Ticker

6/recent/ticker-posts

Korupsi Bukan Takdir, Melainkan Matinya Integritas



Oleh Gita Pakpahan Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Andalas Padang 


Di Indonesia, korupsi sering diibaratkan sebagai penyakit yang telah menyebar ke berbagai aspek dari negara. Ia menjangkiti birokrasi, dunia politik, proyek pembangunan, serta sektor layanan publik yang seharusnya paling dekat dengan masyarakat. Banyak yang berpendapat bahwa korupsi telah menjadi “budaya” sebuah pernyataan yang mencerminkan keputusasaan kolektif, seolah-olah korupsi adalah nasib yang harus diterima dalam kehidupan bernegara. Sebenarnya, tidak ada masyarakat yang lahir dengan sifat korup. Yang mati di sini bukanlah moral kolektif, tetapi integritas individu dan sistem yang seharusnya berfungsi dengan baik.

Integritas bukan sekadar kata semboyan. Ia adalah komitmen untuk bersikap jujur, disiplin, konsisten, serta mampu menolak godaan atau tekanan dari kekuasaan. Ketika integritas tenggelam, korupsi akan tumbuh subur. Dalam banyak kasus, pelaku korupsi bukanlah orang-orang yang terpinggirkan atau tidak berpendidikan. Mereka biasanya adalah individu terpelajar, pengemban jabatan, pemegang otoritas, dan orang-orang yang mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Dengan kata lain, yang hancur bukanlah kemampuan, melainkan prinsip dasar. Yang lenyap bukan sekadar kesempatan, tetapi juga kompas moral.

Ironisnya, meskipun berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi, praktik korupsi terus berlangsung oleh orang-orang yang sadar akan risikonya. Banyak dari mereka tidak hanya memahami hukum, tetapi juga terlibat dalam pembuatan kebijakan. Fenomena ini menunjukkan bahwa penyebab korupsi tidak hanya terbatas pada lemahnya sanksi, tetapi lebih mendalam: hilangnya rasa malu dan tanggung jawab kepada publik.

Mengapa integritas bisa “mati”? Salah satu penyebabnya adalah ekosistem politik dan birokrasi yang masih menyediakan banyak celah untuk disalahgunakan. Dalam dunia politik, misalnya, tingginya biaya kampanye sering kali menjadi pemicu untuk pragmatisme. Posisi politik pada akhirnya dipandang sebagai suatu investasi yang perlu dikembalikan melalui keuntungan, proyek, atau akses ke kekuasaan. Ketika posisi diambil dengan cara dibeli, maka hal tersebut bisa berujung pada praktik korupsi. Di dalam birokrasi, budaya senioritas dan patronase juga berkontribusi pada pelumpuhan integritas individu. Pegawai yang ingin jujur sering kali tersisih oleh sistem yang menuntut mereka untuk mengikuti arus. Akibatnya, korupsi bukan lagi sekadar penyimpangan, tetapi menjadi mekanisme untuk bertahan dalam struktur yang tidak sehat.

Akan tetapi, mempersepsikan korupsi sebagai “budaya” adalah bentuk normalisasi yang sangat berbahaya. Budaya adalah sesuatu yang diwariskan, sedangkan korupsi merupakan pilihan. Ia bukan bawaan genetik. Ia bukan nasib yang sudah ditentukan. Oleh karena itu, narasi bahwa korupsi adalah bagian tak terpisahkan dari bangsa harus dihentikan. Narasi tersebut malah mematikan harapan dan mengaburkan tanggung jawab moral. Kita tidak bisa memperbaiki sesuatu yang kita anggap sebagai takdir. Namun, kita dapat memperbaiki sesuatu yang kita anggap sebagai kesalahan.

Dalam pembicaraan internasional, sanksi berat sering kali dianggap sebagai solusi. Negara seperti Korea Utara menerapkan hukuman mati bagi para koruptor, tetapi praktik suap tetap berlangsung di bawah bayang-bayang rezim tersebut. Ini mengajarkan kita bahwa korupsi tidak akan lenyap hanya karena adanya ancaman hukuman yang sangat berat. Tanpa adanya sistem yang transparan, tanpa lembaga yang independen, dan tanpa mekanisme pengawasan yang baik, hukuman sekeras apapun hanya akan menjadi simbol tanpa menjadi solusi nyata. Sebaliknya, negara-negara yang berhasil mengurangi korupsi bukanlah yang menerapkan hukuman paling keras, tetapi yang paling konsisten dalam membangun integritas yang sistemik, mulai dari birokrasi, politik, hingga pendidikan masyarakat.

Indonesia sebenarnya sudah mempunyai dasar untuk menegakkan hukum: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pengadilan untuk kasus korupsi, serta peraturan pidana yang jelas. Namun, hanya dengan penegakan hukum tidak akan cukup. Korupsi bukan semata-mata masalah kriminal, melainkan juga menyangkut mentalitas dan dorongan politik. Tanpa adanya perbaikan dalam struktur kekuasaan, perbaikan institusi, dan komitmen moral secara kolektif, korupsi akan terus mencari peluang. Oleh karena itu, integritas harus dijadikan fokus utama.

Integritas seharusnya menjadi norma, bukan sesuatu yang luar biasa. Ia harus diajarkan dari usia dini, bukan hanya ketika seseorang sudah berada di posisi kekuasaan. Pendidikan anti korupsi perlu menunjukkan bahwa korupsi bukan hanya merugikan negara secara ekonomi, tetapi juga merusak keadilan sosial, menghancurkan kepercayaan masyarakat, dan mengekang masa depan generasi yang akan datang. Di sinilah peran keluarga, lembaga pendidikan, agama, dan media sangat penting: untuk menumbuhkan kesadaran bahwa nilai-nilai seperti kejujuran, tanggung jawab, dan keberanian harus lebih kuat daripada godaan untuk mendapatkan keuntungan secara cepat.

Lebih jauh lagi, masyarakat perlu diberikan kesempatan dan keberanian untuk mengawasi kekuasaan. Demokrasi yang tidak disertai dengan pengawasan masyarakat hanya akan menjadi ajang korupsi politik. Keterbukaan anggaran, transparansi informasi publik, dan partisipasi masyarakat sipil adalah pilar-pilar yang sangat penting. Ketika warga berani untuk bertanya, ketika media berani untuk mengungkap fakta, dan ketika mahasiswa berani untuk memberikan kritik, maka integritas kolektif akan kembali hidup. Korupsi selalu berkembang di tempat yang gelap, sedangkan integritas bersinar di tempat yang terang.

Pada akhirnya, korupsi tidak akan pernah bisa dihilangkan tanpa kebangkitan integritas. Hukum hanya berfungsi sebagai pagar, tetapi integritas adalah fondasi yang kuat. Hukum dapat menahan seseorang, tetapi hanya integritas yang bisa menahan niat seseorang untuk melakukan tindakan curang. Dan itulah yang sedang hilang di negara ini: keberanian untuk berkata tidak, meskipun banyak orang mengatakan ya; keberanian untuk tetap bersih, meskipun lingkungan sekitar menjijikkan; keberanian untuk memilih yang benar, bukan yang memberikan manfaat.

Korupsi bukanlah suatu nasib yang tak terhindarkan. Itu adalah sebuah pilihan. Ketika korupsi terus terjadi, itu berarti integritas sedang mengalami kemunduran. Oleh karena itu, memperbaiki negara ini bukan sekadar tentang mencari hukuman yang paling keras, tetapi tentang menghidupkan kembali sesuatu yang jauh lebih berharga: integritas individu, integritas institusi, dan integritas masa depan bangsa.


Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS