Ticker

6/recent/ticker-posts

Sumatera Tenggelam, Di Mana Kapabilitas Responsif Pemerintah?

Penulis: Achmed izdhihar yusr  mahasiswa Ilmu Politik universitas Andalas Padang 


Banjir yang kembali melanda berbagai daerah di Sumatera seolah menjadi pengingat bahwa bencana ini bukan lagi sesuatu yang mengejutkan. 

Setiap musim hujan tiba, masyarakat harus kembali bersiap menghadapi luapan sungai, kiriman air dari hulu, longsor, dan kerusakan yang muncul setelahnya. 

Meski kejadian ini berulang dari tahun ke tahun, respons pemerintah sering kali terasa terlambat, tidak merata, dan kurang menyentuh akar masalah. 

Inilah yang membuat banyak orang mempertanyakan kapabilitas responsif pemerintah: apakah pemerintah benar-benar sigap merespons atau justru dibiarkan menunggu sampai keadaan memburuk?

Ketika banjir besar terjadi di beberapa wilayah seperti Padang, Padang Panjang, Agam, hingga Lubuk Minturun, masyarakat terlihat bergerak lebih cepat daripada pemerintah. 

Warga saling membantu mengevakuasi keluarga, memindahkan barang, dan mengamankan hewan ternak. 

Di sisi lain, pemerintah daerah sering kali baru datang setelah banjir sudah cukup parah. Kondisi seperti ini membuat masyarakat merasa bahwa kehadiran pemerintah hanya muncul setelah dampak bencana meluas, bukan sejak awal ketika pencegahan atau langkah cepat sangat dibutuhkan.

Padahal, dalam konsep kapabilitas responsif, pemerintah dituntut untuk cepat membaca situasi, mengetahui kebutuhan masyarakat secara langsung, dan merespons dengan langkah konkret. Misalnya, ketika curah hujan tinggi mulai terjadi tiga hari berturut-turut, pemerintah sebenarnya bisa memperkuat tim siaga, mengecek daerah irigasi yang rawan meluap, memastikan aliran sungai tidak tersumbat sampah, serta memberikan peringatan dini kepada masyarakat. Namun kenyataan di lapangan sering jauh dari itu. Masyarakat baru tahu kondisi sungai meluap setelah air sudah memasuki rumah mereka.

Di Sumatera Barat, sejumlah daerah yang terkena banjir justru memiliki catatan lama mengenai rawan bencana, mulai dari buruknya drainase, aliran irigasi yang tidak pernah dibenahi, hingga alih fungsi lahan yang tidak terkendali. Ironisnya, masalah ini tetap dibiarkan tanpa penanganan serius. Masyarakat yang tinggal dekat sungai sudah terbiasa dengan perasaan was-was setiap kali hujan deras turun. Mereka tahu bahwa banjir bukan soal apakah terjadi, tetapi kapan terjadi. Situasi ini menunjukkan bahwa kapabilitas responsif pemerintah belum berjalan efektif dan masih jauh dari harapan.

Hal yang membuat masyarakat semakin kecewa adalah lambatnya bantuan setelah banjir berlangsung. Sebagian warga mengeluhkan bahwa bantuan makanan, selimut, atau tempat pengungsian datang tidak merata. Tidak jarang ada warga yang menunggu berjam-jam atau bahkan berhari-hari sebelum kebutuhan dasar mereka terpenuhi. Di saat seperti ini, kehadiran pemerintah seharusnya menjadi harapan pertama, tetapi justru masyarakat yang harus bergerak sendiri sambil menunggu respons resmi. Kondisi ini menggambarkan adanya jarak yang cukup besar antara kebutuhan masyarakat dengan cepatnya respons pemerintah.

Dalam konteks kapabilitas responsif, kecepatan dan ketepatan bantuan sangat menentukan. Pemerintah tidak hanya diminta turun tangan, tetapi harus memastikan bahwa setiap bantuan sampai kepada mereka yang benar-benar membutuhkan. Sayangnya, banyak laporan bahwa bantuan justru menumpuk di satu titik sementara titik lain kekurangan. Masalah koordinasi seperti ini seharusnya bisa dihindari jika pemerintah memiliki sistem respons yang jelas, terlatih, dan terstruktur.

Namun, bukan berarti pemerintah tidak melakukan apa-apa. Dalam beberapa kasus, tim BPBD, TNI, dan relawan tetap bekerja keras mengevakuasi warga dan membuka akses jalan. Tetapi masalahnya, kerja keras itu belum cukup. Yang tidak kalah penting adalah kemampuan membaca situasi sebelum bencana membesar. Pemerintah perlu memastikan bahwa daerah-daerah rawan benar-benar diperhatikan sejak awal, bukan hanya saat media mulai meliput kondisi terparahnya.

Banyak masyarakat menilai bahwa masalah banjir di Sumatera sebenarnya bukan sekadar perkara cuaca ekstrem, tetapi juga lemahnya perencanaan dan minimnya kesigapan. Pemerintah seharusnya dapat memetakan titik kerawanan, memperbaiki tanggul, membersihkan aliran sungai secara rutin, serta membangun sistem peringatan dini yang benar-benar efektif dan dipahami masyarakat. Semua langkah ini adalah bagian dari kapabilitas responsif yang seharusnya menjadi prioritas, bukan justru hanya wacana yang terdengar setiap setelah bencana datang.

Jika pemerintah mampu meningkatkan kemampuan responsifnya, dampak banjir bisa ditekan lebih kecil. 

Warga tidak perlu lagi kehilangan harta benda, anak-anak tidak harus diliburkan akibat sekolah terendam, dan aktivitas ekonomi tidak selalu lumpuh setiap musim hujan. Lebih dari itu, masyarakat akan merasa aman karena tahu bahwa pemerintah benar-benar hadir dan peduli terhadap keselamatan mereka.

Pada akhirnya, banjir yang terus berulang di Sumatera bukan hanya soal derasnya hujan atau meluapnya sungai. 

Bencana ini menjadi cermin bagaimana pemerintah menjalankan kapabilitas responsifnya. 

Selama pemerintah masih lambat membaca situasi, lambat turun ke lapangan, dan lambat menyediakan bantuan, maka masyarakat akan terus merasakan dampaknya tahun demi tahun. 

Sudah saatnya pemerintah memperbaiki sistem respons bencana secara menyeluruh agar kejadian serupa tidak lagi menjadi rutinitas yang harus diterima begitu saja. 

Masyarakat berhak mendapatkan perlindungan yang cepat, tepat, dan menyeluruh karena itulah esensi dari kapabilitas responsif yang seharusnya dimiliki oleh pemerintah.


Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS