperti dulu lagi, walau masih ada yang meneruskan salawat dulang ini namun itu sudah tidak sama dengan yang dulunya karena telah terpengaruh oleh zaman. Hal ini yang menarik untuk di cari tahu bagaimana salawat dulang dalam aspek penyebaran islam karena lantunan yang di keluarkan oleh pendendang kebanyakan adalah lafaz zikir.

Salawat dulang berasal dari dua kata yaitu salawat dan dulang menurut kbbi sendiri salawat berasal dari kata dasar selawat yaitu sebuah permohonan atau doa yang kita sampaikan kepada tuhan, sedangkan dulang adalah baki yang memiliki bibis di tepiannya. Di minangkabau sendiri dulang biasanya terbuat dari tembaga. Dari situ dapat di tarik satu garis lurus bahwa salawat dulang adalah sebuah doa atau permohonan yang dilakukan dengan iringan dari dulang.

Salawat dulang atau salawat talam adalah salah satu sastra lisan Minangkabau yang bertema Islam berupa pertunjukkan dua orang membacakan hafalan teks diiringi tabuhan dulang, nampan kuningan berdiameter 65 cm. Salawat Talam adalah sebutan lain dari Salawat Dulang. Perbedaan penamaan itu hanya disebabkan oleh perbedaan dialek; bahwa dalam dialek Payakumbuh dan Pariaman, kata dulang disebut dengan talam. Di Payakumbuh ini, khususnya di daerah Koto Panjang, ada tukang salawat yang terdiri dari tiga orang tiap satu klub. Di Pariaman, Klub Salawat Talam dapat dijumpai di Toboh dan Kampung Dalam.

Berdasarkan informasi dari mulut ke mulut, sejarah salawat dulang ini berawal dari banyaknya ahli agama Islam Minang yang belajar agama ke Aceh, di antaranya Syekh Burhanuddin. Ia kemudian kembali ke Minang dan menetap di Pariaman. Dari daerah itu, ajaran Islam menyebar ke seluruh wilayah MInangkabau. Saat berdakwah itu, Syekh Burhanuddin teringat pada kesenian Aceh yang fungsinya menghibur sekaligus menyampaikan dakwah, yaitu rebana. Syekh Burhanuddin pun kemudian mengambil talam atau dulang yang biasa digunakan untuk makan dan menabuhnya sambil mendendangkan syair-syair dakwah. Informasi lain menyebutkan bahwa salawat dulang ini berasal dari Tanah Datar. Di sini salawat dulang dikembangkan oleh kelompok Tarekat Syatariah sebagai salah satu cara untuk mendiskusikan pelajaran yang mereka terima. Oleh karena itu, pesannya cenderung berisi ajaran tasawuf.

Dalam pertunjukkan salawat dulang, dua pendendang duduk bersisian dan menabuh dulang bersamaan. Keduanya dapat berdendang bersamaan atau saling menyambung larik dalam syair. Pendendang umumnya laki-laki. Namun, kini terdapat pula pendendang-pendendang perempuan meskipun belum begitu berterima di masyarakat Minangkabau sendiri. Penampilan salawat dulang berupa tanya jawab, saling serang, dan saling mempertahankan diri sehingga pendendang kadang dijuluki menurut nama-nama senjata, seperti "peluru kendali" dan "gas beracun" dan hanya bisa dilaksanakan bila pendendang berjumlah setidaknya dua orang.[3] Pembacaan hafalan teks berdurasi antara 25 hingga 40 menit, biasanya berisi tafsiran dari ayat Alquran atau hadits yang telah ditulis sebelumnya. Sesi pembacaan satu teks ini disebut salabuahan (disebut juga satanggak atau satunggak).

Pertunjukkan salawat dulang dipertunjukkan pada hari-hari besar umat muslim seperti Maulid Nabi, Idul Fitri, dan Idul Adha atau pada upacara bernuansa agama seperti ketika menaiki rumah baru dan khatam al-Quran. Tempat penyelenggaraan salawat dulang biasanya merupakan tempat yang dipandang terhormat menurut nilai masyarakat Minangkabau, seperti surau atau masjid, atau tempat untuk tamu yang dihormati bila diadakan di rumah penduduk (terletak di bagian kiri dari pintu masuk utama).

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS