Oleh Azahrah anggun Septiani mahasiswa ilmu politik universitas Andalas Padang
Dalam sistem demokrasi, rekrutmen politik merupakan pintu masuk utama bagi warga negara untuk berpartisipasi dalam proses kekuasaan. Melalui rekrutmen inilah partai politik menentukan siapa yang akan menjadi calon pemimpin, pembuat kebijakan, dan wakil rakyat. Menurut teori demokrasi partisipatif, proses ini harus mencerminkan prinsip keterbukaan, meritokrasi, dan representasi yang adil. Namun dalam kenyataan, praktik rekrutmen sering kali terjebak dalam pola patronase, dinasti politik, serta bias gender yang membatasi regenerasi politik.
Konsep stratarchy yang dikemukakan oleh Cross, Pruysers, dan Mattan (2025) menjelaskan bahwa partai modern bekerja melalui lapisan-lapisan kekuasaan yang kompleks. Idealnya, kekuasaan tersebut bersifat kolektif dan memungkinkan kader di berbagai tingkatan berperan dalam seleksi calon. Namun realitas menunjukkan hal berbeda. Di banyak negara, termasuk Indonesia, proses ini lebih sering dikendalikan oleh segelintir elite partai. Kondisi ini menimbulkan ketegangan antara idealisme demokratis dan praktik politik yang tertutup, sehingga menurunkan kepercayaan publik terhadap partai.
Pandangan dan Temuan Para Peneliti
Fenomena dominasi elite terlihat jelas dalam penelitian Ekayanta, Bahri, Malik, dan Damanik (2025) berjudul The Rise of Political Dynasty and the Candidate Selection Process within the Party: Evidence from Indonesia. Mereka menemukan bahwa rekrutmen calon di sejumlah partai besar sering kali didasarkan pada hubungan kekerabatan. Dalam studi tersebut dijelaskan bagaimana keluarga tokoh politik yang memiliki kekuasaan tinggi di partai lebih mudah mendapatkan rekomendasi sebagai calon kepala daerah atau anggota legislatif. Praktik ini mengukuhkan keberadaan dinasti politik yang menutup peluang kader muda potensial dan menurunkan kualitas kompetisi demokratis. Ekayanta dan timnya menilai bahwa fenomena ini adalah bentuk baru oligarki politik yang merusak makna representasi rakyat.
Pendapat senada disampaikan oleh Pohan (2023) dalam kajiannya Pattern of Political Recruitment in the Leadership Council of the Partai Keadilan Sejahtera at the Natuna Regency Level. Ia menyoroti bahwa di tingkat lokal, rekrutmen sering kali tidak disertai dengan pendidikan politik yang cukup. Akibatnya, masyarakat tidak memiliki kemampuan kritis untuk menilai calon berdasarkan integritas dan kompetensi. Pohan menjelaskan bahwa kaderisasi yang lemah dan absennya pelatihan politik membuat partai kehilangan arah ideologisnya. Dalam konteks ini, rekrutmen lebih berfungsi sebagai formalitas daripada mekanisme pembentukan pemimpin rakyat.
Sementara itu, Cross, Pruysers, dan Mattan (2025) menambahkan dimensi gender dalam analisis rekrutmen politik. Melalui penelitian mereka Stratarchy, Gender, and Candidate Nomination, dijelaskan bahwa partai kerap gagal menempatkan perempuan dalam posisi strategis. Mereka mengungkap bahwa meskipun kebijakan kuota 30 persen sudah diterapkan di banyak negara, pelaksanaannya sering kali bersifat simbolik. Perempuan hanya dijadikan alat legitimasi partai tanpa dukungan nyata dalam struktur internal. Penelitian ini memperlihatkan bahwa bias gender bukan hanya soal angka, tetapi tentang bagaimana partai membangun kultur yang mendukung kesetaraan.
