Ticker

6/recent/ticker-posts

Jerat Digital dan Kesadaran Hukum: Sejauh Mana Kebijakan Pemerintah Mampu Melindungi Kita?

Oleh :Alya Nabila Safitri. mahasiswi jurusan Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Andalas, Padang.



Pada era sekarang, kita hidup pada dua dunia. Dunia nyata yang kita sentuh, dan dunia digital yang kita scroll. Batasan dari keduaanya kian mengabur, membuat kesadaran hukum Masyarakat sering kali tertinggal jauh di belakang kecepatan inovasi teknologi. Pada era teknologi sekarang, banyak oknum yang membuat kekacauan melalui dunia digital, seperti menyebarkan berita palsu, phising, hingga kejahahatan cyberbullying. Dari banyaknya kasus tersebut, kebijakan pemerintah dalam menanamkan kesadaran hukum menjadi pertanyaan krusial.

Dahulu, kejahatan identik dengan perampokan atau pencurian fisik, namun sekarang ancaman terbesar justru datang dari layar yang sering kita lihat sehari-hari. Masyarakat banyak menyalahgunakan media sosial, dan banyak membuka situs yang merugikan orang lain, seperti penyebaran hoaks, hingga konten asusila. Kasus-kasus digital ini merupakan pelanggaran UU ITE. Bukan hanya itu, penipuan online, kebocoran data pribadi, dan juga pembobolan rekening merupakan kegiatan yang merugikan Masyarakat.

Bahkan Data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menunjukkan ribuan laporan kejahatan siber masuk setiap tahun, Padahal angka itu belum mencerminkan keseluruhan masalah, karena masih banyak korban yang bungkam, ada yang takut, ada yang tidak tahu harus melapor ke mana, atau bahkan merasa masalahnya hanya “masalah internet”. Di sisi lain, tingkat literasi digital masyarakat kita masih rendah. Banyak yang aktif di media sosial, tetapi tidak benar-benar paham konsekuensi hukum dari apa yang mereka unggah atau bagikan. sementara tingkat literasi digital masyarakat masih rendah. Maka wajar bila muncul pertanyaan “sejauh mana kebijakan pemerintah mampu meningkatkan kesadaran hukum masyarakat di ruang digital?”

Untuk menjawab situasi yang semakin kompleks ini, pemerintah mencoba hadir melalui seperangkat hukum yang diharapkan mampu mengikuti cepatnya perkembangan teknologi. UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menjadi tonggak awal sebagai instrumen hukum yang mengatur perilaku masyarakat di dunia maya. Melalui undang-undang ini, penyebaran hoaks, pencemaran nama baik, peretasan, dan bentuk pelanggaran lain di ruang digital dapat ditindak secara hukum. Kemudian pada tahun 2022, lahir UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) sebagai respons atas berbagai kebocoran data berskala besar yang membuat publik menjadi waswas. peraturan ini menuntut perusahaan digital untuk lebih berhati-hati mengelola data pengguna, serta memberikan hak lebih besar kepada masyarakat atas informasi pribadinya, dan menetapkan sanksi bagi pihak yang lalai menjaganya.

Tidak berhenti di situ, pemerintah juga membentuk Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) sebagai garda terdepan untuk menjaga infrastruktur digital nasional dari ancaman peretasan. Satgas Pinjol Ilegal pun dibentuk oleh Kominfo, OJK, dan aparat kepolisian untuk memberantas jeratan pinjaman online yang memanfaatkan data pribadi dan menjebak masyarakat dalam lingkaran utang dan intimidasi. Upaya-upaya ini menunjukkan bahwa negara tidak abai dalam menyikapi masalah keamanan dunia maya.

Namun, apakah semua langkah itu sudah cukup? Di sinilah kritik harus bicara.

