Ticker

6/recent/ticker-posts

Bencana Sumatera dalam Cermin Bioetika dan Konservasi


Nama: Sri Rahma Agusanti Fitri.    Mahasiswa Biologi Universitas Andalas Padang 



Banjir dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat dalam beberapa waktu terakhir telah membawa dampak yang sangat nyata bagi kehidupan masyarakat. Banyak warga kehilangan tempat tinggal, sumber penghidupan, dan rasa aman yang selama ini mereka miliki. Bagi masyarakat di wilayah terdampak, peristiwa ini tidak dapat dipandang sekadar sebagai bencana musiman, melainkan sebagai pengalaman krisis yang mengubah kehidupan sehari-hari secara drastis. Dari sini, bencana perlu dipahami tidak hanya sebagai kejadian alam, tetapi juga sebagai peristiwa sosial yang menyentuh dimensi kemanusiaan. Dalam membaca berbagai laporan dan pemberitaan mengenai bencana ini, sulit untuk mengabaikan kesan bahwa peristiwa tersebut sebenarnya telah lama diperingatkan. Diskusi mengenai risiko banjir dan longsor di wilayah Sumatera bukanlah hal baru, terutama dalam kajian lingkungan dan tata ruang. Namun, peringatan tersebut sering kali berhenti pada tataran wacana, tanpa perubahan nyata di lapangan.

Secara geografis dan klimatologis, wilayah Sumatera memang berada pada kawasan yang rentan terhadap curah hujan tinggi. Faktor iklim tropis dan dinamika atmosfer regional membuat hujan ekstrem menjadi bagian dari realitas alam yang sulit dihindari. Namun, hujan lebat sendiri tidak selalu berujung pada bencana besar. Dalam kondisi lingkungan yang masih terjaga, ekosistem memiliki kemampuan alami untuk menyerap dan mengatur air hujan. Hutan, tanah, dan daerah aliran sungai bekerja sebagai penyangga yang menahan limpasan air agar tidak langsung mengalir ke kawasan permukiman.

Permasalahan muncul ketika keseimbangan ekologis tersebut terganggu. Dalam beberapa dekade terakhir, tekanan terhadap lingkungan di Sumatera terus meningkat, terutama akibat alih fungsi lahan dan eksploitasi sumber daya alam. Tutupan hutan berkurang, struktur tanah berubah, dan daya serap air menurun. Akibatnya, hujan dengan intensitas yang sama kini menimbulkan dampak yang jauh lebih besar dibandingkan masa sebelumnya. Kondisi ini menunjukkan bahwa bencana yang terjadi tidak sepenuhnya bersifat alamiah, melainkan berkaitan erat dengan aktivitas manusia dalam jangka panjang.

Situasi tersebut menuntut adanya refleksi dari sudut pandang bioetika, khususnya prinsip benevolence. Prinsip ini menekankan kewajiban moral untuk bertindak demi kebaikan dan mencegah terjadinya penderitaan. Dalam konteks lingkungan, benevolence tidak hanya berkaitan dengan tindakan setelah bencana terjadi, tetapi juga dengan upaya pencegahan terhadap risiko yang sebenarnya telah lama diketahui. Ketika dampak kerusakan lingkungan telah banyak dibahas dalam kajian ilmiah, tetapi tidak diikuti dengan perubahan kebijakan yang memadai, muncul pertanyaan etis mengenai tanggung jawab manusia terhadap keselamatan bersama.

Jika ditinjau lebih jauh, kebijakan pembangunan yang mengutamakan keuntungan ekonomi jangka pendek sering kali mengabaikan risiko ekologis yang menyertainya. Dalam perspektif bioetika, tindakan semacam ini sulit dibenarkan apabila pada akhirnya menimbulkan penderitaan bagi masyarakat luas. Penderitaan korban banjir dan longsor menunjukkan bahwa prinsip pencegahan bahaya belum sepenuhnya diterapkan. Oleh karena itu, bencana ini tidak dapat dilepaskan dari pilihan-pilihan manusia dalam mengelola lingkungan hidup.

Meskipun demikian, bioetika tidak hanya berbicara tentang kesalahan, tetapi juga tentang tanggung jawab moral dalam merespons krisis. Upaya penyelamatan korban, penyaluran bantuan, pelayanan kesehatan darurat, dan pemulihan kondisi sosial merupakan bentuk penerapan prinsip benevolence dalam situasi bencana. Tindakan-tindakan tersebut mencerminkan kepedulian terhadap keselamatan dan martabat manusia. Namun, jika benevolence hanya diwujudkan dalam bentuk respons darurat tanpa upaya pencegahan, maka risiko bencana serupa akan terus berulang. Dalam konteks bioetika, situasi ini tidak selalu hitam dan putih. Tidak semua pihak secara langsung berniat menciptakan risiko, tetapi keputusan yang diambil tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang tetap membawa konsekuensi moral. Di titik inilah prinsip benevolence menjadi relevan, bukan sebagai alat menyalahkan, melainkan sebagai dasar untuk menilai apakah suatu kebijakan benar-benar berpihak pada keselamatan manusia.

Dalam konteks inilah konservasi lingkungan memiliki peran yang sangat penting. Konservasi tidak hanya bertujuan melindungi keanekaragaman hayati, tetapi juga berfungsi sebagai upaya perlindungan terhadap kehidupan manusia. Ekosistem yang terjaga dengan baik mampu mengurangi risiko banjir dan longsor serta meningkatkan ketahanan wilayah terhadap perubahan iklim. Dengan demikian, konservasi dapat dipahami sebagai tindakan etis yang bersifat preventif.

Pendekatan konservasi yang berkelanjutan memerlukan keterlibatan berbagai pihak, termasuk masyarakat lokal dan komunitas adat. Kelompok-kelompok ini sering memiliki pengetahuan dan praktik pengelolaan lingkungan yang berkembang dari pengalaman panjang hidup berdampingan dengan alam. Ketika mereka dilibatkan secara aktif, konservasi tidak hanya menjaga ekosistem, tetapi juga memperkuat ketahanan sosial dan ekonomi masyarakat. Sebaliknya, pengelolaan lingkungan yang mengabaikan aspek sosial cenderung mempercepat degradasi dan memicu konflik.

Bencana yang terjadi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat juga tidak dapat dilepaskan dari konteks perubahan iklim global yang meningkatkan frekuensi dan intensitas kejadian ekstrem. Dalam kondisi ini, model pembangunan yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan menjadi semakin berisiko. Oleh karena itu, kebijakan pembangunan ke depan perlu didasarkan pada prinsip kehati-hatian, keadilan ekologis, dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang.

Apakah peristiwa ini dapat dikatakan melanggar prinsip bioetika? Jika dilihat dari prinsip benevolence, jawabannya mengarah pada evaluasi kritis terhadap cara manusia memperlakukan lingkungan. Ketika risiko telah diketahui tetapi tetap diabaikan, tindakan tersebut sulit dibenarkan secara etis. 

Namun, bencana ini juga membuka peluang untuk perubahan. Dengan memperbaiki tata kelola lingkungan, memperkuat konservasi, dan menempatkan keselamatan manusia sebagai prioritas utama, prinsip bioetika masih dapat ditegakkan. 

Dari sudut pandang akademik, bencana ini juga menjadi pengingat bahwa pendekatan lintas disiplin masih sangat dibutuhkan. 

Kajian klimatologi, ekologi, kebijakan publik, dan bioetika seharusnya tidak berjalan sendiri-sendiri. 

Tanpa integrasi tersebut, risiko yang sama berpotensi terus berulang, meskipun penyebabnya telah lama diketahui.

Pada akhirnya, bencana ini mengingatkan bahwa manusia dan alam berada dalam hubungan yang saling bergantung. Kerusakan lingkungan tidak berhenti pada alam itu sendiri, tetapi kembali kepada manusia dalam bentuk risiko dan penderitaan. 

Melalui pendekatan yang lebih etis, berorientasi pada kebaikan bersama, dan berpijak pada konservasi berkelanjutan, tragedi yang terjadi hari ini dapat menjadi pelajaran penting untuk membangun masa depan yang lebih aman dan bertanggung jawab.

Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS