Perkembangan teknologi digital telah mengubah hampir seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk cara belajar, bekerja, dan berkomunikasi.
Internet, media sosial, dan perangkat pintar kini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, terutama bagi generasi muda.
Namun, di balik kemudahan tersebut, muncul tantangan besar yang sering kali diabaikan, yaitu rendahnya literasi digital.
Banyak orang mengira bahwa mampu menggunakan gawai atau media sosial sudah cukup untuk disebut melek digital. Padahal, literasi digital jauh lebih luas dan kompleks daripada sekadar keterampilan teknis.
Secara fakta, Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah pengguna internet terbesar di dunia.
Data menunjukkan bahwa mayoritas pengguna internet berasal dari kelompok usia pelajar dan remaja.
Kondisi ini seharusnya menjadi modal besar untuk kemajuan pendidikan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Sayangnya, tingginya jumlah pengguna internet tidak selalu berbanding lurus dengan kualitas pemanfaatannya.
Penyebaran hoaks, ujaran kebencian, penipuan daring, dan kecanduan media sosial menjadi bukti nyata bahwa literasi digital masih menjadi pekerjaan rumah besar.
Literasi digital mencakup kemampuan untuk mengakses,memahai, mengevaluasi, dan memproduksi informasi secara kritis dan bertanggung jawab.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak pengguna internet yang langsung mempercayai informasi tanpa melakukan verifikasi.
Hal ini terlihat dari cepatnya penyebaran berita palsu, terutama di media sosial dan aplikasi pesan instan.
Menurut pendapat penulis, kondisi ini sangat berbahaya karena dapat memengaruhi cara berpikir masyarakat, memicu konflik, dan menurunkan kualitas demokrasi.
Di lingkungan pendidikan, rendahnya literasi digital juga membawa dampak serius.
Banyak pelajar menggunakan internet hanya sebagai alat menyalin informasi tanpa memahami isi dan maknanya. Praktik plagiarisme semakin marak karena kemudahan mengakses berbagai sumber daring.
Padahal, teknologi seharusnya dimanfaatkan untuk mendorong kreativitas, pemikiran
kritis, dan inovasi. Jika literasi digital tidak ditanamkan sejak dini, generasi muda akan tumbuh
menjadi pengguna teknologi yang pasif dan mudah terpengaruh.
Fakta lainnya menunjukkan bahwa media sosial sering kali membentuk opini publik secara cepat dan masif.
Algoritma platform digital cenderung menampilkan konten yang sesuai dengan minat pengguna, sehingga menciptakan ruang gema (echo chamber).
Akibatnya, pengguna hanya terpapar pada sudut pandang yang sejalan dengan keyakinannya sendiri.
Menurut penulis, tanpa literasi digital yang baik, kondisi ini dapat mempersempit cara pandang dan mengurangi sikap toleransi terhadap perbedaan pendapat.
Literasi digital juga berkaitan erat dengan etika dan tanggung jawab. Banyak kasus perundungan
siber terjadi karena pengguna tidak memahami batasan dalam berkomunikasi di ruang digital.
Anonimitas di internet sering disalahgunakan untuk menyakiti orang lain tanpa
mempertimbangkan dampak psikologisnya. Fakta ini menunjukkan bahwa literasi digital tidak hanya soal kecakapan berpikir, tetapi juga pembentukan karakter dan empati.
Upaya peningkatan literasi digital harus melibatkan berbagai pihak.
Pemerintah memiliki peran penting dalam merumuskan kebijakan dan menyediakan program edukasi yang berkelanjutan.
Sekolah perlu mengintegrasikan literasi digital ke dalam kurikulum, bukan hanya sebagai materi
tambahan, tetapi sebagai bagian dari proses pembelajaran sehari-hari.
Guru juga harus dibekali pelatihan agar mampu membimbing siswa menggunakan teknologi secara bijak.
Selain itu, keluarga memegang peran yang tidak kalah penting.
Orang tua perlu menjadi contoh dalam penggunaan teknologi yang sehat dan bertanggung jawab.
Fakta menunjukkan bahwa anak- anak cenderung meniru perilaku digital orang dewasa di sekitarnya.
Oleh karena itu, pengawasan dan komunikasi terbuka di dalam keluarga sangat diperlukan untuk membangun kebiasaan digital yang positif.
Menurut penulis, literasi digital adalah kunci untuk memastikan bahwa kemajuan teknologi benar- benar membawa manfaat bagi masyarakat.
Tanpa literasi yang memadai, teknologi justru dapat menjadi sumber masalah baru.
Generasi muda tidak hanya perlu diajarkan cara menggunakan teknologi, tetapi juga cara berpikir kritis, bersikap etis, dan bertanggung jawab di ruang digital.
Sebagai penutup, literasi digital bukanlah pilihan, melainkan kebutuhan.
Di era informasi yang serba cepat, kemampuan menyaring dan memahami informasi menjadi bekal penting untuk menghadapi masa depan.
Dengan literasi digital yang kuat, masyarakat tidak hanya menjadi konsumen informasi, tetapi juga produsen pengetahuan yang cerdas dan beretika

































0 Comments