Beberapa pasal dalam UU ITE masih dinilai Multitafsir, sehingga bisa berpotensi menjadi bumerang. Ada kasus di mana orang yang sebenarnya korban justru terseret sebagai pelaku akibat pemahaman pasal yang terlalu lentur. Alih-alih menjadi pelindung, hukum bisa berubah menjadi alat yang menakutkan dan membungkam kebebasan berekspresi. Penegakan hukum pun masih menghadapi jalan terjal. Teknologi yang terus berkembang membuat pelaku kejahatan cyber selalu punya cara baru untuk mengakali aturan. Sementara birokrasi hukum tak jarang berjalan lambat, tertinggal beberapa langkah di belakang pelaku.

Lebih jauh lagi, masih banyak kasus kebocoran data yang justru terjadi pada instansi resmi pemerintah yang seharusnya paling siap dan aman. Ketika lembaga negara saja belum mampu menjamin keamanan informasi, bagaimana kita bisa benar-benar percaya bahwa data yang kita simpan di berbagai aplikasi dan platform digital aman dari penyalahgunaan?

Selain regulasi, pemerintah menggelar program literasi digital besar-besaran sebagai upaya membentuk masyarakat yang cerdas dan beretika di dunia maya. Berbagai pelatihan, modul online, hingga kampanye edukatif dilakukan untuk mengajarkan etika komunikasi digital, keamanan privasi, serta kemampuan memilah informasi. Tetapi kenyataan di lapangan tidak semudah teori. Tingkat pemahaman masyarakat masih timpang. Banyak warga yang bisa membuat akun media sosial dalam hitungan detik, tetapi tidak tahu bagaimana cara mengamankan akun tersebut agar tak diretas. Banyak yang mahir menyebarkan informasi, tetapi lupa memastikan apakah informasi tersebut benar atau hanya menambah keruh ruang digital.

Infrastruktur internet yang belum merata juga menjadi persoalan. Edukasi sering kali hanya menjangkau masyarakat perkotaan, sementara mereka yang paling rentan justru berada di wilayah dengan literasi rendah, namun jumlah pengguna internet terus meningkat.

Pada akhirnya, kita harus menyadari bahwa keamanan digital bukan semata soal aturan dan hukuman. aturan dapat dibuat setinggi langit, polisi bisa meningkatkan patroli siber setiap jam, tetapi selama masyarakat masih memandang internet sebagai “ruang bebas tanpa konsekuensi,” jerat digital akan tetap mencengkram. Kesadaran hukum tidak bisa diimpor dari undang-undang, ia harus tumbuh dari pemahaman dan kebiasaan setiap pengguna.

Dunia digital memang menawarkan banyak kemudahan ia menghemat waktu, mempertemukan peluang, bahkan membantu roda ekonomi berputar lebih cepat. Tetapi di balik semua itu, terdapat tanggung jawab yang sama besarnya. Tanggung jawab untuk menjaga privasi, untuk menahan diri sebelum menyerang seseorang dengan kata-kata, dan memikirkan dampak sebelum menyebarkan sebuah informasi. Kita tidak bisa hanya menuntut pemerintah hadir melindungi kita, tanpa kita sendiri berusaha melindungi diri.

Karena kini, ancaman tidak selalu datang dari orang asing di gang sempit atau lorong gelap. Ancaman itu bisa datang melalui pesan singkat, promosi palsu, atau tautan yang terlihat tidak berbahaya. Ia menyelinap masuk dari benda kecil yang setiap hari kita genggam, ponsel pintar yang memberi kita akses ke dunia, namun sekaligus dapat menyeret kita ke masalah besar.

Dan pada titik ini, pertanyaan yang seharusnya kita ajukan bukan lagi:

Sejauh mana pemerintah mampu melindungi kita?

Melainkan:

Sejauh mana kita benar-benar peduli untuk melindungi diri sendiri di dunia digital?

Karena di era modern ini, perisai terbaik bukan hanya undang-undang, melainkan kesadaran kewaspadaan, dan tanggung jawab sebagai warga digital. Dunia maya akan menjadi tempat yang aman jika kita memilih untuk membuatnya aman.


Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS