Ticker

6/recent/ticker-posts

Bencana “Sunyi”, Citra “Berisik


Oleh: Rahmat Zacky, Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Andalas


Bencana besar yang menimpa 3 provinsi di Pulau Sumatra belakangan ini, yang mengakibatkan 964 orang meninggal, 264 orang hilang, dan 894.101 orang mengungsi (Liputan6.com, 2025), seharusnya menjadi perhatian serius, membutuhkan pengerahan seluruh sumber daya negara dengan segera. Namun, yang tersaji adalah “ajang pencitraan” bagi elit politik yang menjadikan penderitaan rakyat sebagai latar belakang untuk pameran pencitraan diri mereka. Inilah kritik penulis terhadap kondisi saat ini.

Sejak awal, terlihat penundaan yang tidak dapat diterima dalam penentuan status bencana. Di tengah skala bencana yang sangat luas dan luar biasa, di mana 3 provinsi telah terdampak, mengapa status bencana nasional tak kunjung ditetapkan? (CNN Indonesia, 2025). Penundaan ini bukan sekadar masalah administrasi, ini adalah keputusan politik yang mengisyaratkan bahwa di pusat pemerintahan, nyawa rakyat masih harus berhadapan dengan perhitungan politik. Seolah-olah, mengakui skala kerusakan akan merusak citra negara yang “kuat”. Keadaan ini diperburuk oleh manuver politik yang membuat kuping panas dan membuat publik menjadi geram. Kunjungan lapangan oleh para pejabat, yang seharusnya menjadi inspeksi kerja yang fokus, justru lebih terasa sebagai kesempatan berfoto yang diabadikan oleh media.

Puncaknya datang dari institusi yang paling bertanggung jawab. Kepala BNPB, Suharyanto, mengeluarkan pernyataan yang sungguh melukai hati. Ia menyebut kondisi mencekam bencana Sumatera "hanya mencekam di media sosial" (CNA, 2025). Mengatakan hal ini di saat ratusan keluarga masih menggali puing mencari jenazah kerabat mereka, saat hampir satu juta orang hidup di pengungsian, adalah bentuk krisis empati terburuk dari seorang pejabat publik. Pernyataan tersebut bukan hanya salah, tetapi secara sengaja mereduksi penderitaan rakyat terdampak menjadi sekadar kebisingan di internet, menunjukkan betapa jauhnya para elit ini hidup dari realitas yang mereka pimpin.

Ironi diperkuat oleh manipulasi data yang disajikan untuk menyenangkan atasan. Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia mengklaim bahwa listrik di Aceh sudah pulih 93 persen. Klaim tersebut ternyata bohong besar, dibantah telak oleh Pemerintah Provinsi setempat dan warga yang masih hidup dalam kegelapan (Detik, 2025). Pejabat ini jelas lebih memilih menjadi pahlawan dengan laporan fiktif di hadapan Presiden daripada menjadi penyampai fakta pahit di hadapan rakyat yang menderita. Ini adalah contoh nyata bagaimana politik pencitraan yang serakah mengalahkan akuntabilitas dan kejujuran.

Bahkan inisiatif tulus dari masyarakat sipil pun tak luput dari serangan konyol dan kecemburuan birokrasi. Ketika influencer seperti Fery Irwandi bergerak cepat menggalang donasi dengan transparansi, ia malah disentil anggota DPR karena dianggap sok paling donasi Rp10 miliar (CNN Indonesia, 2025). Mengapa energi pejabat kita dihabiskan untuk cemburu dan mengkritik inisiatif dari masyarakat, alih-alih mendukung atau mengkoordinasikannya? Dan yang paling “gong” nya adalah obsesi birokrasi yang sangat aneh. Menteri Sosial mengeluarkan imbauan agar artis dan tokoh berpengaruh yang membuka donasi "sebaiknya izin dulu" (Kompas, 2025). Di saat kecepatan akan hadirnya bantuan ke daerah terdampak dibutuhkan, negara justru menempatkan prosedur izin yang dapat menjadi penghalang di tengah urgensi tersebut.

Seluruh kejadian ini adalah bukti bahwa bencana telah dialihfungsikan menjadi panggung politik. Pejabat kita terlalu sibuk menjaga citra diri dan narasi "semua baik-baik saja" di pusat, hingga lupa tugas mereka yang sebenarnya adalah melayani dan mengakui penderitaan masyarakat di Sumatra.

Jika sikap ini terus berlanjut, kita akan kehilangan sesuatu yang jauh lebih mendasar, yaitu kepercayaan publik terhadap lembaga negara. Setiap klaim palsu, setiap foto diri di lokasi bencana, dan setiap pernyataan yang meremehkan adalah palu yang menghancurkan fondasi kepercayaan tersebut. 

Pasca bencana ini, jangan terkejut jika masyarakat memilih untuk lebih percaya pada solidaritas antarwarga dan tokoh sipil daripada janji-janji dan data dari pemerintah.

Kepercayaan itu mungkin tidak hanya berkurang, tetapi bisa menghilang total, meninggalkan jurang yang lebar dan tidak diperbaiki antara rakyat dan yang pemerintah.


Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS