Penulis : Muhammad Shevarrel Al Ghifari. Mahasiswa ilmu politik universitas Andalas Padang
Rekrutmen politik merupakan fondasi utama dalam bangunan demokrasi modern. Melalui mekanisme inilah partai politik menentukan siapa yang akan memegang kekuasaan dan merumuskan kebijakan publik. Secara teoretis, rekrutmen politik idealnya dijalankan secara terbuka, demokratis, serta berorientasi pada kompetensi dan integritas calon pemimpin. Namun, dalam konteks politik Indonesia, idealisme tersebut tampaknya hanya berhenti sebagai wacana normatif. Realitas di lapangan menunjukkan bahwa proses rekrutmen sering kali dikuasai oleh kepentingan elite, logika patronase, dan kekuatan modal. Akibatnya, demokrasi kehilangan salah satu ruh terpentingnya: kesempatan yang adil bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam kekuasaan.
Partai politik sebagai institusi utama dalam demokrasi seharusnya menjadi ruang kaderisasi yang melahirkan pemimpin berkarakter, berintegritas, dan berpihak pada rakyat. Maurice Duverger menegaskan bahwa kekuatan sebuah partai tidak hanya ditentukan oleh struktur organisasinya, tetapi juga oleh kemampuannya membentuk serta menyeleksi kader yang berkualitas. Sayangnya, di Indonesia fungsi ini tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pencalonan legislatif dan eksekutif kerap ditentukan melalui proses tertutup, di mana kedekatan personal dengan elite partai atau kemampuan finansial lebih dominan dibandingkan kualitas ideologis dan kapasitas intelektual kandidat. Fenomena ini memperlihatkan kuatnya budaya patronase dan politik transaksional yang telah mengakar dalam sistem kepartaian Indonesia.
Fenomena tersebut sejalan dengan teori *cartel party* yang dikemukakan oleh Katz dan Mair. Dalam sistem seperti ini, partai-partai kehilangan basis sosialnya dan bertransformasi menjadi alat kekuasaan yang saling menopang di antara elite. Partai tidak lagi berfungsi sebagai penghubung antara rakyat dan negara, melainkan menjadi semacam “perusahaan politik” yang melayani kepentingan internalnya sendiri. Akibatnya, rekrutmen politik lebih berorientasi pada upaya mempertahankan kekuasaan ketimbang memperjuangkan aspirasi publik. Proses seleksi calon pun sering kali dilakukan melalui mekanisme “jual beli tiket politik”, di mana kekuasaan partai diperdagangkan kepada siapa pun yang mampu membayar mahar politik tertinggi.
Dalam konteks ini, sistem patronase dan oligarki yang kuat menjadi penghambat utama regenerasi politik. Angelo Panebianco menjelaskan bahwa partai dengan karakter patrimonial cenderung menutup ruang kaderisasi sejati karena loyalitas personal dianggap lebih penting daripada kemampuan dan ideologi. Realitas ini sangat terlihat dalam banyak partai di Indonesia, di mana kekuasaan ketua umum begitu dominan sehingga keputusan strategis partai—termasuk penentuan calon legislatif dan kepala daerah—sepenuhnya bergantung pada kehendaknya. Kader muda yang kritis, berintegritas, dan memiliki kapasitas akademik sering kali tersingkir karena dianggap tidak “menguntungkan” secara politik atau ekonomi. Maka tak heran jika politik kita stagnan: wajah bisa berubah, tetapi struktur kekuasaan tetap sama.
Krisis rekrutmen ini memiliki konsekuensi langsung terhadap kualitas kepemimpinan nasional. Ketika proses seleksi tidak berbasis meritokrasi, individu yang naik ke tampuk kekuasaan sering kali tidak memiliki visi kebangsaan yang kuat. Mereka lebih sibuk mengembalikan investasi politik dan menjaga patron yang telah membesarkan kariernya. Situasi ini melahirkan kebijakan publik yang bersifat pragmatis, jangka pendek, dan minim orientasi kesejahteraan rakyat. Demokrasi yang seharusnya menjadi sarana perwujudan kedaulatan rakyat justru terjebak dalam siklus elektoral yang dangkal—rakyat memang memilih, tetapi pilihannya telah dibatasi oleh struktur kekuasaan yang oligarkis.