Dalam konteks global, Ono dan Endo (2024) memperkuat argumen tersebut lewat artikelnya The Underrepresentation of Women in Politics. Mereka menyatakan bahwa hambatan bagi perempuan terjadi pada seluruh tahap rekrutmen: mulai dari proses seleksi diri, nominasi oleh partai, hingga pemilihan oleh masyarakat. Perempuan kerap dianggap tidak cocok dengan peran publik karena stereotip sosial yang masih kuat. Ono dan Endo menekankan bahwa bias ini bukan sekadar persoalan individu, tetapi mencerminkan struktur patriarkal dalam sistem politik itu sendiri.
Realitas Politik Indonesia
Jika ditelusuri melalui perspektif 5W + 1H, muncul pertanyaan: siapa yang sebenarnya direkrut oleh partai politik Indonesia, apa dasar pemilihannya, kapan dan di mana proses itu dilakukan, serta bagaimana mekanismenya berlangsung. Jawabannya menunjukkan bahwa rekrutmen di Indonesia lebih banyak ditentukan oleh kekuasaan internal partai dibanding aspirasi publik.
Sejak Pemilu 2019 hingga 2024, dinasti politik terus tumbuh subur di berbagai daerah. Dari hasil pemantauan lembaga independen, sekitar 17 persen calon kepala daerah di Pemilu 2024 berasal dari keluarga politisi. Fenomena ini memperlihatkan bahwa kekuasaan diturunkan secara turun-temurun. Masyarakat menjadi saksi bahwa politik kini bukan lagi arena gagasan, tetapi arena keluarga dan jaringan.
Selain itu, representasi perempuan masih stagnan. Dari total kursi DPR hasil Pemilu 2024, hanya sekitar 21 persen ditempati oleh perempuan, jauh dari target yang diamanatkan undang-undang. Fakta ini menunjukkan bahwa meski regulasi sudah berpihak, struktur internal partai belum berubah. Proses rekrutmen masih memprioritaskan calon yang dianggap “aman” secara politik, bukan mereka yang membawa visi baru untuk memperjuangkan kepentingan publik.
Data, Fakta, dan Analisis Kritis
Ekayanta dan koleganya (2025) menemukan bahwa calon yang memiliki hubungan kekerabatan dengan elite partai memiliki peluang dua kali lipat lebih besar untuk mendapatkan tiket politik dibanding kader biasa. Angka tersebut menunjukkan betapa kuatnya faktor hubungan personal dalam menentukan masa depan politik seseorang.
Sementara itu, penelitian Ono dan Endo (2024) memperlihatkan bahwa di berbagai negara Asia, perempuan yang mencalonkan diri tanpa dukungan finansial dan jaringan elite menghadapi peluang yang jauh lebih kecil untuk lolos dalam seleksi partai. Situasi serupa juga ditemukan di Indonesia, di mana banyak perempuan politisi muda harus menghadapi struktur partai yang maskulin dan birokratis.
Solusi dan Jalan Perubahan
Mereformasi sistem rekrutmen politik memerlukan keberanian dan kemauan politik dari dalam partai. Cross dan rekan-rekannya (2025) menegaskan pentingnya internal democracy—yakni keterlibatan seluruh kader dalam pengambilan keputusan partai. Mekanisme konvensi terbuka, penilaian berbasis prestasi, dan transparansi seleksi calon perlu diterapkan untuk memutus rantai dinasti politik.
Pohan (2023) menekankan bahwa pendidikan politik harus dijadikan prioritas agar masyarakat memahami makna partisipasi yang sejati. Masyarakat yang terdidik secara politik akan lebih kritis terhadap calon yang diusung, sehingga mampu menekan partai untuk merekrut figur berintegritas.
Ono dan Endo (2024) menambahkan bahwa peningkatan partisipasi perempuan tidak cukup dengan kuota, tetapi harus disertai dengan dukungan struktural seperti pelatihan kepemimpinan, pendanaan kampanye, dan ruang aman dalam organisasi partai.
Pada akhirnya, demokrasi hanya akan sehat jika rekrutmen politik dijalankan secara terbuka, adil, dan berbasis kapasitas. Ketika partai mampu membuka ruang bagi kader muda, perempuan, dan masyarakat sipil yang berintegritas, maka Indonesia akan memiliki masa depan politik yang lebih inklusif dan bermartabat.
0 Comments