Ticker

6/recent/ticker-posts

DARI HUTAN KE LUMPUR: BAGAIMANA DEFORESTASI MEMPERPARAH BANJIR DI ACEH, SUMATRA UTARA, DAN SUMATRA BARAT



Oleh : Eka Novia Eksanti. Mahasiswa Jurusan Biologi, Universitas Andalas, Padang.    Email: ekanoviaa16@gmail.com


Pada akhir November 2025, hujan deras mengguyur Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. Sungai-sungai meluap, perbukitan longsor, ratusan desa terendam menyisakan duka mendalam bagi ribuan keluarga yang kehilangan tempat tinggal, harta, bahkan orang tercinta. Namun, tragedi ini bukan semata soal curah hujan ekstrem. Di balik air bah dan tanah amblas, tersimpan penyebab yang jauh lebih sistemik: rusaknya hutan di hulu sungai — benteng alam yang telah sirna, menjadikan bencana tak terelakkan.Deforestasi di Sumatra telah berlangsung lama dan melibatkan banyak faktor; mulai dari pembukaan lahan untuk perkebunan, pembalakan ilegal, hingga perluasan kawasan permukiman. Aceh, misalnya, dikenal dengan kawasan Ekosistem Leuser yang sangat penting bagi penyangga air dan keanekaragaman hayati. Namun, tekanan terhadap hutan Aceh terus meningkat, sehingga luas tutupan hutannya mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Hal yang sama juga terjadi di Sumatra Utara, di mana daerah hulu DAS banyak berubah menjadi lahan pertanian atau perkebunan. Sementara itu, Sumatra Barat yang merupakan wilayah berbukit-berbukit juga menghadapi degradasi hutan pada lereng-lereng curam yang selama ini berfungsi sebagai penahan erosi. Padahal, kawasan hulu adalah tempat paling penting dalam menjaga stabilitas hidrologi dan geologi suatu daerah.

Hutan memiliki fungsi ekologis yang sangat penting. Akar pohon mengikat tanah dan menjaga struktur lereng agar tidak mudah runtuh. Tajuk pohon memperlambat jatuhnya air hujan ke tanah, sementara serasah dan lapisan humus meningkatkan kemampuan tanah menyerap air. Ketika hutan ditebang, semua fungsi ini hilang. Tanah menjadi gundul dan kering, sehingga saat hujan deras turun, air mengalir dengan cepat menuju sungai tanpa melalui proses penyerapan alami. Akibatnya, debit air sungai meningkat dalam waktu singkat, menyebabkan banjir bandang yang merusak permukiman di bagian hilir.

Para ahli juga sudah lama menegaskan bahwa hubungan antara deforestasi dan peningkatan bencana hidrometeorologi sangat kuat. Lereng yang kehilangan vegetasi akan mudah mengalami longsor, terutama ketika tanah jenuh oleh air. Hujan ekstrem yang seharusnya masih bisa ditahan oleh sistem hutan yang sehat justru berubah menjadi ancaman besar. Banyak laporan lapangan pada kejadian banjir di Sumatra memperlihatkan adanya kayu gelondongan dan sisa-sisa pembalakan yang terbawa arus. Temuan ini menjadi indikator kuat bahwa pembukaan hutan di kawasan hulu terjadi sebelum bencana melanda masyarakat di bagian hilir.

Bencana banjir tahun 2025 semakin menunjukkan betapa seriusnya persoalan ini. Ribuan rumah warga rusak, jembatan putus, fasilitas pendidikan tidak dapat digunakan, dan lahan pertanian terendam lumpur tebal. Banyak anak-anak tidak dapat bersekolah selama berhari-hari, sementara para petani kehilangan hasil panen dan lahan produktif mereka. Tidak hanya berdampak pada manusia, tetapi juga pada lingkungan. Longsor dan erosi menyebabkan perubahan struktur tanah, sungai menjadi dangkal karena dipenuhi sedimen, dan habitat satwa liar rusak. Satwa endemik yang bergantung pada tutupan hutan—seperti orangutan, gajah, harimau, dan berbagai burung hutan—kehilangan tempat hidupnya.

