Oleh: Muhamad Afif Mahasiswa Departemen Biologi Universitas Andalas
Sumatera Barat selalu dikenang karena pemandangan yang indah dan menarik. Gunung Bukit Barisan membentuk batas hijau yang tinggi, lembahnya berproduktivitas tinggi, sungainya mengalir deras, serta pesisirnya menawarkan pemandangan yang memukau. Namun di balik keindahan itu, ada ancaman yang terus datang yaitu banjir. Banjir kini bukan lagi musibah musiman yang lewat begitu saja, melainkan peringatan tahunan bahwa kita mungkin telah melakukan kesalahan terhadap lingkungan. Setiap hujan deras, cerita yang muncul selalu sama yaitu sungai meluap, permukiman tergenang, jalan terputus, hasil pertanian gagal, serta trauma sosial yang berkepanjangan. Ranah Minang yang telah hidup selama ratusan tahun bersama alam, kini terlihat terjebak oleh airnya sendiri.
Secara geografis dan iklim, Sumatera Barat berada di wilayah yang memiliki curah hujan tinggi. Bentuk dataran yang bergunung-gunung membuat air cepat mengalir dari sumber ke hilir. Ketika fenomena cuaca seperti siklon tropis atau kondisi iklim yang tidak normal terjadi, intensitas hujan bisa naik secara tajam dalam waktu singkat. Pada kondisi biasa, hutan yang padat, tanah yang stabil, serta daerah aliran sungai (DAS) yang sehat bekerja sebagai penghalang alami. Akar pohon mengikat tanah, daun-daun yang jatuh menyerap air, dan tanah yang sehat bekerja seperti spons raksasa yang menyerap limpasan hujan lalu melepaskannya secara perlahan. Namun, kondisi seperti itu semakin sulit ditemukan. Banjir yang terjadi sekarang lebih sering disebabkan oleh kerusakan ekologis ketimbang hanya faktor alam.
Dalam beberapa dekade terakhir, tutupan hutan di Sumatera Barat berkurang dengan cepat dan sangat memprihatinkan. Wilayah yang dulu penuh dengan pepohonan hijau, kini banyak yang berubah menjadi lahan terbuka. Penyebabnya banyak, seperti penebangan liar, pengembangan kebun dan perkebunan sawit, pertambangan yang tidak resmi, serta pembangunan yang tidak memperhatikan dampak lingkungan. Ketika hutan lenyap, maka perlindungan alami terhadap air juga ikut hilang. Tanah yang tidak didukung oleh tumbuhan akan mudah tererosi, menyebabkan sedimen masuk ke sungai, menyempitkan alur, dan menurunkan kemampuan sungai menampung air. Di bagian atas sungai, air mengalir dengan cepat seperti peluru, tanpa hambatan. Di bagian bawah, sungai yang sempit dan dangkal tidak lagi mampu menampung air, sehingga air meluap ke desa, kota, dan pusat kegiatan warga.
Situasi DAS (Daerah Aliran Sungai) juga sangat terganggu. Banyak DAS utama di Sumatera Barat mengalami perubahan penggunaan lahan di daerah hulunya. Contohnya DAS Air Dingin di Padang Pariaman, DAS Batang Kuranji, dan DAS Masang yang melewati Agam, Pasaman, serta sekitarnya, adalah contoh sistem sungai yang rentan terhadap kerusakan. Saat daerah hulu DAS berubah menjadi kebun atau area tambang, cara air mengalir juga berubah. Air yang seharusnya diserap oleh tanah dan tumbuhan langsung mengalir ke sungai. Pada saat yang sama, sedimentasi dari erosi lereng membuat alur sungai jadi dangkal dan air mengalir lebih cepat. Karena itu, banjir bandang yang dulu jarang terjadi, kini semakin sering terjadi.
Jika penyebab banjir kita hari ini bersumber dari kerusakan ekologis, maka solusinya pun harus dimulai dari memulihkan ekologi. Konservasi bukan lagi jargon akademis atau sekadar tema diskusi di ruang seminar, melainkan strategi penyelamatan hidup. Rehabilitasi hutan dan reboisasi di kawasan hulu adalah langkah paling mendesak. Menanam pohon bukan hanya memperbanyak tegakan hijau, tetapi mengembalikan fungsi hidrologis lanskap. Pohon berperan sebagai pompa air alami, penahan tanah, dan peneduh mikroklimat. Reboisasi yang dirancang ba ikdengan memilih spesies lokal, menyesuaikan struktur strata, dan mempertimbangkan keberlanjutan perawatannya akan memberikan dampak jangka panjang yang nyata. Ini bukan pekerjaan instan, tetapi pekerjaan yang efeknya akan dinikmati lintas generasi.
Selain memulihkan hutan, kita juga perlu memulihkan hubungan masyarakat dengan hutan itu sendiri. Di sinilah perhutanan sosial memainkan peran strategis. Model ini memberi ruang bagi warga sekitar hutan untuk ikut mengelola, memanfaatkan, dan menjaga kawasan mereka secara legal dan terencana. Ketika masyarakat menjadi subjek pengelola, bukan sekadar penonton, praktik perusakan seperti pembalakan liar dan tambang ilegal dapat diawasi lebih intensif. Perhutanan sosial juga memberi dampak ekonomi menciptakan lapangan kerja lokal dari skema agroforestri, hasil hutan bukan kayu, ekowisata, hingga usaha konservasi berbasis komunitas. Dengan demikian, menjaga hutan tidak lagi dipandang sebagai larangan, melainkan peluang.
Penataan penggunaan lahan juga harus didasari kajian ekologis yang ketat. Wilayah di sekitar DAS kritis jangan lagi menjadi ruang untuk aktivitas yang merusak. Area hulu yang menjadi zona lindung air harus diperkuat, baik melalui kebijakan maupun pengawasan langsung. Pembangunan infrastruktur, terutama di kota, harus mengadopsi pendekatan yang ramah air. Kota harus memiliki ruang resapan seperti hutan kota, sumur biopori, drainase berpori, hingga sistem pengendalian limpasan berbasis lanskap. Pengetahuan lokal Minangkabau tentang “alam takambang jadi guru” seharusnya dijadikan dasar dalam merancang kebijakan modern yaitu dengan mempelajari cara alam bekerja sebagai langkah paling logis untuk menata ulang kegiatan manusia.
Solusi fisik seperti normalisasi sungai, tanggul, dan drainase tetap diperlukan, tetapi bukan solusi utama. Tanpa hutan dan DAS yang sehat, infrastruktur hanya bisa bertahan sementara, dan pada akhirnya akan kalah dengan volume air. Konservasi harus dilakukan bersamaan dengan mitigasi fisik. Pendidikan dan kesiapsiagaan masyarakat juga perlu diperkuat seperti literasi bencana, pelatihan tanggap darurat, simulasi evakuasi, hingga sistem peringatan dini berbasis sensor atau pengawasan manual oleh warga lokal, harus menjadi budaya baru. Ketika masyarakat memahami tanda-tanda alam serta memiliki prosedur respons yang jelas, risiko korban bisa ditekan.
Banjir di Sumatera Barat adalah cerita tentang hubungan yang terganggu antara manusia, hutan, tanah, dan sungai. Ini menjadi pelajaran bahwa alam yang rusak akan menghentikan perlindungan terhadap kita.
Namun banjir juga memberikan kesempatan untuk berubah. Memulihkan hutan, memperkuat perhutanan sosial, menata kembali penggunaan lahan, serta membangun budaya siaga bencana bukan hanya tindakan teknis, tetapi bentuk cinta terbesar kepada kampung halaman.
Konservasi bukan sekadar pembicaraan, ia adalah benteng terakhir yang harus kita bangun kembali.
Menjaga Ranah Minang dari banjir berarti menjaga masa depannya agar hujan kembali menjadi berkah, bukan bencana.

































0 Comments