Lebih dari itu, rekrutmen politik yang tertutup dan elitis turut memperlebar jarak antara partai dan masyarakat. Publik mulai kehilangan kepercayaan terhadap partai politik karena melihat bahwa partai tidak lagi menjadi representasi suara rakyat, melainkan milik segelintir elite. Apatisme politik di kalangan generasi muda merupakan gejala nyata dari krisis kepercayaan ini. Politik tidak lagi dipandang sebagai jalan pengabdian publik, tetapi sebagai arena perebutan kekuasaan yang kotor dan eksklusif. Padahal, apabila rekrutmen politik dijalankan secara terbuka dan transparan, generasi muda justru dapat menjadi kekuatan moral baru yang menyegarkan kehidupan politik nasional.
Dalam situasi seperti ini, mahasiswa—terutama mahasiswa ilmu politik—memiliki tanggung jawab moral dan intelektual untuk mengajukan kritik serta alternatif. Kampus, khususnya Universitas Andalas yang memiliki tradisi intelektual dan pemikiran kritis yang kuat, seharusnya menjadi ruang produksi ide-ide pembaruan politik. Mahasiswa tidak cukup hanya menjadi pengamat, tetapi harus berperan aktif dalam mengawal proses demokrasi agar tetap berpihak kepada kepentingan rakyat. Kritik terhadap partai politik perlu diarahkan bukan hanya pada perilaku elite, tetapi juga pada struktur dan budaya yang memungkinkan praktik rekrutmen tertutup itu bertahan.
Perubahan harus dimulai dari reformasi internal partai. Mekanisme rekrutmen politik harus didesain ulang agar lebih terbuka, transparan, dan berbasis merit. Proses seleksi calon legislatif dan eksekutif perlu dilandasi prinsip kompetensi, integritas, serta komitmen terhadap nilai-nilai publik—bukan semata loyalitas dan kekuatan modal. Pendidikan kader harus diperkuat dengan kurikulum ideologis dan etika publik yang jelas, bukan hanya pelatihan formalitas yang diadakan menjelang pemilu. Selain itu, dominasi ketua umum partai perlu dibatasi agar sirkulasi kepemimpinan berjalan secara sehat dan demokratis.
Di luar partai, masyarakat sipil dan mahasiswa juga harus memperkuat peran kontrolnya. Media, organisasi nonpemerintah, serta komunitas intelektual perlu terus menekan partai agar membuka diri terhadap transparansi dan akuntabilitas. Dalam hal ini, politik tidak boleh dibiarkan menjadi milik elite semata. Politik harus direbut kembali sebagai ruang perjuangan moral dan intelektual yang berpihak pada kepentingan rakyat. Gerakan mahasiswa dapat menjadi katalis perubahan itu—melalui riset, advokasi, dan pendidikan politik alternatif yang menumbuhkan kesadaran kritis generasi muda.
Pada akhirnya, masa depan demokrasi Indonesia sangat bergantung pada keberanian kita untuk memperbaiki proses rekrutmen politik. Tanpa perbaikan di titik ini, demokrasi akan terus melahirkan pemimpin yang lahir dari transaksi, bukan dari perjuangan ide dan nilai. Kita harus mengembalikan politik kepada fungsinya yang sejati: sebagai sarana untuk memperjuangkan keadilan, kesejahteraan, dan kemanusiaan. Pertanyaan yang seharusnya kita ajukan hari ini bukan lagi “siapa yang akan kita pilih,” melainkan “bagaimana mereka dipilih.” Sebab, di situlah inti persoalan demokrasi kita berada.
Rekrutmen politik yang sehat dan demokratis tidak hanya melahirkan pemimpin yang kompeten, tetapi juga menumbuhkan kepercayaan publik terhadap politik sebagai alat perubahan. Jika kita gagal memperbaikinya, maka demokrasi akan terus berjalan di tempat—menjadi ritual elektoral tanpa substansi. Karena itu, sebagai generasi muda dan mahasiswa politik, kita memiliki tanggung jawab untuk terus menggugat, mengawal, dan memperjuangkan sistem politik yang benar-benar berpihak pada rakyat. Sebab, kekuasaan yang lahir dari proses yang adil akan selalu membawa keadilan bagi yang diperintah.
Dan politik yang beradab hanya akan tumbuh jika rekrutmen politik dijalankan dengan integritas, transparansi, serta komitmen terhadap kepentingan publik.





























0 Comments