Berdasarkan data dari Human Initiative banjir dan tanah longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sejak akhir November 2025 telah menimbulkan dampak yang parah bagi masyarakat. Lebih dari 1,1 juta orang telah mengungsi setelah rumah mereka rusak atau tertimbun lumpur dan puing setinggi dua meter. Per 4 Desember 2025, data resmi mencatat 812 korban jiwa, 509 orang hilang, dan lebih dari 2.700 orang luka-luka.

Human Initiative telah merespons bencana sejak hari pertama dilaporkan. Tim Tanggap Darurat, bersama relawan lokal, BPBD, dan pemerintah daerah, melakukan evakuasi dan mendukung operasi Pencarian dan Pertolongan (SAR) yang sedang berlangsung. Posko air bersih dan dapur umum telah didirikan di Pidie Jaya, Aceh Utara, Bireuen, Agam, dan Padang untuk membantu memenuhi kebutuhan pangan mendesak para penyintas. Human Initiative juga mendistribusikan makanan siap saji, camilan, dan paket sembako di Pidie Jaya, Agam, Padang, Langkat, dan Medan. Asesmen cepat terus dilakukan untuk mengidentifikasi kebutuhan prioritas, yang saat ini meliputi makanan siap saji, air bersih, perlengkapan kebersihan, perlengkapan bayi, dan perluasan dukungan logistik untuk wilayah-wilayah yang masih sulit diakses.

Melihat kenyataan ini, konservasi hutan dan pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) tidak boleh lagi dipandang sebagai isu lingkungan semata. Ini adalah isu keselamatan manusia. Hutan berfungsi sebagai benteng alami yang melindungi masyarakat dari bencana. Jika hutan rusak, maka risiko banjir dan longsor akan terus meningkat, terutama di wilayah-wilayah yang secara geografis memang sudah rawan. Kebijakan yang longgar terhadap alih fungsi lahan serta lemahnya pengawasan terhadap pembalakan ilegal menjadi faktor yang mempercepat kerusakan ini. Ketika hutan diubah menjadi kebun atau areal produksi tanpa memperhitungkan daya dukung lingkungan, maka masyarakatlah yang akan menanggung konsekuensinya.

Karena itu, ada beberapa langkah penting yang perlu dilakukan. Pertama, pemerintah harus memperkuat pengawasan dan penegakan hukum terhadap pembalakan ilegal. Tidak boleh ada lagi toleransi terhadap aktivitas yang merusak hutan, terutama di kawasan hulu DAS. Kedua, masyarakat perlu diberikan edukasi secara berkelanjutan mengenai pentingnya menjaga hutan dan bagaimana kerusakan hutan berdampak langsung pada kehidupan mereka. Ketiga, pembangunan daerah harus berorientasi pada keberlanjutan. Hutan tidak bisa terus-menerus dikorbankan untuk kepentingan ekonomi jangka pendek, karena harga yang dibayar adalah keselamatan ribuan warga. Selain itu, diperlukan program rehabilitasi hutan dan penataan ruang yang mempertimbangkan risiko bencana, sehingga masyarakat tidak tinggal di lokasi-lokasi yang sangat rentan.

Pada akhirnya, banjir dan longsor yang terjadi di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat bukan hanya fenomena alam, tetapi sinyal bahwa alam telah mengalami kerusakan serius akibat ulah manusia. Ini bukan sekadar peringatan, melainkan ajakan untuk berubah. Menjaga hutan berarti menjaga masa depan manusia itu sendiri. Jika konservasi tidak segera diperkuat, bencana serupa tidak hanya akan terulang, tetapi bisa menjadi lebih parah. Karena itu, sudah saatnya pemerintah, masyarakat, dan semua pihak bertanggung jawab terhadap lingkungan sebelum kerusakan semakin tak terkendali.


Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS