Oleh Zhafira Nabila Irsyah, mahasiswi Departemen Biologi Universitas Andalas
Upaya konservasi di Provinsi Jambi kembali menjadi sorotan public setelah Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi melepasliarkan sejumlah satwa liar ke kawasan Hutan Harapan, Kabupaten Batang Hari. Kegiatan ini dijalankan sebagai bentuk signifikan dalam pemulihan ekologi, terutama setelah meningkatnya kasus penyelamatan satwa dilindungi di wilayah tersebut. Namun, dibalik itu muncul kekhawatiran terhadap ancaman berkurangnya tutupan hutan akibat program perluasan lahan pangan. Kontrasnya dua kondisi ini menunjukkan bahwa konservasi di Jambi menghadapi tantanngan besar yang perlu ditangani dengan serius.
Pelepasliaran yang dilakukan BKSDA Jambi melibatkan berbagai jenis satwa, mulai dari beruang madu, ular, berang-berang, hingga sejumlah burung yang sebelumnya dirawat setelah diselamatkan dari upaya penyelundupan dan berbagai konflik antara manusia dan satwa. Seluruh satwa menjalani pemeriksaan medis dan observasi sebelum dikembalikan ke habitat aslinya. Hutan Harapan dipilih karena masih memiliki tutupan hutan primer dan sekunder yang mendukung kelangsungan hidup satwa tersebut. Kawasan ini juga merupakan salah satu hutan dataran rendah tersisa di Sumatra yang tinggi keanekaragaman hayati dan menjadi habitat terakhir bagi banyak spesies yang terancam punah.
Pelepasliaran satwa liar tidak hanya sebagai simbol keberhasilan rehabilitasi, tetapi juga sebagai bukti bahwa habitat masih menyediakan ruang hidup bagi mereka. Namun, kondisi ini juga menunjukkan bahwa tekanan terhadap satwa liar di Jambi semakin meningkat. Banyak satwa ditemukan dalam kondisi lemah sebab terjerat, terdampak kebakaran hutan, atau masuk ke permukiman warga karena habitat mereka yang semakin menyempit. Misalnya, burung-burung liar yang terus diburu untuk diperdagangkan sebagai hewan peliharaan.
Dalam laporan beberapa organisasi lingkungan, jumlah kasus penyelamatan satwa di Jambi meningkat dalam tiga tahun terakhir. Hal ini menjadi indikator bahwa populasi satwa semakin tertekan dan ruang gerak mereka semakin terbatas. Perburuan, perdagangan satwa ilegal, dan penyempitan habitat menjadi faktor utama yang memicu peningkatan ini. Sementara itu, kebijakan penggunaan lahan yang tak terlalu memperhitungkan aspek lingkungan dapat memperburuk kondisi keanekaragaman hayati di daerah tersebut.
Isu tekini yang menimbulkan kekhawatiran, berasal dari peringatan lembaga konservasi terkait program ketahanan pangan di Jambi. Program dikhawatirkan membuka lahan hutan dalam skala besar apabila tidak dilakukan dengan perencanaan yang matang. Pengalihan fungsi hutan untuk proyek pangan dapat menyebabkan hilangnya habitat satwa liar dan mempercepat laju deforestasi. Jika hutan terus berkurang, maka pelepasliaran satwa yang dilakukan akan menjadi tidak efektif karena habitat yang aman bagi satwa semakin menyempit.
Hutan Harapan, tempat pelepasliaran satwa, merupakan salah satu kawasan yang paling rentan terhadap tekanan lingkungan. Selain menjadi habitat penting, hutan ini juga memiliki fungsi ekologis besar seperti penyimpanan karbon dan pengendalian banjir. Deforestasi di wilayah sekitarnya dapat mengganggu keseimbangan ekosistem dan meningkatkan risiko bencana ekologis. Karena itu, kawasan ini seharusnya menjadi prioritas dalam perlindungan jangka panjang agar dapat mempertahankan fungsi ekologisnya.
Selain ancaman deforestasi, konflik antar manusia dan satwa di Jambi diprediksi meningkat apabila tekanan terhadap hutan terus berlanjut. Ketika satwa kehilangan habitat, mereka cenderung masuk ke kebun atau permukiman warga untuk mencari makan. Akibatnya, bukan hanya satwa yang terancam, tetapi juga keselamatan masyarakat. Kasus seperti beruang memasuki kebun, harimau melintas dekat permukiman, hingga babi hutan merusak tanaman dapat lebih sering terjadi. Situasi ini menunjukkan bahwa konservasi tidak hanya tentang melindungi satwa, tetapi juga berperan penting dalam mengurangi risiko sosial yang berdampak langsung pada kehidupan manusia
Di tengah tantangan tersebut, kolaborasi menjadi kunci utama keberhasilan konservasi di Jambi. Pemerintah, lembaga riset, LSM lingkungan, serta masyarakat lokal harus bekerja sama menjaga hutan dan satwa. Program edukasi lingkungan, patroli mencegah jerat, hingga upaya restorasi hutan merupakan langkah-langkah yang perlu diperluas. Masyarakat adat dan komunitas pedesaan yang hidup di sekitar hutan juga memiliki peran penting sebagai penjaga habitat, terutama karena mereka memiliki pengetahuan lokal dan praktik pengelolaan alam yang berkelanjutan.
Konservasi sejatinya bukan hanya tentang menyelamatkan satwa satu per satu, tetapi memastikan mereka memiliki ruang hidup yang aman untuk berkembang biak dan beradaptasi. Pelepasliaran satwa di Jambi adalah langkah positif, tetapi tidak akan cukup tanpa perlindungan habitat yang kuat dan berkelanjutan. Pemerintah perlu memastikan bahwa proyek pembangunan, termasuk program pangan, dilaksanakan tanpa mengorbankan hutan yang tersisa.
Jambi memiliki kekayaan biodiversitas luar biasa, mulai dari harimau Sumatra hingga burung-burung endemik yang tidak ditemukan di wilayah lain. Namun, kekayaan ini terancam hilang jika kerusakan habitat terus berlangsung. Upaya konservasi harus berjalan berdampingan dengan kebijakan pembangunan agar manfaat ekologis tetap terjaga dan kesejahteraan masyarakat meningkat.
Pada akhirnya, upaya konservasi di Jambi berada di antara harapan dan ancaman. Di satu sisi, pelepasliaran satwa menjadi bukti bahwa proses rehabilitasi dapat berjalan dengan baik. Namun di sisi lain, deforestasi serta konflik antara manusia dan satwa masih menjadi tantangan besar yang terus muncul. Masa depan hutan dan satwa liar di Jambi sangat ditentukan oleh kebijakan yang diambil saat ini.
Momentum pelepasliaran satwa ini seharusnya menjadi pengingat bahwa Jambi memiliki potensi besar untuk berkembang sebagai contoh konservasi yang kuat dan berkelanjutan di Indonesia.

































0 Comments