Ticker

6/recent/ticker-posts

Peran Kunci HWDI dalam Gerakan Inklusi Difabel di Ranah Minang


Oleh : Nazwa Fatma Jufira, jurusan Ilmu Politik Universitas Andalas.



Perjuangan untuk hak-hak penyandang disabilitas (difabel) di Sumatera Barat menuntut pendekatan yang istimewa. 

Ini karena advokasi di sini tidak bisa hanya mengandalkan hukum negara, tapi harus mampu selaras dengan kekuatan budaya Minangkabau yang sangat mengakar.


 Tantangan terbesar bukan hanya soal fasilitas, melainkan stigma lama di masyarakat yang sering membuat keluarga malu dan memilih menyembunyikan anggota difabelnya. 


Strategi kunci untuk mengatasi ini adalah “Advokasi Berbasis Budaya” merangkul para Niniak Mamak dan tokoh agama. 


Mereka adalah gerbang utama menuju perubahan di tingkat *nagari* (desa). 


Jika tokoh adat dan ulama sepakat bahwa inklusi itu sesuai dengan ajaran agama dan adat kita, maka pandangan negatif di masyarakat akan lebih cepat luntur.



Selain itu, perjuangan kebijakan juga harus fokus pada implementasi nyata, bukan hanya dokumen. Organisasi difabel harus terus mendesak pemerintah agar Perda tentang disabilitas benar-benar memastikan anggaran, kuota kerja yang adil di instansi dan perusahaan, serta jaminan bahwa semua fasilitas publik seperti sekolah, puskesmas, dan jalan, bisa diakses oleh difabel. Advokasi harus bertindak sebagai pengawas yang kritis, memastikan janji-janji kebijakan itu benar-benar terwujud dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.

Di tengah upaya ini, peran HWDI (Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia) menjadi sangat penting dan unik karena masyarakat Minangkabau yang matrilineal. Perempuan difabel menghadapi masalah ganda, dan HWDI hadir sebagai benteng pertahanan mereka. Mereka tidak hanya fokus pada pelatihan keterampilan, tetapi juga berjuang keras untuk hak-hak sensitif seperti kesehatan reproduksi dan perlindungan dari kekerasan, yang sering diabaikan oleh keluarga yang terlalu protektif. Dengan memberdayakan perempuan difabel, HWDI secara efektif membantu mengangkat martabat mereka sebagai Bundo Kanduang di Minangkaba, karena jika perempuan di rumah sudah kuat, penerimaan di masyarakat akan dapat mengikuti.

Dalam Hal ini, kesuksesan advokasi difabel di Ranah Minang terletak pada keseimbangan yang cerdas. Kita harus menggunakan hukum negara sebagai landasan hak, tetapi menjalankannya dengan cara yang menghormati dan melibatkan kearifan lokal Minangkabau. Dengan menggabungkan dukungan dari tokoh adat dan peran krusial HWDI dalam memberdayakan perempuan, kita bisa mewujudkan inklusi sejati, yang sekaligus membuktikan bahwa nilai-nilai luhur Minangkabau selaras dengan semangat kesetaraan.


Post a Comment

0 Comments


SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS